Adara hidup dalam dendam di dalam keluarga tirinya. Ingatan masa lalu kelam terbayang di pikirannya ketika membayangkan ayahnya meninggalkan ibunya demi seorang wanita yang berprofesi sebagai model. Sayangnya kedua kakak laki-lakinya lebih memilih bersama ayah tiri dan ibu tirinya sedangkan dirinya mau tidak mau harus ikut karena ibunya mengalami gangguan kejiwaan. Melihat itu dia berniat membalaskan dendamnya dengan merebut suami kakak tirinya yang selalu dibanggakan oleh keluarga tirinya dan kedua kakak lelakinya yang lebih menyayangi kakak tirinya. Banyak sekali dendam yang dia simpan dan akan segera dia balas dengan menjalin hubungan dengan suami kakak tirinya. Tetapi di dalam perjalanan pembalasan dendamnya ternyata ada sosok misterius yang diam-diam mengamati dan ternyata berpihak kepadanya. Bagaimanakah perjalanan pembalasan dendamnya dan akhir dari hubungannya dengan suami kakak tirinya dan sosok misterius itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DARA, NAMA YANG TERLUPAKAN
Ceklek...
Adara mematung, terdiam sejenak menatap seorang wanita yang sangat dia kenal, wanita yang sangat berarti dalam hidupnya, sedang duduk terdiam menatap kosong ke arah jendela ruangan. Wanita itu, ibunya, Santi, yang kini berada di depan matanya setelah sekian lama mereka tidak bertemu. Adara masih terdiam di tempat, terus memperhatikan wanita yang telah lama ia tinggalkan—wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini. Keadaan ibunya sekarang sangat jauh berbeda dibandingkan dengan apa yang ia ingat dulu. Santi, yang dulunya selalu tampil cantik dan rapi, kini terlihat begitu kurus, dengan wajah yang seolah kehilangan semangat hidup. Namun, meskipun begitu, ada satu ciri khas ibunya yang tidak pernah berubah sampai sekarang—rambut panjangnya yang indah. Hanya saja, rambut itu kini telah berubah menjadi lebih putih, tanda-tanda penuaan yang tidak bisa dielakkan.
Adara tidak bisa melepaskan pandangannya dari ibunya. Ia melihat bagaimana kulit ibunya tampak sangat putih, bahkan lebih pucat daripada kulitnya sendiri. Wanita yang dulu terlihat penuh energi kini terlihat begitu rapuh, seolah dunia telah memberinya beban yang begitu berat untuk dipikul. Bagaimana tidak? Adara tahu bahwa kehidupan ibunya tidak pernah mudah sejak dirinya lahir. Di usianya yang kini 22 tahun, ibunya sudah berumur lebih dari 50 tahun. Adara merasa hatinya tertusuk melihat kondisi ibunya yang seperti ini, tetapi ia tetap diam, berdiri mematung di ambang pintu, tidak yakin bagaimana harus memulai percakapan dengan wanita yang telah membesarkan dan merawatnya dengan susah payah.
Huf... Adara menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian untuk melangkah maju. Perlahan, ia mulai berjalan mendekati ibunya, Santi. Langkah kakinya terasa berat, seolah setiap langkah membawa beban emosional yang sulit untuk dilepaskan. Hingga akhirnya, Santi menyadari keberadaan seseorang di ruangan itu. Wanita itu mengangkat kepalanya, mengerutkan keningnya, menatap penuh rasa ingin tahu pada sosok wanita asing yang berdiri di hadapannya.
"Siapa kamu?" Suara itu terdengar pelan, tetapi cukup jelas untuk membuat langkah Adara terhenti sejenak. Suara ibunya yang sangat ia rindukan. Adara yang selama ini dikenal sebagai wanita yang kuat, yang tidak pernah menangis lagi sejak 10 tahun terakhir, kini mulai merasakan matanya memanas, berkaca-kaca oleh air mata yang ingin keluar.
"Mama..." gumamnya pelan, tetapi hampir tidak terdengar oleh Santi.
"Siapa kamu?" Pertanyaan itu terdengar lagi, kali ini dengan nada yang lebih waspada, bahkan sedikit panik. Santi terlihat bingung dan tidak mengenali Adara. Adara segera mencoba bersikap lebih tenang, berusaha agar ibunya tidak histeris atau merasa terancam dengan kehadirannya.
"Mama, aku Adara," ucapnya pelan namun jelas. Kata-kata itu seolah menggema di ruangan kecil itu. Santi terdiam sejenak, ekspresinya berubah menjadi penuh tanda tanya.
"Adara?" gumam Santi, seperti mencoba mengingat sesuatu yang terasa familiar.
"Iya, Mama, aku Adara, anak perempuan Ibu," sambung Adara, suaranya lembut namun penuh dengan emosi yang sulit ia kendalikan.
Santi terlihat berpikir keras, mencoba mengingat nama yang baru saja ia dengar. Setelah beberapa saat, tatapannya tertuju pada sebuah foto yang dikeluarkan oleh Adara dari tasnya. Foto itu adalah foto lama dirinya bersama Santi.
"Ini foto Mama bersama Adara," ujar Adara sambil menunjukkan foto tersebut kepada ibunya. Santi mengambil foto itu dengan tangan yang sedikit gemetar, mengamatinya dengan seksama.
"Mama ingat Adara, kan?" tanya Adara lagi, nada suaranya penuh harap. Santi akhirnya mengalihkan tatapannya dari foto itu, memandang wajah wanita muda yang berjongkok di depannya.
"Kamu... Dara?" tanya Santi pelan. Adara tersentak mendengar panggilan itu. Panggilan "Dara" adalah panggilan khusus yang selalu digunakan ibunya sewaktu ia masih kecil. Kenangan itu langsung menyerbu pikirannya.
Adara mengangguk cepat, air mata akhirnya mengalir di pipinya. "Iya, Mama, ini Dara," jawabnya, suaranya bergetar.
"Dara...!" lirih Santi, suaranya nyaris tidak terdengar, tetapi cukup untuk membuat hati Adara terasa hangat untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama.
---
Sementara itu, di tempat lain, tepatnya di kamar Davin dan Kevin, kedua kakak laki-laki Adara sedang berbincang. Kamar itu terlihat rapi, dengan suasana yang tenang di Minggu pagi itu. Davin duduk di pinggir tempat tidurnya, terlihat termenung, sementara Kevin baru saja keluar dari kamar mandi dengan pakaian yang sudah rapi.
"Ada apa denganmu, Bang?" tanya Kevin, menatap kakak sulungnya yang terlihat tidak seperti biasanya.
Davin mengangkat wajahnya, menatap Kevin dengan mata yang terlihat penuh pikiran. "Kakak hanya memikirkan Adara," jawabnya pelan, tetapi masih cukup jelas untuk didengar oleh Kevin.
Kevin tertawa kecil, nadanya terdengar sedikit sinis. "Kakak masih mau mikirin Adara? Memangnya dia pernah mikirin kakak?" tanyanya dengan nada mengejek, sambil tersenyum miring.
Davin menatap adiknya dengan dingin. "Tutup mulutmu. Kau harus ingat kalau dia adalah adikmu juga," ujar Davin dengan nada tegas, tidak suka dengan cara Kevin berbicara tentang Adara.
Kevin hanya mengangkat bahu, masih dengan senyuman sinisnya. "Dia memang adikku, tapi sekarang sepertinya ceritanya sudah berbeda."
"Apa maksudmu?" tanya Davin, bingung dengan maksud ucapan Kevin.
"Dari dulu sampai sekarang, dia selalu menjaga jarak dari kita. Itu artinya, dia tidak mau lagi dekat dengan kita. Yasudah, biarkan saja, kita ikuti saja kemauannya," jawab Kevin dengan nada santai, seolah tidak peduli.
"Lagian juga, kita sudah punya Clarissa. Dia adik terbaik bagiku," tambah Kevin sambil tersenyum lebar, mengingat Clarissa yang baginya adalah sosok adik yang sempurna.
Davin hanya menghela napas panjang, merasa kesal dengan sikap Kevin. "Terserahmu saja," ujarnya akhirnya, memilih untuk tidak melanjutkan perdebatan. "Kau mau ke mana di hari Minggu begini? Bukankah tidak ada pekerjaan di kantor?" tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Kevin yang sedang merapikan dasinya menjawab santai, "Aku ada janji dengan teman. Lagipula, sekali-sekali menikmati waktu santai tidak ada salahnya, kan?"
Davin hanya mengangguk kecil, tidak ingin berkomentar lebih jauh. Dalam pikirannya, Adara tetap menjadi prioritasnya, meskipun hubungan mereka tidak lagi sehangat dulu.