Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tinta Merah dan Kalimat Pembuka
"Rian harus menggantikan posisiku, atau Elara tidak akan pernah keluar dari sini."
"Rian harus menggantikan posisiku..."
Rian membaca ulang kalimat di kertas berdarah itu. Suaranya bergetar, bukan karena takut, tapi karena semacam kerelaan yang menyakitkan. Dia menatap Bobi, sahabatnya yang konyol, yang mulutnya kini dijahit paksa dengan benang hitam tebal. Mata Bobi membelalak, air mata darah mengalir deras, kepalanya menggeleng panik seolah berteriak: JANGAN! PERGI SAJA!
"Oke," kata Rian pelan. Dia menjatuhkan kertas itu ke lantai tanah yang becek. "Lepasin dia. Ambil gue."
"JANGAN!" teriak Elara. Dia melempar laptopnya ke atas tumpukan jerami busuk dan lari menyambar lengan Rian. "Lo gila, Yan?! Itu yang dia mau! Kalau lo duduk di sana, lo nggak akan pernah balik!"
"Liat Bobi, El!" bentak Rian, menunjuk sosok mengenaskan di kursi itu. "Dia sekarat! Mulutnya... Tuhan, liat mulutnya! Kalau gue nggak gantiin dia sekarang, dia bakal mati kehabisan darah atau gila karena rasa sakit!"
Di sudut ruangan, Sarah tidak membuang waktu untuk berdebat. Naluri protektifnya meledak. Dia mencengkeram kapak pemotong kayu dengan kedua tangan, lalu tanpa suara, dia menerjang ke arah Adrian.
Sarah mengayunkan kapak itu sekuat tenaga, membidik leher bayangan Adrian.
WOOSH!
Kapak itu menembus tubuh asap Adrian begitu saja, seolah membelah udara kosong. Keseimbangan Sarah goyah, dia terhuyung ke depan.
Adrian tertawa. Suaranya berat dan menggema, membuat dinding-dinding daging di ruangan itu berdenyut menjijikkan.
"Manis sekali. Tapi besi tua tidak bisa melukai penulis cerita ini."
Satu cambukan bayangan hitam muncul dari punggung Adrian, menghantam tubuh Sarah.
BUGH!
Sarah terpental jauh, menabrak rak anggur yang sudah hancur. Dia mengerang kesakitan, kapaknya terlepas dari genggaman. Tubuhnya merosot lemas, pingsan atau mungkin terlalu sakit untuk bangun.
"Sarah!" jerit Elara.
Rian semakin nekat. Dia melepaskan cengkeraman Elara dan melangkah maju mendekati kursi Bobi.
"Keluar dari situ, Bob," kata Rian lembut, meski matanya nyalang menahan tangis. Dia memegang bahu Bobi yang penuh luka cakaran.
Bobi ingin berontak, ingin mendorong Rian menjauh, tapi tubuhnya kaku seperti dilumpuhkan. Jari-jarinya masih dipaksa mengetik oleh kekuatan tak kasat mata.
Tak... tak... tak...
Mesin tik itu terus berbunyi.
"Pergantian pemain diterima," desis Adrian.
Tiba-tiba, benang-benang hitam yang menjahit mulut Bobi terurai sendiri dengan cepat dan kasar, merobek sedikit kulit bibirnya.
"AAARGH!" Bobi akhirnya bisa berteriak. Suaranya serak dan basah.
Bersamaan dengan itu, tubuh Bobi terlempar dari kursi seolah ada pegas yang menolaknya. Dia jatuh tersungkur di kaki Elara, terbatuk-batuk memuntahkan darah hitam.
Kursi itu kini kosong. Menunggu tuan barunya.
Rian menarik napas panjang. Dia menoleh ke Elara, memberikan senyum perpisahan yang paling sedih yang pernah Elara lihat.
"Tulis cerita yang bagus buat kita ya, El," bisik Rian.
Lalu, Rian duduk di kursi itu.
Seketika, jeruji besi imajiner seolah mengunci tubuhnya. Punggung Rian tegak kaku. Tangannya terangkat sendiri ke atas tuts mesin tik.
Dan horor itu dimulai.
Dari udara kosong, jarum dan benang hitam muncul, melayang di depan wajah Rian. Jarum itu bergerak cepat, menusuk bibir atas dan bawah Rian.
"Rian!" Elara menjerit histeris, menutup mulutnya sendiri dengan tangan.
Rian tidak berteriak. Dia hanya mengerang tertahan saat jarum itu menembus dagingnya, menjahit mulutnya rapat-rapat dalam hitungan detik. Darah segar menetes ke dagunya, jatuh ke kemejanya yang kotor.
Mata Rian membelalak kesakitan, menatap Elara dengan pandangan memohon: Lari.
Tapi Elara tidak lari.
Amarah yang luar biasa besar meledak di dadanya, membakar rasa takutnya hingga menjadi abu. Dia muak. Dia muak jadi korban. Dia muak melihat teman-temannya disiksa demi plot cerita sampah karangan hantu psikopat.
Elara menyambar laptopnya yang tergeletak di jerami. Dia membukanya kasar.
Layar itu masih menyala. Masih terhubung dengan "jaringan" gaib villa ini.
"Lo mau perang narasi?" desis Elara, matanya menatap tajam ke arah Adrian yang sedang berdiri puas di belakang Rian. "Ayo kita perang."
Elara duduk bersila di lantai kotor itu, memangku laptopnya.
Di mesin tik, jari Rian mulai bergerak. Adrian memaksanya mengetik:
Tak... tak... tak...
"Rian menerima takdirnya. Dia akan menjadi penulis abadi di ruang bawah tanah, sementara teman-temannya membusuk di sini bersamanya."
Elara melihat kalimat itu muncul secara real-time di dokumen Word laptopnya, seolah Rian sedang mengetik di keyboard yang sama.
"Nggak akan," geram Elara.
Jari Elara menghantam keyboard laptopnya dengan brutal. Dia memblok kalimat yang baru saja diketik Rian/Adrian itu, lalu menekan tombol DELETE.
Di mesin tik Rian, kertas yang sedang diketik tiba-tiba terbakar sendiri di bagian kalimat itu. Apinya kecil, tapi cukup untuk menghapus tulisan tinta darah itu.
Adrian tersentak. Dia menoleh ke arah Elara. Mata merahnya menyipit marah.
"Berani sekali kau menyunting karyaku!"
Elara tidak peduli. Dia mengetik kalimat baru dengan cepat, menggunakan hak vetonya sebagai Tokoh Utama:
"Tapi Rian menolak. Kehendak bebasnya lebih kuat daripada benang itu. Dia tidak akan menulis kematiannya sendiri."
Seketika, jari-jari Rian di atas mesin tik berhenti bergerak. Rian gemetar hebat, keringat dingin bercucuran, tapi dia berhasil menahan tangannya agar tidak menekan tuts huruf.
"Lancang!" raung Adrian.
Dinding ruangan bergetar. Akar-akar daging yang menjijikkan mulai merayap keluar dari tanah, mencoba menjerat kaki Elara.
"Bobi! Sarah! Lindungi gue!" teriak Elara tanpa mengalihkan pandangan dari layar. "Gue harus nulis!"
Bobi, meski kesakitan setengah mati, merangkak bangun. Dia mengambil kapak Sarah yang tergeletak. Dengan sisa tenaga terakhir, dia berdiri di depan Elara, menebas akar-akar daging yang mendekat.
"Jangan... sentuh... editor gue..." kata Bobi susah payah dengan mulut yang robek.
Sarah juga siuman. Dia masih lemas, tapi melihat Elara sedang bertarung lewat tulisan, dia tahu apa yang harus dilakukan. Dia merangkak, mengambil linggis Rian, dan berjaga di sisi kiri Elara.
Elara mengetik lagi:
"Dinding penjara itu rapuh. Cahaya matahari pagi lebih kuat daripada pondasi villa tua ini. Atap di atas mereka mulai retak."
KRAK!
Langit-langit ruang bawah tanah benar-benar retak. Debu dan serpihan batu berjatuhan. Seberkas cahaya matahari tipis menerobos masuk, membakar kulit bayangan Adrian.
"AAARGH!" Adrian mundur, menutupi wajahnya. "Hentikan! Kau merusak setting-nya!"
"Gue bukan cuma ngerusak," kata Elara dingin sambil terus mengetik. "Gue lagi nulis ulang ending cerita sampah lo."
Elara mengetik dengan kecepatan penuh:
"Benang di mulut Rian terputus. Kursi itu kehilangan kekuatannya. Adrian tidak memiliki kuasa atas mereka yang masih hidup."
Ting!
Benang di mulut Rian putus seketika. Rian terbatuk, memuntahkan sisa benang. Dia langsung melompat berdiri, menendang mesin tik itu hingga jatuh terguling ke lantai.
"Lari!" seru Rian, suaranya parau tapi lega.
Mereka berempat mundur mendekati tangga keluar. Adrian meraung-raung di tengah ruangan yang mulai runtuh. Cahaya matahari semakin banyak masuk, membakar tubuh bayangannya.
Tampaknya kemenangan sudah di depan mata.
Tapi Elara lupa satu hal.
Dalam kepanikannya mengetik, dia membuat satu kesalahan fatal. Dia lupa menutup plot hole.
Dia menulis: "Adrian tidak memiliki kuasa atas mereka yang masih hidup."
Tapi dia lupa mendefinisikan siapa yang "masih hidup".
Di sudut ruangan yang paling gelap, tumpukan tulang belulang bekas korban-korban Adrian sebelumnya mulai bergetar.
Adrian tertawa di tengah rasa sakitnya. Tawanya menggema, putus asa tapi licik.
"Kau benar, Elara. Aku tidak bisa menyentuh yang hidup. Tapi mereka..." Adrian menunjuk tumpukan tulang itu. "...mereka sudah lama mati. Dan mereka milikku."
Tulang-belulang itu menyatu, dibalut oleh daging busuk dari dinding ruangan, membentuk lima sosok monster yang mengerikan. Mereka tidak punya mata, hanya mulut yang menganga lebar penuh gigi tajam.
Dan yang paling mengerikan, mereka berdiri tepat di depan tangga keluar, satu-satunya jalan bagi Elara dan teman-temannya untuk kabur.
Mereka terkepung.
Jalan keluar tertutup monster. Ruangan mulai runtuh menimpa kepala mereka. Dan laptop Elara tiba-tiba mati total.
"Baterai Habis," gumam Elara horor, menatap layar hitam yang memantulkan wajah putus asanya.
Adrian menyeringai lebar, tubuhnya kembali membesar karena cahaya matahari tertutup debu reruntuhan.
"Sekarang..." bisik Adrian, suaranya terdengar tepat di telinga Elara. "Mari kita lihat siapa yang bisa menulis tanpa alat bantu."
Salah satu monster tulang itu melompat menerkam Rian.
Rian tidak sempat menghindar. Monster itu menabraknya hingga Rian terpental masuk kembali ke tengah ruangan, tepat ke dalam pelukan bayangan Adrian.
"RIAN!"
Adrian mencengkeram leher Rian dengan satu tangan, dan tangan lainnya memegang sebuah pena tajam yang terbuat dari tulang rusuk.
Dia mengarahkan ujung pena tajam itu tepat ke jantung Rian.
"Ketikkan kalimat terakhirmu, Elara," tantang Adrian, menatap Elara. "Atau aku yang akan menuliskan tanda titik di jantung kekasihmu ini."
Elara berdiri mematung. Laptopnya mati. Senjata tulisannya hilang. Dan Rian hanya punya waktu satu detak jantung lagi sebelum pena tulang itu menembus dadanya.
Elara merogoh sakunya. Tangannya terasa menyentuh sesuatu.....