Di pinggiran hutan Jawa yang pekat, terdapat sebuah desa yang tidak pernah muncul dalam peta digital mana pun. Desa Sukomati adalah tempat di mana kematian menjadi industri, tempat di mana setiap helai kain putih dijahit dengan rambut manusia dan tetesan darah sebagai pengikat sukma.
Aris, seorang pemuda kota yang skeptis, pulang hanya untuk mengubur ibunya dengan layak. Namun, ia justru menemukan kenyataan bahwa sang ibu meninggal dalam keadaan bibir terjahit rapat oleh benang hitam yang masih berdenyut.
Kini, Aris terjebak dalam sebuah kompetisi berdarah untuk menjadi Penjahit Agung berikutnya atau kulitnya sendiri akan dijadikan bahan kain kafan. Setiap tusukan jarum di desa ini adalah nyawa, dan setiap motif yang terbentuk adalah kutukan yang tidak bisa dibatalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. Fmz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Langkah Kaki di Atas Plafon
Aris menyadari bahwa ini baru awal dari teror yang lebih besar, karena bayangan-bayangan itu mulai menirukan setiap gerak-gerik yang ia lakukan. Di atas langit-langit teras yang setengah hancur, suara derap langkah kaki terdengar sangat berat dan nyata, seolah-olah plafon kayu itu dipijak oleh ratusan kaki tanpa sepatu. Aris mendongak dan melihat bilah-bilah kayu mulai melengkung ke bawah, ditekan oleh beban yang sangat luar biasa dari sesuatu yang tidak kasat mata.
"Sekar, jangan bergerak sedikit pun, mereka sedang memetakan posisi kita dari atas!" bisik Aris sambil menahan napasnya.
"Aku bisa mendengar suara kuku yang menggaruk kayu, Aris, jumlah mereka sangat banyak," sahut Sekar dengan suara yang bergetar hebat.
Guncangan dahsyat mendadak terjadi hingga beberapa papan kayu plafon terlepas dan jatuh menghantam lantai teras dengan suara berdentum. Dari celah plafon yang terbuka itu, muncul puluhan pasang kaki manusia yang pucat dan berlumuran minyak hitam, tergantung dalam posisi terbalik. Kaki-kaki itu bergerak secara ritmis, berjalan di udara hampa namun tetap mengeluarkan suara langkah yang menggema di dalam rongga dada Aris.
"Mereka mencari suara kita, jangan biarkan napasmu terdengar oleh telinga mereka yang tersembunyi," ucap Aris sambil menarik Sekar ke sudut pilar.
"Tapi Aris, lihat kaki itu, salah satunya memiliki tanda lahir yang sama dengan milik ayahku!" seru Sekar dengan mata yang membelalak penuh kengerian.
Aris segera membekap mulut Sekar sebelum teriakan itu mengundang malapetaka yang lebih besar ke arah mereka. Ia melihat salah satu kaki pucat itu mendadak berhenti bergerak dan menjulur panjang ke bawah, mencoba meraba permukaan lantai tepat di samping sepatu Aris. Sebagai seorang perancang bangunan, Aris menyadari bahwa getaran dari langkah kaki itu memiliki frekuensi yang bisa meruntuhkan sisa struktur bangunan jika terus dibiarkan.
"Kita harus memutus jalur suara ini dengan menciptakan kebisingan yang lebih besar di arah lain," bisik Aris dengan rencana yang mulai terbentuk.
"Bagaimana caranya? Kita bahkan tidak berani bergeser satu jengkal pun dari pilar ini," balas Sekar dalam bisikan yang sangat tipis.
Aris mengambil sebuah potongan genteng yang tajam di dekat kakinya, lalu melemparkannya sekuat tenaga ke arah sumur tua di halaman rumah. Suara dentingan genteng yang menghantam bibir sumur menciptakan gema yang cukup nyaring di tengah kesunyian malam yang mencekam. Seketika itu juga, puluhan pasang kaki yang tergantung di plafon bergerak serempak menuju ke arah sumber suara tersebut dengan kecepatan yang tidak wajar.
"Sekarang, lari ke arah gerbang sebelum mereka menyadari bahwa itu hanya tipuan!" perintah Aris sambil menarik lengan Sekar.
Mereka berlari menembus kegelapan halaman, namun suara langkah kaki di atas plafon itu tiba-tiba ikut berpindah mengikuti pergerakan mereka. Aris merasa seolah-olah ada plafon gaib yang kini membentang di atas kepalanya, ke mana pun ia melangkah, suara derap kaki itu selalu berada tepat di atas ubun-ubunnya. Langit malam yang tadinya luas kini terasa sesak, seakan dunia telah dijahit menjadi sebuah ruangan sempit dengan langit-langit yang dipenuhi oleh para penunggu makam.
"Mereka tidak terikat pada rumah, Aris! Mereka terikat pada bayangan kita sendiri!" teriak Sekar sambil terus terengah-engah.
"Kalau begitu kita harus masuk ke dalam cahaya yang paling terang agar bayangan itu menghilang!" sahut Aris sambil menunjuk ke arah lentera desa di ujung jalan.
Tepat sebelum mereka mencapai batas pagar rumah, sebuah kaki raksasa berbulu lebat menjuntai turun dari langit dan menginjak tanah tepat di depan wajah Aris. Tekanan dari injakan itu membuat tanah di sekeliling mereka amblas sedalam mata kaki, mengeluarkan aroma belerang yang sangat tajam dan menyengat hidung. Aris terjatuh ke belakang, melihat ke atas dan menyadari bahwa plafon tersebut kini telah berubah menjadi hamparan kulit manusia yang luas.
"Berikan suara kalian kepada kami, agar kami bisa berbicara kembali kepada dunia yang telah melupakan kami!" sebuah suara parau bergema dari lipatan kulit plafon.
"Ambil saja suaraku, tapi lepaskan Aris dari kutukan benang hitam ini!" jerit Sekar yang mencoba mengorbankan dirinya.
Aris bangkit dengan amarah yang meluap, ia menusukkan jarum emas yang patah di tangannya ke arah kaki raksasa yang menghalangi jalan mereka. Cairan kental berwarna biru pekat menyembur keluar dari luka kaki tersebut, diiringi oleh jeritan melengking dari ratusan mulut yang kini muncul di permukaan plafon kulit. Plafon itu mulai robek, menjatuhkan ribuan jarum jahit yang sudah berkarat ke arah mereka seperti hujan badai yang mematikan.
"Larilah ke dalam kegelapan hutan, Aris! Cahaya lentera itu hanya akan membuat bayanganmu semakin jelas terlihat oleh mereka!" teriak sebuah suara yang sangat mirip dengan suara ibunya.
Aris terpaku sejenak mendengar peringatan itu, namun ia melihat Sekar sudah mulai tertimbun oleh tumpukan jarum jahit yang turun dari langit. Ia harus membuat keputusan cepat antara mengikuti petunjuk suara ibunya atau tetap menuju cahaya desa yang tampak menjanjikan keamanan. Di saat kebimbangan memuncak, bayangan Aris sendiri mendadak berdiri tegak dan mencekik lehernya dari belakang dengan tangan yang terasa sangat nyata.
Di saat kebimbangan memuncak, bayangan Aris sendiri mendadak berdiri tegak dan mencekik lehernya dari belakang dengan tangan yang terasa sangat nyata.