Ini bukan tentang harga diri lagi, ini hanya tentang mencintai tanpa dicintai.
Aruna nekat menjebak calon Kakak iparnya di malam sebelum hari pernikahan mereka. Semuanya dia lakukan hanya karena cinta, namun selain itu ada hal yang dia perjuangkan.
Semuanya berhasil, dia bisa menikah dengan pria yang dia inginkan. Namun, sepertinya dia lupa jika Johan sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Yang dia cintai adalah Kakaknya, bukan Aruna. Hal itu yang harus dia ingat, hingga dia hanya mengalami sebuah kehidupan pernikahan yang penuh luka dan siksaan. Dendam yang Johan punya atas pernikahannya yang gagal bersama wanita yang dia cintai, membuat dia melampiaskan semuanya pada Aruna. Perempuan yang menjadi istrinya sekarang.
"Kau hanya masuk dalam pernikahan semu yang akan semakin menyiksamu" -Johan-
"Jika perlu terluka untuk mencintaimu, aku rela" -Aruna-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Yang Harusnya Dipedulikan
Johan diam termenung di atas sofa bed di ruang tengah ini. Televisi besar di depannya menyala, menayangkan acara yang bahkan tidak menarik perhatiannya. Dalam pelukannya ada Jesika yang menolak pulang sejak kejadian tadi.
"Jo, kenapa kamu diam saja? Apa kamu percaya dengan ucapan Aruna? Sayang, dia itu hanya pembohong. Dia ingin aku sama kamu beneran berpisah, karena dia terobsesi sama kamu sejak dulu" ucap Jesika sambil mengelus dada Johan.
Johan menghela nafas pelan, dia mengecup puncak kepala wanita yang dicintainya itu. "Aku tidak memikirkannya. Aku hanya ingin menikmati waktu bersamamu. Kau akan tetap menjadi milikku, meski aku menikah dengan adikmu. Awas bertemu dengan pria tadi!"
Jesika terkekeh pelan, dia sedikit mendongak dan mengecup dagu kekasihnya ini. "Kemarin itu beneran hanya temanku. Lagian kamu yang tiba-tiba datang tanpa bicara dulu padaku. Jadi, aku agak kaget"
"Beneran hanya teman ya? Karena aku sangat benci bentuk pengkhianatan apapun!"
Jesika hanya tersenyum, dia menyandarkan kembali kepalanya di dada bidang Johan. "Aku tidak akan mengkhianatimu"
Aruna yang berjalan ke arah mereka dengan membawa nampan berisi minuman, langkahnya seketika terhenti mendengar percakapan keduanya. Dia tersenyum miris saat tadi Johan malah begitu marah padanya, bahkan sampai mendorongnya kasar, hanya karena Aruna mengatakan jika Jesika tidak pernah tulus mencintainya.
"Apa yang kau lihat?!"
Suara dingin itu menyadarkan Aruna, dia melanjutkan langkah kakinya. Menyimpan minuman di atas meja depan mereka. Matanya memejam menahan rasa sakit ketika dia melihat bagaimana sikap Johan yang begitu manis pada Jesika. Sangat berbanding terbalik dengan dirinya, sebagai seorang istri.
"Aduh, kamu sengaja ya Aruna"
Aruna terkejut saat dengan sengaja kaki Jesika menyenggol meja hingga minuman yang ditaruh Aruna tumpah mengenai kakinya itu. "Maaf, tapi Kakak yang menyenggol meja"
"Diam!" bentak Johan, dia langsung berdiri dan menatap Aruna dengan nyalang. Mengambil gelas satunya lagi yang berisi jus itu, menyiram jus itu ke kepala Aruna. "Berani sekali lagi menyentuh dan membuat tidak nyaman wanitaku, maka aku tidak akan tinggal diam"
Aruna mengusap wajahnya yang terasa lengket karena tumpahan jus itu. Padahal jus yang tumpah ke kaki Jesika hanya sedikit, di lap dengan tisu saja sudah bersih. Tapi, Johan benar-benar membalasnya dengan begitu kejam pada Aruna.
"Dia bukan siapa-siapa Kak!" teriak Aruna, dia mulai tidak tahan melihat kemesraan keduanya. Dia cemburu. Aruna berdiri dan menatap Johan dengan lekat. "Kak Jesika sudah bukan siapa-siapa Kak Johan lagi. Aku yang sekarang menjadi istrimu. Aku yang harusnya kau pedulikan!"
Dengan satu tangan kekarnya, Johan menarik tangan Aruna dan membanting tubuhnya ke atas lantai, kepala Aruna membentur ujung meja hingga berdarah. Pusing dan sakit yang dia rasakan seketika di kepalanya.
Johan membungkukkan tubuhnya, mencengkram rahang Aruna dengan kuat, bahkan bekas yang kemarin masih terasa begitu sakit, sekarang sudah mendapatkan lagi.
"Kau yang bukan siapa-siapa bagiku! Karena kau hanya seorang ja*lang mura*han yang menjebak aku di malam itu. Jika kau tidak menjebak, aku tidak akan menikahimu! Sampai mati pun aku tidak akan sudi punya istri sepertimu!"
Aruna hanya terdiam, dia sulit berbicara karena rahangnya yang di cengkram kuat oleh Johan. Hanya air mata yang mengalir, menunjukan seberapa besar luka yang dia terima saat ini. Bukan hanya dalam fisik, tapi juga bathinnya.
"Jo udah, dia bisa mati" ucap Jesika, cukup panik melihat Johan yang semarah itu. Jesika menarik tangan Johan satunya lagi dan membuat pria itu berdiri. "Bukannya kamu janji akan bawa aku jalan-jalan. Jadi, ayo pergi sekarang. Ngapain pedulikan Aruna"
Aruna menatap kepergian dua orang itu dengan hati yang teramat hancur. Air mata mengalir di pipinya, namun tidak akan pernah menarik simpati suaminya. Dia bahkan lebih peduli dengan perempuan yang seharusnya sudah tidak dia pedulikan saat ini.
"Nona, segera bersih-bersih. Nanti Nona sakit, biar saya yang membersihkan semua ini" ucap Evi.
Aruna mengangguk, dia berdiri dan segera berjalan ke kamarnya. Jika saja tadi Jesika tidak sengaja meminta dirinya yang membuatkan minuman, mungkin tidak akan seperti ini. Namun, Aruna juga tidak bisa menolak, ketika Johan sudah menegaskan jika dia harus menuruti keinginan Jesika.
Aruna mengguyur tubuhnya di bawah shower, membiarkan air membersihkan tubuhnya dari tumpahan jus. Luka di kepalanya terasa perih, tapi lebih perih hatinya.
"Aku hanya akan bertahan disini, karena kemana aku harus kembali? Bahkan rumah pun, sudah tidak seperti rumah bagiku"
Memutuskan untuk melakukan ini hanya ingin Johan menikah dengan Jesika yang tidak benar-benar mencintainya dan ada hal yang Jesika sembunyikan sebenarnya. Tapi, selain itu Aruna hanya ingin pergi keluar dari rumahnya, dimana seorang Ayah yang tidak pernah mau membelanya. Hanya mementingkan istri dan anak pertamanya.
Selesai mandi, Aruna mengobati luka dengan dibantu oleh Evi. "Nona, istirahat saja. Tubuh Nona demam sekarang"
Aruna mengangguk pelan, dia menaikan kedua kakinya ke atas tempat tidur dan mulai merebahkan tubuhnya. Evi segera menyelimuti tubuhnya.
"Istirahat ya Nona, nanti kalau ada apa-apa panggil saya"
"Iya Evi, terima kasih"
Setelah Evi pergi, Aruna hanya menatap langit-langit kamar dengan kepala yang berdenyut nyeri. Dia tersenyum lirih dengan bibir tipisnya. Saat baru ingin memejamkan matanya, suara dering ponsel membuatnya kembali membuka mata. Aruna meraba ke arah nakas dan mengambil ponselnya disana. Melihat siapa yang menghubunginya.
"Kak Faas" lirihnya dengan tersenyum, satu-satunya orang yang peduli dengan tulus padanya adalah Kakak sepupunya ini. Dia adalah saudara jauh dari Ibu Aruna yang sudah meninggal.
Aruna langsung bangun terduduk di atas tempat tidur dan segera menerima telepon dari Faas. "Hallo Kak"
"Hallo Runa, bagaimana kabarmu?"
"Baik Kak, bagaimana dengan Kakak? Kapan pulang?"
Faas berada di luar kota untuk sebuah pekerjaan. Sudah hampir 6 bulan dia disana. Sampai kejadian yang menimpanya saja, Faas tidak tahu.
"Kamu tebak aku dimana sekarang?"
Aruna mengerutkan keningnya, Faas malah mengajaknya tebak-tebakan. "Masih di Luar Kota? Atau sudah pulang ya?"
"Haha, iya aku sudah pulang. Mau ketemuan gak? Aku bawa oleh-oleh untuk kamu"
Aruna tersenyum bahagia, akhirnya malaikat pelindungnya telah kembali. Meski sekarang percuma karena Aruna tidak mungkin bertemu dengan Faas dalam keadaan seperti ini. Bekas memar di seluruh wajahnya, belum lagi keningnya yang terluka.
"Em, aku gak bisa kalau sekarang. Lusa saja bagaimana? Pokoknya aku juga ingin traktiran dari Kak Faas"
"Haha, baiklah. Aku jemput ke rumah kamu, lusa ya"
"Eh jangan!" tidak sadar Aruna sampai berteriak karena kaget Faas akan menjemputnya di rumah, sementara dia sudah tidak tinggal di rumahnya. "Em, maksudnya kita ketemuan di tempat biasa saja. Kak Faas tidak perlu menjemput aku"
"Oh baiklah"
Sambungan telepon terputus, Aruna menatap ponselnya dengan tersenyum. Tapi sedetik kemudian senyuman itu hilang, dan berubah menjadi wajah yang penuh kerapuhan.
"Aku tetap tidak bisa bilang pada Kak Faas tentang pernikahan ini. Karena Kak Jo akan marah padaku"
Bersambung
selamat ya Jo.... selamat menuai, yg slama ini kau tanam