Balas Dendam Istri Gendut

Mayang sebenarnya kasihan pada ibu mertuanya yang selama dua hari ini tidak dijatah makan dari Tiga Dara. Tapi mau bagaimana lagi. Seandainya Marini itu tidak ikut-ikutan Ferdi, Mayang pasti mempertimbangkan perasaan wanita itu, meski selama ini Marini galak sekali padanya. Akan tetapi, dari lagaknya, Marini memang bersikap seolah-olah dia pemilik tempat ini. Sudahlah, itu belum seberapa dibanding yang sudah Mayang lakukan tapi diabaikan.

Usai mengemasi uang hasil penjualan hari ini, perhiasan, surat-surat—yang masih komplit dan tak sempat terusik, akan tetapi jumlah uang yang ada dibrankas memang berkurang. Mayang tidak mempermasalahkan. Nanti bisa diambil lagi dan Mayang sudah memasang cctv di sudut tersembunyi kemarin.

"Wit, aku balik dulu. Tolong nanti kamu pulangnya nunggu yang bersih-bersih selesai!" Mayang mengunci pintu ruangan kecil di belakang kasir. "Ini yang saya janjikan tadi."

Wita terperangah, senang sudah pasti tapi ia tak menyangka kalau akan diberikan sekarang. Pikirnya masih akhir bulan nanti. Menerimanya dengan senang, Wita berucap seraya menundukkan kepalanya. "Makasih, Bu ... saya akan segera beli hape baru, biar saya bisa download WA dan wa-wa an sama Ibuk."

Mayang tertawa mendengar ucapan Wita yang cengengesan saking senangnya. gadis lulusan SMK yang sudah dua tahun bekerja padanya ini memang lugu dan apa adanya. Membiayai tiga adiknya yang masih sekolah, Wita selama dua tahun hanya memakai ponsel biasa. Asal bisa ditelepon saja cukup. Kekurangan tak membuat Wita menyerah, dalam bekerja Wita tak pernah memilih-milih, semua yang repot dia bantu. Cekatan dan cerdas. Mayang suka sekali dengan gadis dua puluh tahunan itu.

"Langsung dibeliin, biar ndak habis buat beli yang lain. Sama kalau ada makanan yang sisa, suruh bawa pulang. Kamu juga bawa, lumayan bisa buat makan malam."

"Iya, Bu. Saya tiap hari yang bawa banyak makanannya, hehehe ... ngirit beras dan minyak, Bu." Wita menutup mulutnya karena merasa terlalu jujur.

Mayang hanya menggeleng melihat itu, " ya, udah, saya tinggal dulu. Jangan lupa pesan saya, tadi."

"Siap, Bu Bos! Eh, tapi saya ndak perlu laporan-laporan, kan, Bu? Bu Mayang udah ada di sini dan lihat sendiri tadi kaya gimana?" tanya Wita.

"Iya, ndak usah buat. Lagian kalau kamu ikutan yang lain pake wa atau email, emangnya kamu punya?"

Wita tercengang lucu sambil menggaruk kepala. "Oh, iya, ya."

Mayang meninggalkan Wita yang masih nyengir malu.

Tujuan Mayang sebenarnya adalah rumah Rully, tapi pikirannya masih terpaku pada rekening Lea. Khawatir kalau ratusan juta yang dikumpulkan Lea dari merampok, sudah dipindahkan atau ditarik semua. Mungkin setelah disiksa seperti tadi, Lea berniat kabur.

***

Lea tidak peduli apapun, setelah dipermalukan oleh penghuni dapur, ia langsung pulang. Ngamuk-ngamuk dan menangis. Setelah lelah, ia memandang cermin. Mengagumi dirinya sendiri yang cantik sempurna.

"Kamu boleh menguasai Selera lagi, tapi orang-orangku masih setia padaku. Mengambil uangmu tidaklah sulit, menjatuhkanmu, mencurangi kamu juga bukan hal yang mustahil." Lea tersenyum sinis, lalu segera mandi dan menghubungi seseorang di Selera. Memberi perintah agar mematai-matai Selera untuknya.

"Sudah dirumah jam segini?"

Lea menoleh dan manyun ketika melihat siapa yang baru saja masuk dan menghampirinya.

"Udah! Capek aku jadi babu di rumah makan itu! Masa abis jadi ratu trus turun pangkat jadi babu, sih, Mas. Ya ogah lah aku, cantik dan seksi begini ngga pantes jadi pesuruh bos jelek dan gendut kaya gitu. Akulah yang harusnya jadi bos. Udah cantik, pinter, bohay, dan pantes dibawa ke kondangan," ujar Lea panjang lebar.

"Muasin Mas, juga." Pria tampan bertubuh atletis itu menarik pinggang Lea dan mendudukkannya di pangkuan. "Kangen banget seharian kemarin ngga meluk kamu, Yang." Wajahnya terbenam di dada Lea, mencium aroma wangi tubuh Lea.

Lea kesal dan menampik bahu sang kekasih. "Jangan panggil aku pakai sebutan itu, Mas. Aku ngga suka."

"Tapi kamu memang Sayangku."

*

*

*

*