NovelToon NovelToon
Rawon Kesukaan Mas Kai

Rawon Kesukaan Mas Kai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Beda Usia / Keluarga / Karir / Cinta Murni / Angst
Popularitas:933
Nilai: 5
Nama Author: Bastiankers

Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 2

Angin berhembus kencang menerbangkan tirai jendela berwarna kuning muda. Rintik demi rintik turun perlahan membasahi bumi, meninggalkan jejak di sana. Jendela yang semalam tidak tertutup rapat menimbulkan derit yang menganggu kedua orang yang tengah terpejam di atas ranjang. Saling memeluk—lebih tepatnya, Kaivan memeluk tubuh Shana dari belakang.

Mata Shana mulai terbuka perlahan, tubuhnya sedikit menggeliat disebabkan oleh suara bising dari jendela. Tidak lama kemudian, suara alarm berbunyi. Dengan mata yang masih setengah terbuka, tangannya meraih alarm dan mematikan benda itu.

“Mas?” Suara parau khas Shana membangunkan Kaivan yang masih memeluknya.

“Hm?” Kaivan masih belum bangun. Entah sadar atau tidak, dia hanya menggumam, lalu dengkuran halusnya terdengar lagi. Membuat Shana memutar balik tubuhnya, menatap wajah tampan nan manis itu. Senyumnya merekah dengan gerakan tangan yang mengelus rambut hitam Kaivan. Tubuh Kaivan menggeliat, namun dia masih terlelap.

“Kamu kecapekan, ya?”lirih Shana, “Mau aku masakin apa?” Meski tahu tidak akan mendapatkan jawaban, Shana masih bersuara, “Omelette? Gimana, Mas?”

“Hm …”

Shana cekikikan mendengar gumaman Kaivan, sepertinya laki-laki itu tidak ingin diganggu. Akhirnya, Shana memutuskan untuk bangkit dari ranjang dan mulai membersihkan dirinya.

Tepat di jam 7 pagi, Kaivan baru saja terbangun. Sinar mentari pagi sehabis hujan menyinari wajahnya, menganggu lelapnya dari lelahnya semalam. Dia berjalan gontai sembari mencari keberadaan Shana. Sesekali menutup mulut ketika menguap, sesekali matanya mengedar mencari perempuan bertubuh mungil itu.

Tidak butuh waktu lama untuk menemukan si perempuan mungil. Kaivan tersenyum melihat Shana yang tengah sibuk menyiapkan sup ayam dan omelette, ah … di sana juga ada roti berisi sayuran. Kaivan hanya geleng-geleng kepala melihat kemeja putihnya yang hampir menelan tubuh mungil Shana. Dengan gerak cepat, Kaivan langsung memeluk Shana dari belakang.

“Astaga, Mas Kai!!”pekik Shana setelah melepaskan sutilnya. Matanya menatap horor wajah Kaivan yang diletakkan di pundaknya. Sedangkan, Kaivan, hanya terkekeh kecil. “Ngagetin tau, ga?”

“Iya. Iya. Maafin ya, Sayang …” Kaivan mengecup pipi Shana. Shana hanya tersenyum, lalu melanjutkan aktivitasnya tanpa mendorong Kaivan. Lagi pula, semua masakannya sudah siap, tinggal dihidangkan.

“Kamu tau ga, Sayang?” Kaivan memulai pembicaraannya. Shana hanya menoleh sebentar, pertanda bahwa dia tertarik dengan topik Kaivan. “Semalam tuh aku pengen dipijit. Tapi, malah dapat plus-plus—eh, sakit, Sayang! Kamu tuh kalau cubit kayak kepiting.” Kaivan meringis sembari menggosok sisi perutnya.

Shana melepaskan tawanya. Dia berhasil menjahili Kaivan balik. Siapa suruh membahas hal-hal seperti itu?

“Lagian masih pagi malah bahas yang kayak gitu-gitu. ‘Kan malu, Mas,”protes Shana. Tangannya mengangkat semangkuk sup dan sepiring omelette, dia berjalan menghampiri meja makan dan meletakkannya.

“Ngapain malu, sih? ‘Kan udah nikah. Mau di kamar kek, dapur kek, ruang tamu kek—aduh, jangan dicubit terus perut aku, Sayang …” Kaivan meringis lagi, kali ini dia menggosok perutnya yang habis dicubit Shana, lagi.

“Kamu tuh kalau dibilangin susah, ya, Mas?”

“Emang. Maunya dicium, itu nggak susah.”

“Maaaaass!!!!”

Kaivan berlari di saat Shana mulai memegang sendok dan mengejarnya. Keduanya saling mengejar sampai depan pintu kamar. Shana tidak berani memasukinya lagi, karena jika itu terjadi, maka Kaivan akan terlambat ke kantor.

Kaivan berdiri di ambang pintu, tersenyum genit dengan kedipan matanya. “Masuk, yuk, Sayang. Masih pagi nih.”

Dasar Kaivan. Bisa-bisanya dia membuat Shana mati kutu di depan pintu dengan pipi yang merona. Shana segera memutar balik badannya. “Nggak jadi, Mas.”

Sontak saja Kaivan tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Kali ini dia berhasil mengusili Shana. Setelahnya, dia pun bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

***

“Bye, Maaas!” Shana melambaikan tangannya pada Kaivan yang sudah masuk ke dalam mobil. Deru mesin mobil sudah terdengar, kaca bagian kemudi diturunkan demi melihat sang istri yang berdiri di teras rumah.

“Bye, Sayang…” Kaivan balas melambaikan tangannya. Sesaat kemudian, mobilnya mulai meluncur. Pergi menjauh sampai hilang dari pandangan Shana. Senyum Shana memudar seiring dengan langkahnya memasuki rumah.

Setelah menutup pintu, Shana mulai mengambil beberapa alat tempur untuk membersihkan rumah. Alat yang pertama dia gapai adalah sapu. Dia menghembuskan napas pelan, berusaha untuk menerima semua ini. Termasuk, menjadi seorang istri yang hanya di rumah.

Di saat para tetangga mengomentari Shana yang hanya duduk diam di rumah tanpa ikut bekerja, kadang membuat Shana bersedih. Namun, Kaivan selalu bisa membuatnya kuat dan tidak mendengarkan omong kosong mereka.

Shana hanya harus legowo dan menjadi istri yang baik untuk Kaivan. Itu saja. Tidak perlu mendengar semua komentar itu, apalagi untuk memasukkannya ke dalam hati. Shana rasa itu tidak perlu.

Suara bel pintu terdengar nyaring. Bukan satu kali saja, melainkan dua sampai tiga kali. Nampaknya seseorang di luar sana tidak sabar dibukakan pintu.

Kening Shana mengernyit, memandang ke arah pintu. “Apa Mas Kai kelupaan sesuatu?”gumamnya. Lalu, kaki nya mulai melangkah menelusuri ruang tamu. Dengan gerak cepat, tangannya membuka pintu. Senyum merekah miliknya, harus pudar ketika mendapati bahwa di sana bukan Kaivan.

“Ibu?”

Ya, ibu Shana. Perempuan paruh baya yang dari awal tidak menyetujui pernikahan mereka. Dengan dagu yang masih terangkat, tanpa meminta masuk, kaki nya mulai berjalan melewati Shana. Di salah satu tangannya terdapat tas branded berwarna merah, sedangkan di sisi lainnya terdapat kipas yang selalu dibawanya kemana-mana.

“Kenapa? Kok kamu terkejut begitu melihat ibu? Apa kamu tidak senang ibu datang ke sini?”cecar sang Ibu membalik tubuh hingga berhadapan dengan Shana. “Atau … Kaivan tidak mau ibu mengunjungimu?”

Shana menggeleng dengan gerak tangan di depan dadanya. “Enggak, Bu. Ibu salah paham. A-aku cuma kaget aja.” Shana berjalan hendak menggapai tangan ibunya. Namun, sang Ibu menarik tangan sebelum Shana menyalaminya.

“Nggak perlu. Ibu masih marah sama kamu. Ibu masih kecewa sama pernikahan kalian.” Ibu segera duduk di atas sofa tanpa memandangi Shana sama sekali.

Hati Shana mencelos. Matanya sudah berair, namun dengan cepat tangannya menghapus agar sang Ibu tidak melihatnya. “Ibu, mau minum apa? Teh atau kopi?”

“Nggak usah. Ibu tidak lama ke sini.” Ibu menolak dengan dagu yang masih terangkat. “Kamu sudah isi?”

“Isi? Isi apa, Bu?”

“Halaah … taunya bikin aja, masa gitu doang nggak tau?”ujar Ibu, “Ya … hamil lah, apalagi?”

Shana tertegun. Dia tampak gelisah dengan pertanyaan itu. Padahal dia sering mendapatkannya dari tetangganya. Namun, entah mengapa saat mendengar dari orang yang dia sayang, malah terdengar menyakitkan.

“Sudah atau belum?” Ibu tampak tidak sabaran dengan diamnya Shana.

Shana menunduk, tangannya meremas sudut-sudut dasternya, “Belum, Bu.” Pelan, namun terdengar sakit.

Ibu menghembuskan napas lega. Kemudian, berdiri menghampiri Shana. Tangannya menepuk pundak Shana. “Bagus lah. Lagian, ibu tidak sudi punya cucu dari Kaivan. Kamu harus selalu mencegahnya, ibu sudah peringatkan kamu untuk selalu suntik tiga bulan. Kamu ikuti, kan?”

Shana tergagap. “I-iya, Bu.” Padahal selama ini, Shana tidak pernah melakukannya. Dia terpaksa membohongi ibunya sendiri.

Ibu tersenyum manis, “Bagus. Kalau begitu, ibu pulang, ya. Bye.” Derap langkah kakinya terdengar menjauh. Tanpa menoleh, Shana masih memerhatikan ujung kakinya. Tetes demi tetes air matanya mulai terjatuh di pipi. Apalagi mengingat ucapan Kaivan semalam, ketika dia berkata ingin seorang anak perempuan secantik Shana.

1
kanaikocho
Alur yang brilian
Bastiankers
terima kasih sudah berkunjung
Kiran Kiran
Wow, aku gak bisa berhenti baca sampai akhir !
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!