Kehidupan gadis yang bernama Renata Nicholas tak jauh dari penderitaan, wajahnya yang pas-pasan serta penampilannya yang kurang menarik membuat semua orang terus merendahkannya.
Setelah orang tuanya meninggal, Renata tinggal bersama sang bibi dan sepupunya. Namun, mereka selalu tak adil padanya dan mengucilkannya. Tak pernah mendapatkan kebahagiaan membuat Renata jenuh dan memutuskan pergi dari rumah.
Disaat itu ia bertemu dengan laki-laki yang bernama Derya Hanim, seseorang yang pernah ia kagumi, akan tetapi itu bukan akhir dari segalanya, ternyata Derya hanya memanfaatkan keluguannya sebagai pelukis yang hebat.
Setelah tahu tujuan Derya, Renata kembali bangkit dan pergi dari pria itu, dan akhirnya Renata bertemu dengan Bagas Ankara, dia adalah bos Renata, pria yang diyakini bisa membantu mengubah hidupnya, baik dari segi karir maupun wajahnya. Bagas yang ingin membalas mantannya pun mengakui Renata sebagai pacarnya.
Akankah cinta tumbuh diantara mereka?
Ataukah Bagas kembali memanfaatkan Renata seperti yang dilakukan Hanim?
Siapa sosok Bagas dan Derya, pria yang sama-sama hadir dalam hidup Renata?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi dari rumah
Pintu terbuka dengan kerasnya. Suara Karin yang baru saja tiba menggema memenuhi ruangan rumah yang sederhana itu. Renata membuka mata dan menatap ke arah pintu saat samar-samar namanya dipanggil, dengan sigap gadis itu terbangun dan keluar. Ditatapnya Karin yang sedang mematung di ruang tamu. Wajahnya nampak pias dengan kedua tangan saling berkacak pinggang.
"Kakak memanggilku?" tanya Renata tanpa rasa takut.
Tak ada jawaban. Namun, tatapan Karin sangat tajam yang membuat Renata menciut.
Karin melempar tasnya dan berjalan menghampiri Renata yang mematung di depan pintu kamarnya.
Keduanya hanya berjarak beberapa centi saja. Seketika Karin menarik rambut panjang Renata hingga gadis itu mendongak.
"Apa yang kamu katakan pada Toni?" tanya Karin dengan gigi mengerat.
Renata menggeleng, "Aku tidak pernah mengatakan apa-apa, Kak," ucap Renata dengan suara bergetar, menahan dadanya yang ikut nyeri.
"Jangan bohong!" ucap Karin menekankan.
"Aku serius, Kak. Aku tidak pernah mengatakan apa-apa," ulang Renata meyakinkan.
Karin melepas jambakannya dengan kasar hingga membuat Renata tersentak.
"Apa kamu pikir aku percaya dengan ucapan kamu itu," cetus Karin. Wajahnya semakin merah padam kala mengingat cerita dari Toni yang mengatakan jika Renata pernah menggodanya.
"Terserah kakak mau percaya sama siapa, tapi perlu kakak tahu, kalau aku tidak bohong."
Baru saja membalikkan tubuhnya, Karin mendorong tubuh Renata hingga jatuh tersungkur. Kakinya yang lecet kini semakin parah hingga gadis itu meringis kesakitan.
Tak puas begitu saja, Karin berjalan mendekati beberapa lukisan yang berjejer rapi. Tangannya mengulur mengambil lukisan indah yang terpajang di dinding.
Mengetahui itu, Renata bangun dan berjalan tertatih-tatih mendekati Karin.
"Ini mau diapain, Kak?" tanya Renata di sela-sela tangisnya.
Karin mengangkat lukisan itu hingga Renata yang lebih pendek tak bisa menjangkaunya.
Renata terus maranggeh tangan Karin yang menjulur ke atas. Namun sia-sia, Karin menjatuhkannya tepat di belakang Renata hingga bingkai yang terbuat dari kaca itu pecah seketika.
Renata menatap lukisannya yang kini teronggok di lantai dengan tatapan nanar. Berhari-hari, bahkan hampir satu bulan ia memolesnya, namun sedikit pun tak hargai.
"Kenapa Kakak tega merusak lukisanku?" Renata berjongkok memungut serpihan kaca yang berserakan.
Karin maju satu langkah dan menginjak tangan Renata yang ada di atas kaca.
Aawww, ringis Renata saat noda merah pekat mulai menghiasi jari lentiknya.
"Sekali lagi kamu berani menggoda Toni, aku tidak akan mengampunimu," ancam Karin.
Setelah Karin keluar dari kamar itu, Renata bangkit dan duduk di tepi ranjang. Ia mengusap air matanya yang masih tersisa lalu mengepalkan tangannya.
"Aku sudah berkorban banyak demi Kalian. Aku sudah rela diinjak-injak semua orang hanya untuk membuat kalian bahagia, tapi apa yang aku dapat, hanya siksaan yang tiada akhir. Aku berjanji pada diriku sendiri. Mulai hari ini tidak akan ada yang bisa merendahkanku lagi, termasuk kalian berdua.''
Renata beranjak dan berjalan menuju ke arah laci, ia membalut tangannya dengan perban dan beralih ke arah lemari, dengan sigap ia membongkar semua bajunya, meraih tas ransel dan membukanya.
"Aku harus pergi dari sini, aku tidak mau kak Karin dan bibi menyiksaku lagi, aku harus bisa seperti mereka, aku harus bisa mengubah diriku menjadi lebih baik lagi.''
Tanpa pikir panjang, Renata keluar dari rumah Bibi.
Malam sudah mulai larut, jalanan sangat sepi, namun Renata tak menghentikan langkahnya yang mulai sempoyongan. Ia terus menyusuri ruas jalan. Hanya dengan bantuan lampu penerang ia bisa terus melangkah tanpa tujuan.
Tanpa sadar, Renata tiba di depan perusahaan tempatnya bekerja. Lututnya yang terluka semakin terasa perih hingga terpaksa mencari tempat untuk berhenti.
Renata berdiri di depan gerbang yang sudah terkunci. Cuaca mendung, hingga beberapa kali mengeluarkan suara petir yang menggelegar.
Renata menggunakan tasnya sebagai payung dan berlari ke arah gazebo yang ada di samping jalan.
Bingung melanda, Renata hanya bisa menatap mobil yang melintas. Is tak tahu arah dan tujuan, yang ada di dalam otaknya saat ini harus menjauh dari orang-orang yang membencinya.
"Aku tidak mau kembali ke rumah bibi, aku tidak mau mereka menyakitiku lagi."
Gerimis menghilang, Renata beranjak dan mematung di bibir jalan. Baru saja ingin menyeberang, sorot lampu yang menyilaukan membuat Renata mundur. Namun nahas, kakinya menginjak sebuah batu hingga membuatnya terjatuh.
Mobil berhenti tepat di samping Renata, gadis itu meringis tanpa berdiri. Mengelus bagian bawah pinggang yang terasa linu karena menghantam aspal.
Seorang pria yang memakai jas berwarna hitam pekat turun dari mobil dan menghampirinya, tanpa kata pria itu mengulurkan tangannya ke arah Renata yang nampak ketakutan.
Setelah hening tercipta beberapa menit. Renata mendengar deheman pria itu.
"Aku bukan orang jahat." Suara berat itu menyapa.
Perlahan Renata mendongak menatap pria gagah yang berdiri di depannya.
"Jangan takut, aku akan membantumu," ucap orang itu.
Renata menerima uluran tangan itu dan berdiri. Betapa terkejutnya saat melihat wajah yang tak asing baginya.
Dia kan pak Bagas, kenapa dia tidak jijik padaku?
"Kenalkan, namaku Bagas Ankara, pemilik perusahan ini." Menunjuk gedung tempatnya bekerja.
Renata menundukkan kepalanya, ia malu berhadapan dengan tokoh yang digadang-gadang ketampanannya, mereka bagaikan langit dan bumi yang tidak akan bisa menyatu.
Renata meraih tasnya dan kembali duduk, sedangkan Bagas mengikuti langkah Renata dan ikut duduk di sampingnya.
"Siapa nama kamu? Kenapa malam-malam seperti ini kamu masih ada di luar?" Bagas melirik tas milik Renata yang ada di sampingnya.
"Aku ingin pergi dari rumah, aku tidak sanggup lagi menerima perlakuan bibi dan kak Karin. Mereka terus menyakitiku, padahal selama ini aku selalu menuruti kemauan mereka." Tanpa disadari Renata mengadu pada Bagas dengan nasibnya yang sangat memilukan.
Bagas mengulas senyum.
"Aku bisa membantumu, dan aku yakin mereka tidak akan bisa menyakitimu lagi."
"Sekarang kita kenalan dulu." Bagas mengulurkan tangannya ke arah Renata.
Hampir saja Renata menerima uluran tangan Bagas, sebuah mobil kembali berhenti di belakang mobil Bagas hingga Renata menarik tangannya kembali.
Pria yang tak asing pun turun menghampiri Renata.
"Mas Derya, seru Renata. Jantungnya berdegup dengan kencang melihat orang yang ia kagumi itu tersenyum ke arahnya.
"Ikut aku!"
Derya meraih tangan Renata, merasa dipedulikan, Renata pun mengikuti langkah Derya menuju mobil.
Ternyata pak Bagas baik juga, aku kira dia CEO yang sangat dingin seperti cerita orang-orang.
Setelah puas menatap Bagas yang masih mematung di pinggir jalan, Renata menoleh menatap Derya yang sibuk dengan setirnya.
Kenapa mas Derya peduli padaku, padahal selama ini dia selalu cuek.