Dia memilihnya karena dia "aman". Dia menerima karena dia butuh uang. Mereka berdua tak siap untuk yang terjadi selanjutnya. * Warisan miliaran dollar berada di ujung sebuah cincin kawin. Tommaso Eduardo, CEO muda paling sukses dan disegani, tak punya waktu untuk cinta. Dengan langkah gila, dia menunjuk Selene Agueda, sang jenius berpenampilan culun di divisi bawah, sebagai calon istri kontraknya. Aturannya sederhana, menikah, dapatkan warisan, bercerai, dan selesai. Selene, yang terdesak kebutuhan, menyetujui dengan berat hati. Namun kehidupan di mansion mewah tak berjalan sesuai skrip. Di balik rahasia dan kepura-puraan, hasrat yang tak terduga menyala. Saat perasaan sesungguhnya tak bisa lagi dibendung, mereka harus memilih, berpegang pada kontrak yang aman, atau mempertaruhkan segalanya untuk sesuatu yang mungkin sebenarnya ada?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zarin.violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chef Baru
Keesokan harinya, Selene sudah duduk di ujung meja makan yang panjang, sendirian seperti biasa, dengan sepiring buah dan roti panggang di hadapannya.
Ritual paginya adalah kesunyian, hanya diselingi suara gemericik air kolam di samping dan langkah para pelayan.
Dia hampir menyelesaikan sarapannya ketika ada suara langkah kaki yang menggema di lantai koridor.
Tom masuk.
Selene nyaris tersedak melihatnya. Tom, dengan kaos polo putih santai dan celana hitam, biasanya sudah meninggalkan mansion pada saat seperti ini.
Bahkan, seringkali Selene hanya tahu fia telah pergi dari laporan pelayan atau dari mobilnya yang sudah lenyap dari garasi.
Kehadirannya di ruang makan pada pukul delapan pagi terasa seperti pemandangan yang salah, seperti mimpi.
“Selamat pagi,” sapanya, suaranya datar namun tidak dingin, berbeda dari biasanya. Ia mengambil tempat duduk tepat di depannya.
“Pagi,” balas Selene, berusaha menelan rasa heran yang mengganjal di kerongkongannya.
Seorang pelayan langsung muncul, menempatkan kopi hitam pekat dan telur dadar ala Prancis di hadapan Tom. Tom mengangguk singkat, lalu memotong telurnya dengan elegan.
“Ada kabar baik,” ujar Tom setelah meneguk kopi pertamanya, matanya menatap Selene. “Aku sudah memanggil seorang chef baru, lebih senior, lebih berpengalaman. Namanya Chef Margareth. Dia akan datang pagi ini.”
Selene mengerjapkan matanya.
“Oh,” itu saja yang bisa Selene katakan. Dia telah belajar bahwa dalam perjanjian mereka, pertanyaan terlalu banyak seringkali tidak disukai oleh Tom. “Baiklah. Aku siap belajar dari siapa saja.”
Tom mengangguk, puas dengan respon patuhnya. “Chef Margareth punya reputasi luar biasa di dunia pastry Eropa. Dia brilian, tapi hasil didikannya tak diragukan lagi. Manfaatkan kesempatan ini.”
“Ya, terima kasih,” sahut Selene, terkesan datar dan pasrah. Tom sedikit tak suka dengan respon itu, seperti Selene tak suka jika chef-nya diganti dari Robert yang tampan menjadi Margareth yang mungkin kaku.
Sarapan pun dilanjutkan dalam suasana yang sunyi. Selene bisa merasakan tatapannya sesekali, seperti sedang mengawasi.
Dia berusaha tetap tenang, memotong buahnya dengan santai, meski jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas ketika mata itu menatapnya.
*
*
Setelah sarapan, Tom tidak bergegas kembali ke ruang kerja atau kamarnya untuk berganti pakaian kerja.
Namun, dia malah membuka laptopnya dan berkata, “Aku akan bekerja dari rumah hari ini. Di ruang tengah.”
Sebelum Selene menanggapi, bel pintu berbunyi. Beberapa menit kemudian, pelayan membawa seorang wanita ke ruang makan.
Chef Margareth. Dia mungkin berusia pertengahan lima puluhan, rambunya disanggul rapi, tubuhnya tegap bak perwira.
Matanya, berwarna abu-abu seperti baja, langsung menatap pada Tom, lalu pada Selene dengan mengangguk hormat.
Dia mengenakan seragam chef yang sangat sempurna, tanpa satu noda pun. Wajahnya tegas.
“Tuan Eduardo,” sapanya pada Tom dengan suara tegas dan jelas, sambil mengangguk hormat.
“Chef Margareth. Terima kasih sudah datang. Ini Selene,” kata Tom, berdiri dan berjalan mendekat. Anehnya, ada senyum tipis di bibirnya, sesuatu yang sangat langka. “Selene, istri kesayanganku, ini Chef Margareth yang aku ceritakan tadi.”
Sapaan kesayanganku itu membuat Selene sedikit kaku. Itu adalah bagian dari skrip mereka, tapi biasanya tak terlalu berlebihan seperti itu.
Tom berbalik ke Chef Margareth. “Selene sangat berbakat, tapi masih perlu banyak latihan dan ilmu. Aku ingin dia menjadi yang terbaik.”
“Aku tidak pernah bekerja dengan standar yang rendah, Tuan,” jawab Chef Margareth, lalu menatap Selene. “Baiklah, Nyonya. Mari kita lihat apa yang bisa Anda lakukan. Waktu di dapur adalah emas.”
Selene tersenyum dan kemudian mereka pergi ke dapur bersama.
*
*
pasti keinginanmu akan tercapai..
terima kasih kak Zarin 😘🙏
jangan biarkan Selene melakukan hal yg kurang pantas hanya karena ingin memiliki bayi ya kak Zarin 😁
tetap elegant & menjaga harga diri Selene, oke