NovelToon NovelToon
Married To Mr. Killer

Married To Mr. Killer

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda
Popularitas:8.3k
Nilai: 5
Nama Author: muliyana setia reza

Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.

Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.

"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.

Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Panggung Sandiwara Paling Mewah

Malam Minggu di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Lampu-lampu jalan kekuningan memantul indah di aspal basah. Di salah satu sudut paling prestisius, berdiri Restoran Royal Heritage.

Argantara berdiri kaku di depan pintu ruang VIP Jasmine. Jantungnya berdegup lebih kencang daripada saat menghadapi sidang senat. Bukan karena takut pada mertuanya, melainkan karena ia tahu siapa yang akan berjalan ke arahnya sebentar lagi.

Intan.

Gadis itu muncul dari balik pilar lobi. Ia mengenakan gaun sage green selutut. Rambut hitamnya digerai indah, riasan tipis membuatnya terlihat jauh lebih dewasa. Dia cantik. Sangat cantik.

Namun, saat mata mereka bertemu, Arga merasakan suhu udara turun drastis.

Wajah Intan sedingin es. Tidak ada senyum. Tatapannya lurus menembus Arga, seolah suaminya itu hanyalah ornamen pintu yang tak bernyawa.

"Mana Mama Papa?" tanya Intan datar, berhenti tepat dua meter di depan Arga.

"Sudah di dalam," jawab Arga, suaranya sedikit parau. Ia maju selangkah. "Kamu... terlihat rapi malam ini."

"Nggak usah basa-basi. Ayo masuk, selesaikan formalitas ini, lalu saya pulang."

Intan hendak melangkah, tapi Arga dengan sigap menahan lengannya. Sentuhan kulit itu membuat tubuh Intan menegang kaku.

"Tunggu," bisik Arga, menatap mata Intan lekat-lekat. "Jangan masuk dengan muka masam begitu. Papa kamu ada di dalam. Kamu mau menghancurkan hati mereka?"

Intan menatap Arga tajam, rahangnya mengeras. Ia menghela napas panjang, memejamkan mata sejenak seolah sedang mengumpulkan tenaga untuk mengubah kepribadiannya.

Saat matanya kembali terbuka, sorot kebencian itu lenyap. Digantikan oleh binar mata palsu yang begitu meyakinkan. Senyum manis terukir di bibirnya.

"Bapak benar," ucap Intan, suaranya berubah lembut namun penuh sarkasme. "Mari kita mulai sandiwaranya, Suamiku."

Tanpa ragu, Intan menggandeng lengan Arga dengan mesra. Menempelkan tubuhnya rapat-rapat.

Darah Arga berdesir hebat. Sentuhan itu... meskipun ia tahu itu palsu, rasanya begitu menenangkan. Kulit Intan yang menempel di lengannya seolah mengalirkan oksigen ke paru-parunya yang sesak seminggu ini.

"Ayo," ajak Arga, menggenggam jemari mungil itu erat-erat.

Pintu dibuka.

"Assalamualaikum!" sapa mereka berdua kompak.

Suasana di dalam ruang VIP langsung riuh. Bu Ratih dan Bu Sarah menyambut dengan wajah berseri-seri.

"Waalaikumsalam! Nah ini dia pengantin baru kita!" seru Bu Sarah heboh. "Makin hari makin serasi aja kalian berdua. Lengket banget kayak perangko."

Arga dan Intan tersenyum sopan, menyalami orang tua mereka satu per satu. Mereka duduk berdampingan di kursi yang tersisa. Posisi duduk yang sangat rapat. Di bawah meja, paha mereka bersentuhan, menciptakan keintiman fisik yang kontras dengan perang dingin di hati mereka.

"Gimana, Tan? Arga sibuk banget nggak di kampus? Dia nggak nelantarin kamu kan?" tanya Pak Wijaya dengan nada menyelidik bercanda.

Arga menahan napas. Waspada.

Namun, Intan justru menyandarkan kepalanya manja di bahu Arga.

"Mas Arga sibuk banget, Pa. Namanya juga dosen favorit," jawab Intan dengan nada bangga yang dibuat-buat. Tangannya mengelus lengan kemeja Arga pelan. "Tapi kalau di rumah, Mas Arga perhatian kok. Selalu ada waktu buat Intan."

Arga terpana. Aktingnya sempurna, batin Arga kagum sekaligus miris. Seandainya ucapan itu nyata.

Makan malam dimulai. Hidangan seafood mewah tersaji.

Arga melihat ini sebagai peluang emas. Ia teringat bagaimana Rangga mengupaskan buah untuk Intan. Arga tidak mau kalah. Ia menarik piring sajian udang bakar.

"Biar Mas yang kupasin udangnya," ucap Arga lembut, cukup keras agar didengar semua orang.

"Eh, nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri," tolak Intan halus.

"Jangan nolak rezeki," Arga menahan piring itu tegas. "Kamu baru sembuh sakit, nggak boleh capek. Biar tangan Mas aja yang kotor."

Orang tua mereka bersorak pelan. "Cieeee... so sweet banget."

Wajah Intan memerah karena kesal terjebak situasi. Ia terpaksa diam, membiarkan Arga mengupaskan udang besar-besar itu dan menaruh dagingnya di piring Intan.

"Makasih, Mas," ucap Intan kaku.

Arga mendekatkan wajahnya ke telinga Intan. "Makan yang banyak," bisiknya. Hembusan napas hangatnya menerpa leher Intan. "Kamu kurusan. Pipi kamu tirus. Saya nggak suka lihatnya."

Sebenarnya Arga ingin bilang 'saya khawatir', tapi egonya mengubah kalimat itu menjadi kritikan fisik.

Intan merinding. Di bawah meja, tangannya bergerak cepat mencubit paha Arga keras-keras.

"Aww!" Arga terlonjak kaget.

"Kenapa, Ga?" tanya Bu Ratih.

"Eh, nggak Ma. Kegigit lidah," dusta Arga menahan nyeri. Ia melirik Intan yang tersenyum manis seolah tak berdosa.

"Sakit, Mas?" bisik Intan mengejek. "Itu belum seberapa dibanding sakit hati aku."

Arga terdiam. Ia menelan makanannya dengan susah payah. Namun anehnya, ia menikmati rasa sakit fisik ini. Setidaknya Intan menyentuhnya. Setidaknya Intan meresponsnya. Itu jauh lebih baik daripada dianggap tidak ada seperti hantu di kampus.

Sisa malam itu dihabiskan Arga dengan memanfaatkan setiap detik. Menggenggam tangan Intan, menyeka sudut bibirnya, menuangkan air minum. Ia berperan sebagai suami paling sempurna. Dan Intan, terikat oleh tatapan bahagia ayahnya, membiarkan semua itu terjadi.

Dua jam berlalu. Makan malam usai.

Keluarga besar berpisah di lobi. Mobil orang tua mereka menjauh.

Seketika itu juga, keajaiban lenyap.

Intan melepaskan genggaman tangan Arga kasar. Mundur dua langkah. Jurang pemisah kembali menganga lebar.

Wajah manja tadi hilang. Kembali dingin dan datar.

"Bagus sekali akting Bapak malam ini," ucap Intan sarkas. "Bapak layak dapat Piala Oscar. Kalau Bapak se-perhatian ini dari dulu, mungkin saya nggak akan kabur."

"Intan," panggil Arga. Tangannya terulur ingin meraih gadis itu lagi, tapi terhenti melihat tatapan tajam Intan.

Taksi online pesanan Intan berhenti di depan lobi.

"Saya pulang," ucap Intan.

"Tunggu," Arga menahan pintu taksi.

Mereka bertatapan. Di dalam hati, Arga berteriak: 'Jangan pergi. Saya kesepian. Saya rindu kamu.'

Tapi lidahnya kelu. Egonya sebagai dosen terhormat terlalu tinggi untuk memohon pada bocah ingusan yang sudah mempermalukannya dengan kabur dari rumah.

Alhasil, kalimat yang keluar justru terdengar angkuh.

"Sampai kapan kamu mau main drama kabur-kaburan begini?" tanya Arga dengan nada menyalahkan. "Apartemen itu berantakan tanpa kamu. Baju kotor menumpuk. Pulanglah. Nggak pantas istri orang keluyuran di tempat temannya. Apa kata tetangga?"

Intan tertawa hambar. Kecewa. Ia pikir Arga akan minta maaf, ternyata yang dipedulikan suaminya hanyalah apartemen berantakan dan status sosial.

"Kalau cuma butuh orang buat beres-beres apartemen dan nyuci baju, sewa pembantu, Mas. Mas kan kaya," balas Intan telak, matanya berkaca-kaca. "Jangan cari istri kalau cuma buat pajangan dan tukang bersih-bersih."

Intan masuk ke dalam taksi.

"Minggir. Tangan Mas ngalangin pintu."

Arga menatap mata istrinya untuk terakhir kali malam itu. Ia melihat lelah di sana. Dengan kaku, Arga menarik tangannya. Kalah telak.

Blam. Pintu tertutup. Mobil itu melaju membelah malam.

Argantara berdiri mematung di lobi. Jas mahalnya terasa mencekik. Perutnya kenyang, tapi hatinya terasa lebih kosong dari sebelumnya. Ia baru saja kehilangan kesempatan emas, terpaku oleh gengsi sialan.

"Dasar keras kepala," gumam Arga pada lampu belakang taksi yang menjauh.

Malam itu, Arga pulang ke apartemen mewahnya sendirian. Masuk ke kamar sepi, menatap sisi kasur yang kosong.

"Saya nggak kesepian," dustanya pada pantulan dirinya di cermin, mencoba meyakinkan diri sendiri. "Saya cuma belum terbiasa."

Tapi bayangan Intan yang tertawa lepas bersama Rangga kembali muncul, mengolok-olok kebohongannya yang menyedihkan.

1
Miramira Kalapung
Suka banget sama cerita nya Thor, semoga cepat update yah🥰🥰
sarinah najwa
miris sekali hudupnu pak dosen 😅silahkan menikmati buah dari perbuatAnmu ..
Rian Moontero
lanjuuuttt👍👍😍
Sri Wahyuni
Luar biasa
☠ᵏᵋᶜᶟ𝕸y💞Putri𖣤​᭄
sukurin Arga....
makan tuh gengsi Segede gaban😄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!