NovelToon NovelToon
Bumiku

Bumiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Spiritual / Kutukan / Kumpulan Cerita Horror
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: LiliPuy

bumi yang indah dan tenang seketika berubah menjadi zona tidak layak huni.
semua bermula dari 200 tahun lalu saat terjadi perang dunia ke II, tempat tersebut sering dijadikan tempat uji coba bom atom, sehingga masih terdapat radiasi yang tersisa.

selain radiasi ternyata itu mengundang mahluk dari luar tata Surya Kita yang tertarik akan radiasi tersebut, karena mahluk tersebut hidup dengan memakan radiasi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

semua kembali seperti semula

Senyum Toni menghilang saat dia melangkah ke jalan setapak kota Reksa. Kota ini tampak normal, seolah-olah tak ada yang terjadi setelah hari panjang di danau elips. Namun, saat dia berjalan lebih jauh, jantungnya berdetak lebih kencang.

“Bisa kamu lihat itu?” Toni menunjuk ke arah sekelompok orang yang berkumpul di depan balai kota.

“Apa?” Chris menempelkan telunjuknya di pelipis, berusaha menangkap pandangan Toni.

“Orang-orang ini… mereka tidak seperti biasanya,” kata Toni sambil mengerutkan dahi.

Chris menatap lebih dekat. “Mereka biasa berkumpul di sini untuk rapat mingguan. Apa yang kau maksud?”

“Mereka tampak… cemas. Kupikir, setelah perubahan iklim yang parah, semua orang mulai terbiasa. Tapi ini berbeda,” ucap Toni, suaranya bergetar pelan.

Chris menggelengkan kepala. “Kau berlebihan. Mungkin berita buruk tentang musim hujan lagi.”

“Coba dengar! Mereka membicarakan sesuatu dengan serius.” Toni melangkah lebih dekat, hampir menyentuh kerumunan itu.

“Keseluruhan dunia berantakan, Toni. Tak ada yang aneh dengan sedikit kecemasan.”

Toni tiba di tepi kerumunan. Dua orang, satu dengan jas terlipat dan lainnya berbaju petani, berdebat. Suara mereka menggema.

“Penghiasan hutan sudah mulai menghilang,” pria bercelana pendek itu menjelaskan. “Danau elips tidak lagi menjadi sumber yang bisa diandalkan!”

“Apa yang harus kita lakukan?” teman itu menimpali, wajahnya pucat.

“Penduduk harus bersatu. Kita perlu mempersiapkan diri. Ini bukan masalah biasa!” suaranya seperti sirene yang menarik perhatian.

Chris menggigit bibirnya dan menatap Toni. “Kepala mereka bersih. Mungkin mereka hanya berlebihan.”

“Tidak, Chris. Ada sesuatu yang salah di sini. Aku bisa merasakan getaran ini,” kata Toni, matanya terfokus pada kumpulan itu.

Pria dalam jas menatap kerumunan. “Jika kita tidak segera bertindak, Kota Reksa akan hancur. Kita tidak bisa berharap perubahan cuaca ini berhenti hanya karena keinginan!”

“Oh, ayolah! Berhentilah menakut-nakuti orang-orang!” teriak seorang pemuda dengan kaos robek, tampak genit. “Kita semua tahu bahwa kita butuh rencana berkelanjutan, bukan hanya teriakan kosong tentang keadaan darurat!”

“Tapi kita sudah kehabisan waktu!” pria dalam jas itu menimpali, gertakannya membara. "Banjir dan kekeringan, berurutan. Ini sudah bukan lelucon."

“Apa yang bisa kita lakukan?” tanya pemuda itu.

Semua orang terdiam, menunggu jawaban. Toni merasakan napasnya sendiri, berat.

“Kita butuh informasi. Kita harus menghubungi semua pemimpin daerah, memikirkan cara.” Pria dalam jas itu melanjutkan, sorot matanya tajam.

“Tapi siapa yang mau mendengar?” gerutu seorang ibu sambil mengelus anaknya. “Mereka pasti sudah hilang akal.”

Chris mengembalikan pandangan ke Toni. “Dengar, ini bukan urusan kita. Ayo cabut saja.”

Toni menggigit bibir bawahnya, bingung. “Tapi Chris…”

“Aku tahu, kau khawatir. Tapi kita sudah melewati badai ini setiap tahun. Ini tak beda jauh.”

“Kadang-kadang, Chris, kau suka terlalu meremehkan. Perubahan bisa lebih cepat dari yang kita kira.” Ucap Toni dengan kesegaran nada.

Chris mengedipkan mata dan melangkah mundur. Dari jauh, mereka melihat kerumunan mulai berpecah. Masing-masing membawa ide dan ketakutan ke rumah.

“Apakah kau akan ikut mereka pulang?” Chris mencoba bercanda, walau bibirnya meringis.

“Aku tidak tahu.” Toni merasakan bunyi detak jantungnya cepat. “Ada sesuatu yang membuatku gelisah.”

Chris melangkah lebih dekat, suaranya menjadi lebih halus. “Kalau begitu, kita harus menyelidikinya.”

“Tapi bagaimana? Kita tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.”

“Kita cari tahu. Tanya penduduk lain. Teman-teman kita di sini.” Chris teliti meninjau sekitar.

“Baiklah,” ucap Toni, mengangguk. Wajahnya bertekad. “Bisa jadi, kita akan menemukan bukan hanya rasa putus asa. Mungkin ada harapan.”

Mereka melangkah lebih jauh. Kerumunan itu menghilang di belakang mereka, membiarkan kesunyian kota menyelimuti kembali.

“Lihat!” Chris menunjuk sebuah meja di sisi jalan, di mana beberapa pedagang menjual sayur dan buah.

“Itu dia!” Toni melihat sekelompok nenek yang berkerumun di dekat meja.

“Mungkin mereka tahu sesuatu,” kata Chris, bersiap mendekat.

“Yuk!” Di sana, di bawah bayang-bayang, mereka menemukan seorang nenek dengan kerudung menghampiri mereka.

“Permisi, nenek,” kata Chris, “apa yang terjadi di sini? Kami mendengar ada yang aneh.”

Nenek itu berhenti, menatap mereka lekat-lekat. “Kota ini… ada sesuatu yang tidak beres. Danaku sudah mengering,” jawabnya pelan.

“Penghiasan hutan itu benar, hmm,” ujar nenek itu. “Kami di sini merasa kehilangan… tidak tahu apa yang akan datang.”

Toni merasakan galau. “Apa langkah selanjutnya?”

Nenek itu mengambil napas dalam-dalam. “Kami harus waspada. Kita harus bersiap.”

“Bersiap untuk apa?” tanya Chris, suara menegangkan.

“Untuk yang terburuk,” jawab nenek.

Sejenak, suasana sunyi. Toni menatap wajah nenek itu, mencaritahu cara berpikirnya.

“Ya, kita bisa menyatukan semua kekuatan,” Toni akhirnya bersuara. “Mungkin kita bisa membuat sesuatu, entah itu untuk bersatu dalam tim.”

Nenek itu tersenyum miris. “Harapan tidak akan merusak kita, nak. Mungkin… jika kita semua berkumpul, kita bisa melakukan sesuatu.”

Chris menggigit kuku, lalu meraih tangan Toni. “Bagaimana kalau kita bawa semua orang ke sini? Ajukan pemimpin bertanggung jawab untuk berbicara.”

“Betul,” kata Toni, semangatnya membara. “Satu suara bisa mempengaruhi ratusan lebih.”

“Ratusan lebih?” jerit nenek. “Kau yakin, nak? Semua ini menyedihkan.”

“Kami akan melakukannya!” Chris bergeming penuh keyakinan.

“Kalau begitu, ayo lakukan sekarang!” Toni menantang. “Kita bisa mulai di sini.”

Mereka bertiga bergerak, suara mereka mengalir bersama kembali ke kota Reksa. Waktu berlalu, tapi harapan baru menyusup. Di antara gemuruh kekhawatiran, mereka menemukan kekuatan bersama.“Kita perlu menentukan tempat berkumpul yang strategis,” Chris berkata, kembali bersemangat.

“Bagaimana kalau di alun-alun? Itu tempat yang selalu ramai,” usul Toni, berusaha memikirkan setiap detail.

“Setuju. Ajak semua orang untuk bertemu,” kata nenek, sorot matanya berkilau. “Kota ini butuh pemimpin yang mampu berbicara untuk kita.”

“Saya bisa membuat pengumuman di pasar besok pagi,” janji Chris. “Aku bisa memanfaatkan jaringan teman yang ada.”

“Nanti, kita butuh semangat. Ada baiknya membawa makanan untuk menarik perhatian orang,” tambah Toni, wajahnya bersinar. “Makanan selalu jadi magnet.”

Nenek itu mengangguk, senyumnya merekah. “Anak-anak muda, semangat kalian sungguh menyegarkan. Ingat, bersatu kita teguh.”

“Kan kita tidak bisa hanya menunggu jawaban dari kekuatan yang lebih besar. Kita bisa menciptakan perubahan sendiri,” ucap Chris, keyakinan menggelora.

“Betul! Kita bisa membagi tugas,” sambung Toni, pandangannya memindai kerumunan kecil. “Aku bisa urus papan pengumuman dan flyer. Kita butuh informasi yang jelas agar orang-orang tidak ragu.”

Nenek mengusap lengan Toni. “Kalian tidak akan percaya betapa pentingnya suara kalian. Kekuatan ada di tangan orang-orang muda seperti kalian.”

Chris merasa jantungnya berdebar kencang, tekad menyebar di sekujur tubuhnya.

Malam menjelang dan mereka bertiga merencanakan langkah selanjutnya. Saatnya mereka bertindak!

***

Keesokan harinya, Chris berdiri di pasar. Arus lalu-lalang penduduk membuatnya merasa bersemangat dan sekaligus gugup. Namun, dia tahu ini adalah langkah yang tepat.

“Toni! Pastikan semua persiapan siap,” Chris berteriak di tengah hiruk-pikuk, melambai-lambaikan tangan.

Toni muncul dari kerumunan, menggandeng beberapa pemuda lainnya. “Kita sudah mempersiapkan semua poster dan spanduk. Semuanya betul-betul sudah siap!”

“Bagus! Kita bisa mulai menjelaskan,” kata Chris, meratakan napasnya, berusaha menenangkan diri.

Mereka membentuk lingkaran di tengah pasar dan Toni melangkah maju, mengangkat suara.

“Saudara-saudara! Kami ingin mengajak kalian berkumpul di alun-alun sore ini. Ini penting untuk masa depan kota kita!” suaranya membahana, kontan menarik banyak perhatian.

Seorang pemuda bertato dengan tatapan skeptis mendekat, “Apa kalian yakin kita perlu berkumpul? Semua ini cuma pembicaraan kosong.”

“Tanpa bersatu, kita tidak akan mendapat perubahan,” jawab Toni mengetahui tantangan yang harus dihadapi. “Ada sesuatu yang lebih besar yang mengancam kita. Jika kita tidak bersuara, siapa yang akan?”

“Dia benar!” Chris melanjutkan, “Dengarkan semua laporan yang menyebutkan dampak buruk perubahan cuaca. Kita tidak bisa tinggal diam.”

“Tapi, apa yang bisa kita lakukan?” pertanyaan itu muncul dari kerumunan.

Chris dan Toni bertukar pandangan, merasakan semangat satu sama lain. Chris menepuk bahu Toni sebelum melanjutkan, “Bersama, kita bisa menciptakan rencana. Merencanakan pedoman untuk menjawab setiap masalah yang ada.”

Berharap, Chris berlanjut, “Jika kita terpecah, keadaan akan semakin buruk. Mari buktikan bahwa kita bisa melawan keadaan.”

Suasana tenang sejenak. Mereka menanti reaksi orang-orang di sekitar.

“Saya setuju! Kita butuh rencana!” teriak seorang nenek tua di sisi lain kerumunan. Suaranya melengking, dan semua mata menatapnya.

“Ya! Mari kita berkumpul di alun-alun! Kita harus bersatu!” beberapa suara mulai bergema.

Chris merasa napasnya terhenti, tidak percaya dengan dukungan yang mencuat.

Cahaya pagi beralih menjadi senja saat mereka berhasil meyakinkan orang-orang. Ketika hari berangsur gelap, mereka tiba di alun-alun, dikelilingi warga kota yang penasaran. Mereka berkumpul, membuat sisi-sisi karpet baru di kota Reksa.

Toni berdiri di tengah, mengatur kerumunan. “Terima kasih semua sudah datang! Kita butuh saling mendukung!”

Kerumunan semakin ramai. Chris merasakan kehangatan di dalam hatinya melihat semangat penduduk yang tak surut.

1
mous
lanjut thor
Hikaru Ichijyo
Alur yang kuat dan tak terduga membuat saya terpukau.
Mưa buồn
Kalau lagi suntuk atau gabut tinggal buka cerita ini, mood langsung membaik. (❤️)
Jelosi James
Sukses selalu untukmu, terus kembangkan bakat menulismu thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!