Di sebuah universitas yang terletak kota, ada dua mahasiswa yang datang dari latar belakang yang sangat berbeda. Andini, seorang mahasiswi jurusan psikologi yang sangat fokus pada studinya, selalu menjadi tipe orang yang cenderung menjaga jarak dari orang lain. Dia lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan, membaca buku-buku tentang perilaku manusia, dan merencanakan masa depannya yang penuh dengan ambisi.
Sementara itu, Raka adalah mahasiswa jurusan bisnis. raka terkenal dengan sifatnya yang dingin dan tidak mudah bergaul, selalu membuat orang di sekitarnya merasa segan.
Kisah mereka dimulai di sebuah acara kampus yang diadakan setiap tahun, sebuah pesta malam untuk menyambut semester baru. Andini, yang awalnya hanya ingin duduk di sudut dan menikmati minuman, tanpa sengaja bertemu dengan Raka.
Yuk guys.. baca kisah tentang perjalanan cinta Andini dan Raka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22 BAYANGAN DARI PILIHAN SENDIRI.
Di luar kantor, malam itu Andini datang ke kafe Raka dengan mata sembab. Ia tak bisa lagi menyembunyikan semuanya.
“Rak… aku rasa Kak Vira yang hapus filenya.”
Raka menatapnya tajam. “Kamu yakin?”
Andini mengangguk. “Dia satu-satunya yang akses laptop aku kemarin, pas aku tinggal ke ruang fotokopi. Dan… aku baru tahu hari ini. Dia ngaduin aku ke atasan soal ‘dekat’ sama Arfan.”
Raka mengepalkan tangan. “Ini udah keterlaluan.”
Andini memegang tangannya. “Aku tahu kamu marah. Tapi tolong… jangan cari ribut. Aku cuma mau keadilan. Bukan drama.”
Raka menarik napas panjang. “Kamu nggak sendiri. Besok, aku ikut kamu ke kantor. Aku bakal temenin kamu ngomong ke HRD, atau siapapun yang harus dengar. Karena kamu berhak dapet keadilan... tanpa harus takut.”
Dan malam itu, keduanya tahu: ini bukan sekadar urusan kantor. Ini soal keberanian memperjuangkan keterjadi, dan menjaga satu sama lain, apapun yang terjadi.
" Besok, aku temani kamu datang ke kantor " ucap Raka menjabat kedua tangan Andini.
PAGI HARI.
Ketika Raka masuk ke kantor bersama Andini pagi itu, beberapa staf menoleh penasaran. Pria tinggi dengan hoodie gelap dan tatapan tenang itu jelas bukan karyawan. Tapi caranya berjalan di samping Andini, penuh keyakinan, membuat beberapa orang mulai berbisik pelan.
Saat mereka duduk menunggu pemanggilan rapat klarifikasi, tiba-tiba seseorang muncul dari arah pintu belakang ruangan. CEO perusahaan Pak Rendra.
Andini menunduk sopan, sementara Raka menatap pria itu dengan sedikit terkejut.
Pak Rendra juga tampak terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Raka?”
Raka berdiri. “Pak Rendra… saya nggak nyangka ketemu di sini.”
Seluruh ruangan langsung sunyi. Andini menoleh dengan bingung. “Kamu kenal?”
Pak Rendra menoleh ke semua orang. “Perkenalkan, ini Raka Adiwangsa. Saya kenal dia sudah lama. anak dari sahabat saya sekaligus mantan pemilik usaha kopi yang dulu pernah saya investasikan.”
Semua mulai berbisik. Nama "Adiwangsa" bukan nama sembarangan.
“Dia bukan orang luar,” lanjut Pak Rendra dengan tenang. “Dan kalau dia datang untuk mendampingi Andini, saya yakin bukan tanpa alasan kuat.”
Wajah Vira berubah drastis. Matanya membulat, tampak mulai menyadari… bahwa Raka bukan sekadar pacar Andini. Tapi seseorang dengan koneksi yang bisa mengubah segalanya.
Andini menatap Raka, kaget tapi bangga. “Kamu nggak pernah cerita...”
Raka hanya tersenyum kecil. “Aku nggak suka pakai nama atau koneksi siapa-siapa. Tapi kalau itu bisa bikin kamu didengar hari ini… aku nggak keberatan.”
HRD membuka pembicaraan. “Baik, kita adakan pertemuan ini untuk menindaklanjuti laporan dan evaluasi terhadap kerja sama di divisi marketing, khususnya yang berkaitan dengan Andini, mahasiswa magang yang telah mengabdi kurang lebih tiga bulan. Silakan, Andini.”
Andini menatap semua yang hadir, menahan napas sejenak. Lalu mulai bicara, suaranya pelan tapi tegas.
“Saya ingin menyampaikan bahwa beberapa kejadian yang menimpa saya bukan murni karena kelalaian pribadi. Saya merasa ada pihak yang dengan sengaja merusak file kerja saya dan menyebarkan opini tidak profesional tentang relasi saya dengan rekan kerja.”
Suara berbisik mulai terdengar. Supervisor tampak terkejut, sementara HRD mencatat cepat.
Lalu Raka bicara, dengan nada tenang namun mengandung tekanan. “Saya ikut hadir di sini bukan untuk ikut campur tangan, tapi saya saksi bagaimana tekanan psikologis yang Andini alami selama ini. Ia menahan banyak hal demi menjaga profesionalisme, tapi sudah waktunya suara seperti dia didengar.”
HRD menoleh ke Vira. “Kak Vira, Anda disebut secara tidak langsung. Apa ada yang ingin Anda klarifikasi?”
Vira menatap tajam ke arah Andini, lalu bicara dengan nada santai. “Saya hanya bersikap sesuai tanggung jawab. Jika ada yang merasa tersaingi atau tidak nyaman, mungkin karena mereka belum siap menghadapi tekanan dunia kerja.”
Kalimat itu membuat ruangan makin panas.
Namun HRD menimpali, “Kami melakukan penelusuran sistem. Dan benar, file milik Andini sempat dihapus dari sistem. oleh akun pengguna dengan akses senior, tepat pada pukul 10:24 pagi, sehari sebelum presentasi.”
Ruangan sunyi. Semua mata beralih ke Vira.
“Kami belum menyimpulkan apapun, tapi data tidak bisa bohong. Ini akan jadi bahan pertimbangan dalam evaluasi tim,” lanjut HRD.
Vira terdiam. Untuk pertama kalinya, wajahnya tak sekeras biasanya.
Andini menarik napas lega. Ia tak berniat menjatuhkan siapa pun tapi keadilan akhirnya mulai menunjukkan wajahnya.
Setelah rapat, saat semua mulai bubar, Raka menggenggam tangan Andini dan berbisik pelan.
“Kamu berani. Kamu luar biasa.”
Andini menatapnya, senyum perlahan muncul di wajahnya. “Aku cuma belajar buat berdiri di tempat yang benar. Dan kamu… makasih udah jadi penopang aku hari ini.”
Hari itu bukan hanya tentang klarifikasi, tapi tentang perubahan. Tentang suara kecil yang akhirnya menggema, dan cinta yang jadi kekuatan paling diam… tapi paling nyata.
Setelah rapat klarifikasi, suasana kantor terasa berbeda. Semua orang menjadi lebih berhati-hati, dan nama Andini mulai disebut dengan rasa hormat. Ia tetap rendah hati, bekerja seperti biasa, tapi ada ketegasan baru dalam caranya berjalan dan bersuara.
Sementara itu, Vira mulai terlihat gelisah. Beberapa proyek yang biasa ia tangani mulai dipindahkan ke rekan lain. Beberapa kolega yang dulu dekat, mulai menjaga jarak. Dan hari itu, surat dari HRD sampai di mejanya.
"Pemanggilan untuk proses evaluasi kinerja dan pelanggaran etika kerja."
Di ruang rapat kecil, Vira duduk sendirian menunggu. Lalu pintu dibuka, dan HRD masuk bersama atasan divisinya.
“Kami sudah meninjau semua bukti,” ucap HRD tegas. “Termasuk akses log sistem, laporan staf lain, dan hasil rapat klarifikasi sebelumnya.”
“Dan...?” tanya Vira, suaranya masih berusaha stabil.
“Atas tindakan Anda yang merusak file kerja rekan secara sengaja dan menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat, perusahaan memutuskan untuk memberikan sanksi tegas: pemotongan gaji selama dua bulan, penurunan peran dalam proyek, dan masa percobaan tiga bulan ke depan.”
Vira terdiam. Tapi itu belum selesai.
“Atau… Anda bisa memilih mengundurkan diri dengan surat rekomendasi netral.”
Vira menunduk. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa kosong. Ia bukan hanya kalah dalam kompetisi yang ia cibertahun-tahun, tapi juga kehilangan kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun.
Malamnya, di meja kerjanya yang mulai sepi, Andini sedang merapikan laporan ketika Vira menghampiri. Tak ada senyum, tapi juga tak ada amarah.
“Aku mau minta maaf,” kata Vira pelan. “Bukan karena aku kepergok. Tapi karena akhirnya aku sadar… aku nyakitin orang lain karena rasa takut aku sendiri.”
Andini menoleh, tenang. “Aku nggak pernah benci Kak Vira. Tapi aku juga nggak bisa diam waktu aku diperlakukan nggak adil.”
Vira mengangguk. “Dan kamu benar. Terima kasih… udah berani.”
Lalu Vira pergi, meninggalkan ruang kerja dengan langkah pelan. Entah ia akan kembali, atau memilih mundur... yang jelas hari itu, ia belajar satu hal penting: bahwa menginjak orang lain demi berdiri lebih tinggi… hanya akan membuat jatuh terasa lebih sakit.