“Silakan pergi dari mansion ini jika itu keputusanmu, tapi jangan membawa Aqila.” ~ Wira Hadinata Brawijaya.
***
Chaca Ayunda, usia 21 tahun, baru saja selesai masa iddahnya di mana suaminya meninggal dunia karena kecelakaan. Kini, ia dihadapi dengan permintaan mertuanya untuk menikah dengan Wira Hadinata Brawijaya, usia 35 tahun, kakak iparnya yang sudah lama menikah dengan ancaman Aqila—anaknya yang baru menginjak usia dua tahun akan diambil hak asuhnya oleh keluarga Brawijaya, jika Chaca menolak menjadi istri kedua Wira.
“Chaca, tolong menikahlah dengan suamiku, aku ikhlas kamu maduku. Dan ... berikanlah satu anak kandung dari suamiku untuk kami. Kamu tahukan kalau rahimku bermasalah. Sudah tujuh tahun kami menikah, tapi aku tak kunjung hamil,” pinta Adelia, istri Wira.
Duka belum usai Chaca rasakan, tapi Chaca dihadapi lagi dengan kenyataan baru, kalau anaknya adalah ....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Siapa Wanita Itu?
“Hans juga akan memaklumi kalau kamu lagi sakit. Sudah, aku berangkat dulu,” pamit Wira, ia mengecup kening istrinya kemudian keluar dari kamar utama.
Adelia mendesah kecewa, tidak diizinkan untuk menemani suaminya. Dan, masalah sakit perutnya memang hanya sandiwaranya. Ia memang lagi-lagi menahan langkah suaminya sejak mereka kembali ke Indonesia, ada rasa takut menyelinap di relung hatinya yang paling dalam.
Satu jam kemudian, di restoran Hotel JW. Marriot. Chaca tampak sibuk berkoordinasi dengan rekan kerjanya yang lain, sementara Rayya dan suaminya sudah tampak sibuk menyambut tamu undangannya pada sore itu.
“Mbak Chaca tolong hubungi sekretarisnya Pak Nathan dari PT. Eka Prakarsa, untuk konfirmasi kedatangannya, soalnya dari tadi siang saya tidak bisa dihubungi sekretarisnya,” pinta Niken sebelum ia kembali ke meja tamu.
“Baik, Mbak Niken,” jawab Chaca, lekas lah ia menghubungi dengan catatan yang sudah ia pegang sembari menatap ke arah dalam restoran. Ia membelakangi arah masuk para pengunjung restoran.
Sedangkan di luar restoran ada sosok Wira yang sedang mengisi buku tamu undangan.
“Selamat datang, Dokter kita nih!” sapa Hans dengan ramahnya.
Wira menoleh, sudut bibir melengkung tipis, mereka pun langsung berjabat tangan dan berpelukan.
“Selamat ya Hans, makin jaya saja nih bisnisnya,” ujar Wira sembari menepuk bahu sahabatnya.
“Thanks ya, sudah bisa meluangi waktunya. Sendiri saja? Mana istrimu, Wira?” tanya Hans seraya melirik sisi kanan kiri sahabatnya.
“Sudah tiga hari dia sakit perut, jadi tidak bisa menemani aku ke acaramu.”
Hans mangut-mangut, kemudian Rayya–istrinya Hans, menyambut ramah kedatangan sahabat suaminya dengan tatapan penuh arti.
“Terima kasih, Dokter Wira sudah berkenan datang,” sapa Rayya dengan ramahnya, kemudian meminta suaminya untuk mengantarkan tamu undangan ke meja yang telah disiapkan.
Chaca yang baru saja mengkonfirmasi kedatangan Nathan, segera mencari Niken yang bertugas di meja tamu, untuk memberitahukan.
Wanita itu dengan anggunnya melangkah menuju pintu restoran, wajahnya tampak cantik dengan makeup yang flawless, tubuhnya pun mengenakan setelan blazer berwarna abu-abu. Rambut panjangnya digerai dan tampak indah.
Wira yang juga akan memasuki restoran agak memicingkan matanya saat melihat sosok Chaca, antara kenal dan tidak kenal. Sementara Chaca, pandangan matanya berbeda sehingga ia tidak tahu kalau salah satu tamu undangan bosnya adalah suaminya.
“Hei, Wira!” Hans menepuk pundak Wira yang masih menatap Chaca. “Jaga pandangannya, ingat ada istri yang menanti di rumah,” seloroh Hans sembari mempersilakan sahabat untuk duduk.
“Eh.” Wira tersenyum canggung. “Wanita tadi yang pakai blazer abu-abu itu karyawan kamu?” tanya Wira seraya duduk.
Hans lantas menatap punggung Chaca. “Kenapa? Terpesona? Cantik?” tanya Hans.
Wira kembali tersenyum, tapi senyuman yang dipaksakan. “Aku hanya bertanya-tanya saja, Hans. Tidak ada maksud apa pun,” balas Wira santai.
“Ya, dia karyawan baru, teman istriku. Dia cantik, baru masuk kerja saja klien-klien aku dan istriku udah banyak yang curi pandang. Kamu jangan ikutan ya. Bisa-bisa burungmu dipotong sama Adel, dan jangan minta dikenalkan. Khusus kamu dilarang, takut nanti aku ditegur sama pawangmu itu,” seloroh Hans, terkekeh pelan.
“Ah, nggak mungkin aku berpaling dari Adel,” balas Wira, tapi matanya tetap melirik punggung wanita yang berhasil mencuri perhatiannya.
“Kenapa aku merasa kenal dengan wajah perempuan itu. Tapi siapa?” batin Wira berusaha mengingat.
“Wira, aku tinggal dulu sebentar. Mau menyapa yang lainnya. Dan selamat menikmati hidangan pembukanya dulu,” pamit Hans. Ia tidak turut duduk bersama-sama.
“Oke, santai saja, Hans.”
Di meja tamu, Niken dan Chaca sedang berbicara singkat. Kemudian Rayya ikut bergabung, tidak lama kemudian Nathan pun datang. Lantas Rayya menyambutnya dengan hangat, begitu juga dengan Chaca yang kebetulan ada di sana.
“Mbak Chaca, tolong antar Pak Nathan ke meja-nya ya,” pinta Rayya dengan mengedipkan salah satu matanya.
“Baik, Mbak Rayya,” balas Chaca dengan sikap hormatnya. Lalu, ia menatap pria yang cukup tampan tersebut. “Mari Pak Nathan, saya antarkan ke dalam,” ujarnya tersenyum ramah.
Pria itu membalas senyuman tersebut, kemudian mengikuti langkah Chaca.
“Senang bisa bertemu kembali dengan Mbak Chaca.” Pria itu membuka suara ramahnya.
Chaca menolehkan kepalanya, sudut bibirnya kembali melengkup tipis. Tiga hari yang lalu Nathan sempat mampir ke kantor firma milik Rayya dan suaminya, pada saat itulah mereka bertemu dan saling berkenalan.
“Saya pun turut senang bisa kembali bertemu dengan Pak Nathan,” jawab Chaca dengan sikap sopan dan ramahnya, kemudian menggiring pria itu ke meja bundar yang sudah ditentukan siapa saja yang duduk di sana.
“Silakan duduk Pak Nathan, ini mejanya,” tunjuk Chaca ke arah meja tersebut.
“Terima kasih, Mbak Chaca,” balas Nathan.
Mendengar nama Chaca dan suaranya, Wira yang duduk di meja yang sama dengan Nathan, mendongakkan wajahnya. Kemudian Chaca yang sudah memastikan Nathan menempati kursinya menoleh.
“Chaca!” batin Wira terkesiap.
“Pak Wira! Astagfirullah, kenapa dia bisa ada di sini?” batin Chaca pun juga terkejut.
Mereka berdua saling beradu pandang, tatapan mereka pun terkunci dalam persekian detik. Tatapan mata Wira memanas, lirikannya pun sangat menelisik dari ujung kaki hingga ujung kepala. Terjawablah siapa wanita yang berhasil mencuri perhatiannya sejak ia datang.
“Mbak Chaca,” panggil Nathan, sengaja menyentuh lengan wanita itu.
Tatapan mereka berdua lantas terputus, karena Chaca kembali menatap Nathan.
“Iya Pak Nathan, ada yang bisa saya bantu?” tanya Chaca sembari menenangkan jantungnya yang mulai berdegup dengan cepatnya.
“Nanti kalau tidak terlalu sibuk, saya ingin ngobrol sama Mbak Chaca. Kemarin sepertinya sekretaris saya ada beberapa surat yang kelewat,” ujar Nathan.
“Oh, baik Pak Nathan. Semoga nanti bisa, kalau begitu selamat menikmati hidangannya ya Pak. Saya harus kembali bertugas,” pamit Chaca, tersenyum ramah.
“Silakan Mbak Chaca, terima kasih sebelumnya,” balas Nathan dengan tatapan yang sangat hangat. Dan tatapan mata Nathan membuat hati Wira panas.
Bersambung ... ✍️
lanjut