--- **“Luna adalah anak angkat dari sebuah keluarga dermawan yang cukup terkenal di London. Meskipun hidup bersama keluarga kaya, Luna tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya sendiri. Ia memiliki kakak perempuan angkat bernama Bella, seorang artis internasional yang sedang menjalin hubungan dengan seorang pebisnis ternama. Suatu hari, tanpa diduga, Luna justru dijadikan *istri sementara* bagi kekasih Bella. Akankah Luna menemukan kebahagiaannya di tengah situasi yang rumit itu?”**
--- Cerita ini Murni karya Author tanpa Plagiat🌻 cerita ini hanya rekayasa tidak mengandung unsur kisah nyata🌻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20 Renggang
“Tidak! aku mohon!” Luna berlari mengejar langkah suaminya. Tangannya meraih gagang pintu tepat ketika pintu itu tertutup. Ia mengguncangnya, panik. “Buka pintunya… tolong…”
Tak ada jawaban.
Luna bersandar pada pintu, napasnya tersengal. Lututnya melemah, dan ia perlahan meluncur duduk di lantai. Tangannya gemetar, air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Keheningan di kamar terasa menekan, seolah dinding-dindingnya ikut menyempit. Luna memeluk dirinya sendiri. “Aku tidak melakukan apa-apa…” bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Ia menunggu, tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. hanya berharap pintu itu akan terbuka kembali, dan badai ini berhenti sebelum melukai mereka lebih jauh.
Bryan melangkahkan kakinya menuju ruang kerja dengan langkah cepat dan berat. Ia menutup pintu di belakangnya, seolah ingin menjauh dari segala suara dan perasaan yang bergejolak. Tangannya merogoh ponsel, lalu menekan satu nomor.
Tak lama, sambungan terhubung. “Ya, Tuan,” suara Jhon terdengar dari seberang, tenang dan profesional. “Jhon,” ucap Bryan singkat, nadanya dingin namun tegas. “Ke sini sekarang.” “Baik, Tuan. Saya segera datang,” jawab Jhon tanpa bertanya lebih lanjut.
Bryan memutus sambungan. Ia menjatuhkan tubuhnya ke kursi kerja, menyandarkan punggung, lalu menutup wajah dengan kedua tangannya. Amarahnya masih ada, tapi kini bercampur dengan sesuatu yang lebih berat dan kegelisahan. Di benaknya, bayangan Luna yang menangis di balik pintu terkunci terus menghantui membuat dadanya terasa semakin sesak.
Tak lama kemudian, Jhon tiba di ruang kerja. Ia berhenti di ambang pintu, menangkap raut wajah tuannya yang jelas tengah frustrasi.
“Ada apa, Tuan?” tanyanya hati-hati.
Bryan mengangkat wajahnya perlahan. Tatapannya tajam, namun lelah. “Jhon" ucapnya tegas, “aku ingin kamu mencari informasi tentang Frengky. Teman kampus istriku, sekarang.” Jhon mengangguk singkat, sikapnya tetap profesional. “Baik, Tuan. Informasi seperti apa yang Anda butuhkan?”
“Latar belakangnya,” jawab Bryan tanpa ragu. “Pekerjaannya dan seberapa sering dia berhubungan dengan Luna. Aku ingin semuanya jelas.” “Dimengerti,” kata Jhon. “Saya akan melaporkan secepatnya.”
Satu jam kemudian, pintu ruang kerja kembali terbuka. Jhon melangkah masuk sambil membawa sebuah berkas tipis di tangannya.
“Ini Tuan. Saya sudah mendapatkan informasinya,” ucapnya serius.
Ia menyerahkan berkas itu pada Bryan. Bryan menerimanya dan segera membuka lembar demi lembar, membaca dengan saksama. “Dia tidak memiliki pekerjaan tetap,” lanjut Jhon dengan nada profesional. “Namun, dia adalah anak seorang pengusaha. Sejak dulu, dia memang sudah menaruh ketertarikan pada Nona Luna.”
Bryan menghentikan bacaannya sesaat, rahangnya kembali mengeras. “Untuk seberapa sering dia berhubungan dengan Nona Luna,” Jhon melanjutkan, “berdasarkan informasi yang saya dapat, mereka sangat jarang berkomunikasi, Tuan. Kelas mereka berbeda semasa kuliah, dan Nona Luna tidak pernah memberi perhatian atau respons berarti padanya.”
Hening menyelimuti ruangan. Bryan menurunkan berkas itu perlahan. Napasnya terdengar berat, bukan karena marah semata, melainkan karena kenyataan yang mulai menampar kesadarannya. “Jadi… Luna tidak pernah menanggapi?” tanyanya rendah.
“Tidak, Tuan,” jawab Jhon mantap. “Semua sumber menyatakan hal yang sama.” Bryan menyandarkan punggung ke kursi, menutup mata sejenak. Amarah yang tadi membara kini digantikan rasa bersalah yang perlahan merayap. Gambaran Luna yang menangis di balik pintu terkunci kembali menghantam pikirannya.
“Kau bisa pergi Jhon.” katanya pelan.
Jhon mengangguk dan melangkah keluar, meninggalkan Bryan seorang diri dengan pikirannya. Berkas itu tergeletak di meja, bukti yang seharusnya ia dengarkan sejak awal. Bryan mengusap wajahnya, lalu berdiri mendadak, langkahnya cepat menuju pintu. Di benaknya kini hanya satu hal, pintu kamar yang ia kunci sendiri, dan istrinya yang ia tinggalkan dalam ketakutan.
Bryan membuka pintu kamar dengan cepat. Suara engsel berdecit pelan memecah keheningan. Langkahnya terhenti begitu pandangannya jatuh pada sosok di atas ranjang.
Luna tertidur pulas, tubuhnya meringkuk ke samping, seolah mencari rasa aman. Jejak air mata masih membekas di pipinya, matanya tampak bengkak, tanda ia telah menangis lama hingga kelelahan mengalahkannya. Napasnya teratur, namun wajahnya terlihat rapuh.
Dada Bryan terasa sesak. Amarah yang tadi menguasainya runtuh seketika, digantikan rasa bersalah yang menghantam tanpa ampun. Ia melangkah mendekat dengan hati-hati, seakan takut membangunkannya. Tangannya terangkat, lalu ragu, berhenti di udara.
“Maaf…” bisiknya nyaris tak terdengar.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap Luna lama. Dalam diam, Bryan menyadari betapa ketakutannya sendiri telah melukai orang yang paling ingin ia lindungi. Perlahan, ia menarik selimut untuk menutupi bahu Luna dengan lembut, sentuhan kecil yang penuh penyesalan.
Bryan perlahan merebahkan diri di samping Luna, lalu memeluk tubuh mungil istrinya dengan erat, bukan dengan amarah, melainkan dengan penyesalan yang tulus. Lengannya melingkar hati-hati, seakan takut sentuhan itu akan membangunkan Luna.
Luna bergeser sedikit dalam tidurnya, napasnya teratur, wajahnya masih menyisakan lelah yang dalam. Bryan menundukkan kepala, menempelkan keningnya ke rambut Luna. Ia menghela napas panjang, membiarkan keheningan malam menyerap rasa bersalah yang menyesakkan dadanya.
“Aku di sini,” bisiknya pelan, meski tahu Luna tak mendengarnya. Pelukannya mengencang sedikit, cukup untuk memberi rasa aman, tanpa membangunkannya. Dalam diam, Bryan berjanji pada dirinya sendiri untuk memperbaiki semuanya saat pagi datang. Cahaya bulan menyelinap masuk melalui jendela yang terbuka, menerangi kamar dengan sinar lembut keperakan. Tirai bergoyang perlahan tertiup angin malam, menghadirkan ketenangan yang kontras dengan kekacauan sebelumnya. Bryan masih memeluk Luna erat, lengannya melingkar seolah tak ingin melepas.
Perlahan, Luna membuka matanya. Rasa takut itu masih ada tersisa, berdenyut pelan di dadanya. Namun ketika ia menyadari pelukan Bryan yang hangat dan protektif, napasnya mulai lebih teratur. Ada ketenangan kecil yang tumbuh, keyakinan samar bahwa amarah itu telah surut. Jika Bryan memeluknya seperti ini, ia tahu pria itu tidak lagi marah.
Bryan merasakan gerakan kecil itu. Ia menunduk, melihat mata Luna yang setengah terbuka. “Maaf,” bisiknya lirih, penuh penyesalan. Tangannya mengusap punggung Luna perlahan, lembut, seolah menenangkan luka yang tak terlihat. Luna tidak menjawab. Ia hanya mendekat sedikit, menyandarkan dahinya ke dada Bryan. Di bawah cahaya bulan, mereka terdiam, dua hati yang baru saja terluka, kini mencoba kembali menemukan ritme yang sama.
.
.
.
.
.
Keesokan harinya.
Hari ini Bryan yang mengantar istrinya ke kampus. Luna memilih untuk menurut saja, bukan karena sepenuhnya setuju, melainkan karena ia tidak ingin memicu masalah baru. Kepalanya sudah terlalu penuh, dan ia tahu jika perdebatan kembali terjadi, ia tidak akan bisa fokus menjalani harinya.
Di sepanjang perjalanan, Luna tetap diam. Tangannya terlipat rapi di pangkuan, napasnya teratur namun terasa menahan. Ia menatap lurus ke depan, sesekali ke arah jendela, membiarkan pikirannya berkelana jauh dari suasana di dalam mobil. Bryan pun tidak banyak bicara. Ia berkonsentrasi pada jalan, sikapnya lebih tenang dibandingkan malam sebelumnya. Ada jarak yang tercipta, bukan karena dingin, melainkan karena keduanya sama-sama berhati-hati. Bryan ingin memperbaiki, namun tak tahu harus memulai dari mana. Luna ingin tenang, namun belum sepenuhnya merasa aman.
Saat mobil mendekati gerbang kampus, Bryan memperlambat lajunya. Ia melirik Luna sekilas. “Nanti aku jemput” ucapnya singkat.
“Aku…” Luna menggantungkan kalimatnya. Tangannya mencengkeram tali tas, lalu ia menarik napas dalam-dalam. “Aku pulang dengan Lisa saja.” lanjutnya pelan. Bukan menantang, lebih seperti permohonan yang disusun hati-hati. “Aku ingin… menenangkan diri dulu.”
Bryan terdiam. Tangannya mengendur di setir, dan untuk beberapa detik hanya suara mesin mobil yang terdengar. Ia menatap ke depan, lalu kembali ke arah Luna. “Kamu yakin?” tanyanya rendah. Luna mengangguk kecil, tetap menatap ke luar jendela. “Iya.”
Bryan menghela napas panjang. Ada keraguan, ada keinginan untuk menolak namun ia menahannya. “Baik” katanya akhirnya. “Aku tunggu kabarmu.”
Mobil berhenti. Luna membuka pintu, turun, lalu menutupnya perlahan. Ia tidak menoleh lagi, bukan karena marah, melainkan karena butuh ruang. Bryan memandangi punggungnya beberapa saat sebelum akhirnya melaju pergi, menyadari bahwa memperbaiki bukan selalu berarti menggenggam lebih erat, kadang justru memberi jarak.