Kisah ini mengisahkan kehidupan rumah tangga yang tidak lazim, di mana sang istri yang bernama Rani justru menjadi tulang punggung keluarga. Suaminya, Budi, adalah seorang pria pemalas yang enggan bekerja dan mencari nafkah.
Rani bekerja keras setiap hari sebagai pegawai kantoran untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Sementara itu, Budi hanya berdiam diri di rumah, menghabiskan waktu dengan aktivitas yang tidak produktif seperti menonton TV atau bergaul dengan teman-teman yang kurang baik pengaruhnya.
Keadaan ini sering memicu pertengkaran hebat antara Rani dan Budi. Rani merasa lelah harus menanggung beban ganda sebagai pencari nafkah sekaligus mengurus rumah tangga seorang diri. Namun, Budi sepertinya tidak pernah peduli dan tetap bermalas-malasan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HRN_18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
eps 3 Budi Sang Pemalas
Sementara Rani memulai lembaran baru dalam kehidupannya, Budi pun menghadapi realita yang tak kalah pahitnya. Kepergian sang istri dari rumah mereka bagaikan tamparan keras bagi pria pemalas itu untuk menyadari kekeliruannya selama ini.
Hari-hari pertama tanpa Rani, Budi masih bergeming dengan aktivitas sehari-harinya yang tak berguna - tidur, menonton TV, minum-minum bersama teman-teman rantauan nya. Rumah yang biasanya rapi dan hangat kini berubah menjadi berantakan seperti kapal pecah.
"Mana istrimu, Bud? Tumben nih rumahmu kayak kapal karam begini," celetuk Joko, salah satu teman seperantauan nya yang hobi nongkrong di rumah.
Budi hanya mengedikkan bahu, "Pergi. Dia pergi ninggalin aku," sahutnya datar sembari menyambar kaleng bir dari meja.
Teman-temannya yang lain tertawa mengejek, "Wah, istrimu kabur ya gara-gara kamu pemalas begini? Jangan heran lah!"
Budi menampik dengan kesal, "Berisik kalian! Ini rumah tanggaku sendiri, aku mau berbuat apa terserah!"
Candaan dan ejekan teman-temannya itu sebenarnya menusuk hati Budi. Ucapan mereka benar adanya, Rani pergi meninggalkannya karena sikap pemalas dan tidak bertanggung jawabnya selama ini. Namun rasa malu dan gengsi membuatnya tetap bersikeras berpura-pura cuek tak acuh.
Berhari-hari hidup sendirian di rumah tanpa ada yang mengurusi kebutuhannya, membuat Budi tersadar betapa selama ini Rani-lah yang selalu menopang kehidupannya. Sang istri mencurahkan segenap tenaga untuk bekerja dan mengatur keuangan agar kebutuhan mereka tetap tercukupi.
Dan apa yang dilakukan Budi selama ini? Dengan sebutan kepala keluarga yang disandangnya, pria itu justru memilih untuk berpangku tangan dan bermalas-malasan seharian. Tidak heran jika akhirnya Rani memutuskan untuk pergi karena sudah terlalu lelah menghadapi kelakuannya.
"Bodoh...aku ini bodoh sekali! Kenapa dulu aku seperti tidak menghargai Rani ya?" gumam Budi seorang diri di rumahnya yang lengang.
Penyesalan yang terasa terlambat mulai merayapi benak Budi. Kepergian Rani meninggalkannya di tengah kerapuhannya sebagai laki-laki pemalas ini telah membuka matanya akan arti keberadaan seorang istri. Betapa Rani selalu berjuang seorang diri untuk mencukupi semua kebutuhannya selama ini.
Mengingat hal itu membuat Budi merasa malu pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia sebagai suami dan kepala keluarga malah bersikap bak pecundang dengan menggantungkan seluruh hidupnya pada Rani? Seharusnya dialah yang bertanggung jawab untuk menghidupi istri dan keluarga mereka. Tapi apa yang dilakukannya selama ini? Tak lebih hanya menghabiskan waktu dengan privat tidur, menonton TV, dan beramah-tamah dengan teman-teman yang malah menjerumuskannya dalam kemalasan.
"Tidak bisa begini terus... Harus ada yang berubah!" gumam Budi dengan nada frustasi. Perlahan tapi pasti, ia mulai merasakan penyesalan yang teramat dalam atas kelalaiannya memperlakukan Rani dengan buruk selama ini. Meremehkan jerih payah sang istri mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan keluarga.
Beberapa hari setelah kepergian Rani, Budi mulai merasa kehidupannya berantakan. Rumah yang dulu selalu rapi dan terawat kini berubah menjadi tempat yang semrawut. Tumpukan piring kotor, pakaian yang berserakan di mana-mana, bahkan nyamuk beterbangan karena sampah yang menumpuk.
"Ugh, apaan nih? Jorok banget!" keluh Budi ketika melihat keadaan rumahnya yang memprihatinkan.
Baru kali ini Budi benar-benar menyadari betapa pentingnya peran Rani selama ini dalam mengurus rumah tangga mereka. Selama ini, memang Rani lah yang bertanggung jawab atas semua pekerjaan domestik seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci pakaian, dan sebagainya. Sementara Budi hanya bermalas-malasan tanpa mau membantu sedikitpun.
Kenyataan ini sangat menohok Budi. Bagaimana bisa selama ini ia membiarkan istrinya memikul beban seberat itu seorang diri? Di satu sisi Rani harus bekerja keras mencari nafkah untuk keluarga mereka, di sisi lain dia juga mengurus semua kebutuhan rumah tangga.
Penyesalan kian membuncah di dada Budi mengingat betapa tak berbentuknya dia sebagai seorang suami dan kepala keluarga. Rani rela mengorbankan segalanya, bahkan menahan seluruh beban mengurus kehidupan mereka hanya untuk Budi. Tetapi apa yang dilakukan Budi? Tidak ada, kecuali menghabiskan waktu dengan bersantai dan bermalam-malasan.
"Rani... Maafkan aku..." gumam Budi lirih.
Untuk pertama kalinya, hati nuraninya benar-benar tersadar atas kesalahan yang selama ini diperbuatnya. Betapa selama ini ia layaknya seorang pecundang yang menjadi beban bagi Rani. Bukan layaknya kepala keluarga yang seharusnya bertanggung jawab mengayomi istri dan keluarganya.
Hampir setiap malam, Budi merasa sangat merindukan kehadiran Rani. Teringat bagaimana wanita itu selalu setia menyediakannya makan malam, mengingatkannya untuk tidak kemalaman begadang, menyiapkan pakaian kerjanya keesokan hari, dan semua hal kecil lainnya yang tak pernah Budi sadari betapa sulitnya mengurus kebutuhan rumah tangga sendirian.
Bulir-bulir air mata meleleh di pipinya yang mulai berkerut. Budi menangis dalam kepedihannya merutuki nasib yang membuatnya menjadi pria yang tak berguna ini.
"Aku berjanji, Ran... Aku akan berubah dan bertanggung jawab seperti yang kau inginkan selama ini," tekadnya dalam hati.
Satu demi satu, ia mulai membereskan rumah mereka. Menyapu, mengepel, mencuci piring dan pakaian kotor. Berhari-hari rumah itu menjadi kacau karena ditinggalkan Rani sebagai tulang punggungnya. Dan kini, Budi bertekad untuk mengambil alih tanggung jawab mengurus semua kebutuhan rumah tangganya sebagai langkah awal untuk menebus kesalahannya di masa lalu.
Perjalanan Budi untuk berubah menjadi seseorang yang lebih baik dan bertanggung jawab pun telah dimulai. Ia tahu ini tidak akan mudah, tetapi demi mengembalikan kepercayaan dan kebahagiaan Rani suatu saat nanti, Budi rela melakukan apa pun untuk memperbaiki diri. Termasuk melepas predikat "Budi sang Pemalas" yang selama ini disandangnya dengan memalukan.
Setelah berhasil membereskan dan membersihkan rumah yang sempat porak-poranda, Budi memutuskan untuk melangkah lebih jauh dalam usahanya memperbaiki diri. Ia sadar, tidak akan cukup hanya dengan mengurus keperluan rumah tangga saja. Sebagai seorang kepala keluarga yang sesungguhnya, ia harus bisa mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya kelak.
Mengingat pengalaman kerja yang hampir tidak ada, membuat Budi merasa was-was untuk mencari pekerjaan. Berkali-kali CV dan lamarannya ditolak dari berbagai perusahaan yang dia datangi. Siapa yang mau mempekerjakan seorang pria pemalas dan tak berpengatahuan sepertinya?
"Maaf, Pak. Tapi dengan latar belakang seperti ini, kami belum bisa menerima Bapak bekerja di perusahaan kami," ujar seorang HRD perusahaan pada Budi.
Penolakan itu memukul mentalnya. Budi kembali diingatkan bagaimana ia selama ini hanyalah seorang pemalas yang tidak memiliki keahlian apapun. Lagi-lagi ia merasa malu pada dirinya sendiri yang selalu bergantung pada Rani.
"Rani... Kumohon beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya," gumam Budi berulang kali seperti sebuah mantra pengingat.
Tekadnya untuk berubah bulat sudah tidak tergoyahkan. Budi rela melakukan pekerjaan apa saja yang bisa menghasilkan uang. Mulai dari menjadi buruh bangunan, kuli angkut barang, petugas keamanan toko, atau pekerjaan serabutan lain yang bisa didapatnya.
Meski hasil yang didapat tidak seberapa, setidaknya sudah lebih baik dibandingkan masa-masa pemalas dirinya dulu. Keringat yang bercucuran di wajah dan tubuhnya terasa jauh lebih mulia ketimbang masa-masa penganggurannya dulu. Budi seperti menemukan kembali harga diri dan kebahagiaannya sebagai seorang pria pekerja keras pencari nafkah.
"Lihat, Ran? Sekarang aku sudah berusaha berubah, melakukan yang terbaik," gumam Budi sambil menatap sebuah pigura foto pernikahannya dengan Rani yang terpajang di dinding rumah.
Tentu, upah rendahan yang diperolehnya belum cukup untuk mencukupi kehidupan layak mereka berdua jika Rani kembali padanya nanti. Namun ini baru sebagai permulaan. Budi bertekad untuk terus mengasah diri, menambah keahlian dan pengalaman agar bisa mendapatkan pekerjaan dengan bayaran yang lebih baik suatu hari nanti.
Perjuangannya untuk menghapus stigma "Budi sang Pemalas" masih panjang. Tetapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Budi bisa bangga akan dirinya sendiri yang mulai menunjukkan usaha nyata untuk berbenah. Semua ini dilakukannya untuk menebus kesalahannya di masa lalu dan berusaha mendapatkan kepercayaan Rani kembali. Dengan tekad yang membara, Budi siap mengubah nasibnya menjadi seorang pria sejati yang bertanggung jawab.