Kehidupan Zenaya berubah menyenangkan saat Reagen, teman satu kelas yang disukainya sejak dulu, tiba-tiba meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya.
Ia pikir, Reagen adalah pria terbaik yang datang mengisi hidupnya. Namun, ternyata tidak demikian.
Bagi Reagen, perasaan Zenaya tak lebih dari seonggok sampah tak berarti. Dia dengan tega mempermainkan hati Zenaya dan menginjak-injak harga dirinya dalam sebuah pertaruhan konyol.
Luka yang diberikan Reagen membuat Zenaya berbalik membencinya. Rasa trauma yang diberikan pria itu membuat Zenaya bersumpah untuk tak pernah lagi membuka hatinya pada seorang pria mana pun.
Lalu, apa jadinya bila Zenaya tiba-tiba dipertemukan kembali dengan Reagen setelah 10 tahun berpisah? Terlebih, sebuah peristiwa pahit membuat dirinya terpaksa harus menerima pinangan pria itu, demi menjaga nama baik keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim O, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 : Menjadi Sepasang Kekasih.
"Jadilah kekasihku!"
Zenaya menjatuhkan buku fisika yang berada dalam dekapannya saat mendengar penuturan Reagen yang tiba-tiba barusan.
Bagaimana tidak, lelaki yang telah tiga tahun disukainya itu baru saja menyatakan perasaannya.
Zenaya terpaku di tempat. Gadis itu sama sekali tidak mempercayai apa yang ditangkap oleh indera pendengarannya.
Dia pasti sudah salah dengar!
Seantero sekolah tahu, bahwa Reagen tengah dekat dengan Natalie selama setahun terakhir ini. Hanya tinggal menunggu waktu saja sampai mereka benar-benar menjadi sepasang kekasih dan mungkin menapaki hubungan yang lebih serius setelah kelulusan sekolah.
"Kamu dengar aku?" Suara berat Reagen kembali terdengar di telinga Zenaya. Wajahnya tampak serius dan datar, seolah yang dikatakannya tadi memang bukan lelucon semata.
"Demi Tuhan, *apa ya*ng ada dipikirannya?" gumam Zenaya dalam hati.
Zenaya lantas menatap sekeliling ruangan kelas guna memastikan bahwa memang hanya dialah yang sedang diajak bicara oleh Reagen.
"Tidak ada siapapun di sini dan aku sedang bicara padamu!" Reagen menegaskan diri ketika menyadari tingkah Zenaya.
Zenaya lagi-lagi merasa bodoh di hadapan lelaki itu. Kelas memang sudah kosong sejak tadi, mengingat bel telah berbunyi sejak lima belas menit yang lalu.
"Aku tidak akan mengulanginya lagi!" Sorot mata Reagen berubah. Dia tengah menuntut jawaban Zenaya.
"A–aku ...," Tidak mampu meneruskan perkataannya, gadis itu hanya mampu menganggukkan kepalanya.
Melihat respon Zenaya, Reagane yang semula memasang raut wajah dingin kini melunak seketika.
"Kuantar kamu pulang," katanya kemudian, sembari menggenggam hangat tangan mungil Zenaya.
Zenaya terhenyak. Kejadian hari ini begitu cepat. Reagen yang tidak pernah mengajaknya berkomunikasi tiba-tiba meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya. Meski terasa sangat ganjil, rasa cinta Zenaya yang mendalam membuat berbagai macam spekulasi hilang dari pikirannya.
Dia bahkan tidak mau repot-repot memikirkan hubungan Reagen dengan Natalie. Bisa saja, sejak awal Reagen memang menaruh perasaan padanya diam-diam, seperti yang dia lakukan selama ini.
...***...
Tidak butuh waktu lama sekolah mendadak gempar begitu mengetahui hubungan Reagen dan Zenaya. Banyak dari mereka yang sangat terkejut dan menyayangkan sikap Reagen karena telah mengkhianati Natalie. Mereka bahkan menuding Zenaya telah merebut Reagen dari gadis malang itu.
Zenaya tidak bisa menghindari tatapan cemoohan dan hujatan para siswi di sekolahnya. Gadis itu hanya bisa mempercepat langkah kakinya menuju kelas. Namun, saat hendak melewati beberapa orang siswi popular yang tengah berkerumun, seseorang tiba-tiba dengan sengaja menabrak bahu Zenaya keras hingga membuat gadis itu jatuh ke lantai.
"Ups, maaf ... sengaja!" Suara tawa dari para siswa dan siswi sontak menggelegar memenuhi koridor sekolah.
Sambil menahan malu, Zenaya bergegas mengambil ranselnya yang lepas dan kembali berdiri.
"Eh, mau ke mana cantik?" Siswi yang menabrak dirinya barusan langsung menahan bahu Zenaya agar tidak pergi dari sana.
"Maaf, aku mau ke kelas, dan aku tidak punya urusan sama kalian," ujar Zenaya.
"Wow, sombong sekali si gadis pintar ini. Mentang-mentang sekarang sudah menjadi kekasih kapten tim basket kita!" Siswi tersebut berkata lantang sambil menatap sinis Zenaya.
"Heh, jangan sok cantik dan besar kepala kamu! Hanya teman kami, Natalie, yang pantas bersanding dengan Rey! Bukan gadis sok sepertimu! Jadi, segera putuskan hubunganmu dengannya!" pekik gadis itu. Ketiga temannya yang turut berdiri di sana juga mengiyakan perkataan teman mereka tersebut.
Zenaya tidak memerdulikan ucapan mereka. Dia mulai bergerak menjauhkan dari sana. Namun, para gadis malah menahan Zenaya dengan menjambak rambutnya secara brutal.
Zenaya berteriak kesakitan dengan mata basah. Namun, bukannya bersimpati orang-orang di sana justru semakin mengeraskan tawanya. Beberapa di antara mereka bahkan mengambil potret dirinya
"To–tolong, lep–paskan!" pinta Zenaya parau sambil berusaha melepaskan cengkeraman gadis itu.
"Enak saja! Lepasin dulu Rey, Kalau tidak ...." Gadis itu semakin keras menarik rambut Zenaya, tanpa memerdulikan teriakan kesakitan Zenaya.
Zenaya sendiri tidak bisa menjawab karena sednag kesulitan. Dia memilih untuk terus memohon untuk dilepaskan dengan suara terbata-bata.
Suara sorak sorai pun semakin ramai, mereka bahkan ikut menyuruh Zenaya untuk menuruti permintaan tersebut. Tidak ada satu orang pun yang memihaknya, mungkin karena bagaimanapun Natalie merupakan putri pemilik yayasan sekolah mereka, dan seperti apapun ceritanya tetap saja Zenaya yang salah karena telah berpacaran dengan Reagen.
Setetes air mata sontak mengalir membasahi pipi Zenaya. Sebesar itukah dosanya mencintai seorang Reagen? Mereka bahkan sama sekali tidak tahu bahwa Reagen lah menyatakan perasaannya lebih dulu.
Haruskah dia mengatakan yang sebenarnya?
Zenaya langsung menggelengkan kepalanya samar. Siapa yang percaya pada kata-kata yang keluar dari mulutnya saat ini? Bisa saja hal tersebut malah akan menjadi boomerang untuk dirinya sendiri di kemudian hari.
"Katakan bodoh!" Gadis itu semakin menarik rambut Zenaya hingga beberapa helaiannya jatuh ke lantai. Salah satu di antara mereka bahkan mendekati Zenaya dan berniat untuk melayangkan tamparan pada pipi gadis itu. Namun, sebuah tangan kokoh lantas menahan lengannya terlebih dahulu.
"Berani menyentuh kekasihku, kupatahkan tanganmu!" Reagen menatap gadis itu dingin lalu menghempaskannya kasar.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Reagen sembari menghapus air mata Zenaya.
Zenaya menganggukkan kepalanya tanpa mampu berkata-kata.
Reagen menggenggam tangan Zenaya dan berbalik menatap kerumuman siswa-siswi yang masih berada di sana.
"Akulah yang lebih dulu menyatakan perasaan padanya, jadi, kuharap tidak akan ada lagi kejadian seperti ini! Jika dikemudian hari, aku masih mendapati Zenaya diperlakukan seperti ini, jangan harap hidup kalian akan tenang!" Sebuah peringatan keras terlontar lantang dari mulut Reagen.
Suasana mendadak sunyi, bisik-bisik sinis yang tadi sempat terdengar kini tidak lagi bergaung. Aura di tempat itu terasa sangat mencekik hingga membuat mereka kompak menundukkan kepala.
Zenaya meremas tangan Reagen, seolah memberi isyarat bahwa dia enggan berlama-lama berada di sana.
Reagen yang memahami suasana hati Zenaya segera membawa gadis itu pergi menuju kelas mereka.
Natalie yang rupanya memperhatikan kejadian tersebut dari jauh hanya bisa memandang kepergian mereka dengan hati teriris.
Reagen baru melepaskan tautan tangan mereka saat Zenaya sudah duduk di kursinya.
"Terima kasih," ucap Zenaya lirih. Wajah gadis itu masih terlihat sangat syok. Maklum saja, seumur-umur dia belum pernah terlibat dalam kasus pembullyan, terlebih sampai menjadi korbannya.
"Kamu benar tidak apa-apa?" tanya Reagen khawatir.
Zenaya menganggukkan kepalanya.
"Mulai besok kita akan berangkat dan pulang sekolah bersama. Aku tidak ingin kejadian seperti tadi terulang."
Zenaya lagi-lagi hanya bisa menganggukkan kepala tanda setuju.
Beberapa saat kemudian ketiga sahabat Zenaya masuk ke dalam kelas dengan terburu-buru. Mereka langsung menghampiri gadis itu guna menanyakan keadaannya. Mereka tentu sudah mendengar kejadian yang menimpa Zenaya barusan, Grace bahkan hampir saja menampar salah satu siswi yang tengah bergosip di depan loker.
Melihat kedatangan sahabat Zenaya, Reagen pun memutuskan pergi menuju kursinya sendiri.
"Aku tidak apa-apa. Untung saja ada Rey yang datang tepat waktu." Zenaya tersenyum.
Emily yang tengah membantu Zenaya merapikan rambutnya kontan terdiam. Gadis itu melakukan kontak mata pada Alice dan Grace.
Jujur saja, mereka sama sekali belum mempercayai perasaan Reagen.