NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 20: MALAM KETIKA TEMBOK TERAKHIR RUNTUH**

# **

Jam menunjuk pukul 11 malam. Alara masih duduk di meja kerjanya—di rumah, bukan kantor—dikelilingi tumpukan sketsa, kertas berserakan, laptop yang layarnya menyala terang di ruangan yang mulai gelap.

Matanya merah—bukan karena menangis, tapi karena terlalu lama menatap layar. Punggungnya sakit. Kepalanya berdenyut. Tapi ia tidak bisa berhenti.

Deadline presentasi untuk Mr. Hartawan tinggal tiga hari. Dan desainnya... desainnya masih belum sempurna. Masih ada yang kurang. Masih ada yang... tidak pas.

Alara menghapus garis di tablet grafis untuk kesekian kali, menggambar ulang, menghapus lagi. Tangannya gemetar—bukan karena dingin, tapi karena frustasi yang menumpuk.

*Kenapa aku nggak bisa? Kenapa ini nggak bisa bagus?*

Ia menatap hasil desainnya dengan mata yang mulai berkabut air mata. Desain itu... bagus. Tapi tidak exceptional. Tidak outstanding seperti yang Nathan harapkan. Tidak cukup untuk membungkam orang-orang yang bilang ia dapat proyek ini karena nepotisme.

"Sial..." bisiknya—suara yang bergetar, penuh frustasi dan kelelahan.

Ia menjatuhkan stylus-nya ke meja, tangannya menutupi wajah. Napasnya tersengal—mencoba menahan tangis yang sudah hampir meledak sejak tadi sore.

*Aku nggak bisa gagal. Aku nggak boleh gagal. Nathan percaya sama aku. Ayah—ayah juga pasti mau aku buktiin kalau aku capable. Tapi kenapa... kenapa aku nggak bisa?*

Air matanya jatuh—perlahan, deras, tidak bisa ditahan lagi. Tubuhnya bergetar—bergetar karena lelah, karena stress, karena tekanan yang terlalu berat untuk ditanggung sendirian.

Ia menangis dalam diam—isak yang tertahan di tenggorokan karena ia tidak mau ada yang dengar. Tidak mau Nathan tahu ia lemah.

Tapi pintu kamar terbuka—perlahan, hati-hati.

Nathan berdiri di ambang pintu dengan kaus santai dan celana training, rambut sedikit basah—habis mandi. Ia sudah mau tidur, tapi melewati kamar Alara dan melihat cahaya masih menyala.

Dan yang ia lihat membuat dadanya sesak.

Alara duduk di meja kerja dengan punggung membungkuk, bahu bergetar, tangan menutupi wajah—menangis sendirian di tengah tumpukan kertas dan desain yang berantakan.

"Alara..." Nathan melangkah masuk—langkahnya cepat, panik.

Alara tersentak—cepat mengusap air matanya, berusaha tersenyum. "Nathan... aku... aku cuma istirahat sebentar—"

"Jangan bohong." Nathan sudah berjongkok di samping kursi Alara, tangannya menyentuh pipi Alara yang basah. "Kamu nangis. Dari tadi kamu di sini?"

Alara mengangguk—tidak bisa bohong lagi.

"Sejak jam berapa?"

"Jam... jam 7." Suara Alara parau—serak karena menahan tangis sejak tadi.

"ALARA!" Nathan hampir berteriak—panik dan marah sekaligus. "Itu empat jam! Kamu bahkan belum makan malam! Kenapa kamu—"

"Aku harus selesaiin ini." Alara memotong—suaranya bergetar hebat. "Deadline tinggal tiga hari. Dan desainku masih... masih jelek. Masih nggak cukup bagus. Aku nggak bisa—"

Suaranya putus. Ia menutup wajah dengan tangan lagi, menangis dengan isak yang tidak bisa ditahan lagi.

"Aku nggak bisa gagal, Nathan. Aku nggak boleh gagal. Kamu percaya sama aku. Kamu kasih aku kesempatan ini. Dan kalau aku gagal... kalau aku gagal, semua orang akan bilang aku memang nggak capable. Akan bilang kamu salah pilih. Akan bilang aku cuma—"

"Stop." Nathan menarik Alara dari kursi—menarik dengan lembut tapi tegas—lalu memeluknya erat. "Stop. Stop ngomong kayak gitu."

Alara menangis di dada Nathan—menangis dengan isak yang dalam, yang penuh luka dan kelelahan yang sudah ia pendam berhari-hari.

"Aku capek, Nathan..." isaknya. "Aku sangat capek. Setiap hari aku ke kantor, orang-orang lihat aku dengan tatapan meremehkan. Setiap meeting, ada aja yang questioning keputusanku. Setiap desain yang aku buat, rasanya nggak pernah cukup bagus. Aku... aku nggak kuat lagi..."

Nathan memeluk Alara lebih erat—satu tangannya di punggung Alara, satu lagi di kepala Alara, mengelus rambutnya dengan lembut.

"Kamu dengar aku," bisik Nathan—suaranya bergetar sedikit. "Kamu nggak sendirian. Kamu nggak harus tanggung ini semua sendirian."

"Tapi aku harus buktiin—"

"Fuck that." Nathan mengumpat—jarang sekali ia kasar, tapi kali ini ia tidak peduli. "Aku nggak peduli apa kata orang lain. Aku nggak peduli mereka pikir kamu dapat ini karena nepotisme atau apa. Yang aku peduli adalah kamu. Kamu yang sekarang nangis karena terlalu maksain diri. Kamu yang belum makan dari sore. Kamu yang kerja sampai empat jam nonstop sampai matamu merah."

Ia melepaskan pelukan sedikit, tangannya mengangkat wajah Alara—memaksa Alara menatapnya.

"Aku salah," kata Nathan—suaranya bergetar, ada air di sudut matanya. "Aku salah kasih kamu proyek ini tanpa mikir tekanannya. Aku pikir kamu kuat. Dan kamu memang kuat. Tapi aku lupa kalau... kalau bahkan orang terkuat pun butuh istirahat. Butuh support. Butuh seseorang yang bilang 'it's okay to not be okay'."

Air mata Nathan jatuh—jatuh di pipi Alara yang basah.

Alara terdiam—melihat Nathan menangis untuk pertama kalinya. Nathan yang selalu kuat, selalu dingin, sekarang menangis untuknya.

"Maafkan aku," bisik Nathan. "Maafkan aku karena buat kamu ngerasa harus tanggung ini sendirian. Karena buat kamu ngerasa harus sempurna. Karena... karena aku nggak cukup support kamu."

"Bukan salahmu—"

"Ini salahku." Nathan menggeleng. "Aku yang kasih kamu beban ini. Dan aku yang nggak sadar kamu struggling."

Ia memeluk Alara lagi—pelukan yang sangat erat, yang membuat Alara merasa... aman. Aman untuk pertama kalinya sejak lama.

"Dari sekarang," bisik Nathan di telinga Alara, "kamu nggak sendirian lagi. Aku ada. Aku akan bantu. Aku akan support. Dan kalau ada yang berani remehkan kamu, aku yang akan hadapin."

"Tapi—"

"Nggak ada tapi." Nathan melepas pelukan, menatap Alara dengan tatapan yang sangat serius. "Kamu istriku. Dan aku... aku sayang sama kamu. Sangat sayang. Dan aku nggak akan biarkan kamu hancur karena proyek ini atau karena omongan orang."

Kata *sayang* itu—kata yang Nathan ucapkan dengan begitu tulus—membuat Alara menangis lagi. Tapi kali ini bukan tangis stress. Ini tangis lega. Tangis karena akhirnya... akhirnya ia tidak sendirian.

"Sekarang," Nathan berdiri, mengangkat Alara dalam gendongannya—bridal style—membuat Alara terlonjak kaget.

"Nathan! Turunin aku!"

"Nggak." Nathan berjalan keluar kamar menuju tangga. "Kamu harus makan. Sekarang."

"Tapi desainku—"

"Bisa besok. Sekarang yang penting adalah kamu."

Alara terdiam—memeluk leher Nathan sambil tersenyum di tengah air mata. Untuk pertama kalinya sejak berhari-hari, beban di dadanya terasa... ringan.

---

**DAPUR, JAM 11.30 MALAM**

Nathan menurunkan Alara di kursi meja makan—lembut, hati-hati. Lalu ia berjalan ke dapur, membuka kulkas, dan mulai memasak.

Alara menatapnya dengan mata berbinar. "Kamu... kamu bisa masak?"

"Sedikit." Nathan tersenyum—senyum yang malu-malu. "Dulu Papa ngajarin. Katanya CEO juga harus bisa survive sendiri."

Ia mengeluarkan telur, bawang bombay, tomat—bahan sederhana untuk nasi goreng. Tangannya bergerak dengan cekatan—memotong, menumis, mengaduk.

Alara memerhatikan dengan senyum yang tidak hilang dari wajah. Nathan yang memasak untuknya—pemandangan yang tidak pernah ia bayangkan.

Sepuluh menit kemudian, sepiring nasi goreng sederhana tersaji di hadapan Alara. Tidak se-rapi masakan chef—tapi untuk Alara, ini adalah masakan terenak di dunia.

Nathan duduk di sampingnya—bukan di seberang, tapi di samping—dengan jarak yang sangat dekat.

"Makan," perintahnya lembut.

Alara menyendok—memasukkan nasi goreng ke mulut. Rasanya... enak. Sangat enak. Atau mungkin karena yang masak adalah Nathan.

Air matanya jatuh lagi—tapi kali ini sambil tersenyum.

"Kenapa nangis lagi?" Nathan panik lagi.

"Karena enak," jawab Alara sambil tertawa di tengah tangisnya. "Dan karena aku... aku sangat bersyukur punya kamu."

Nathan menatapnya lama—lalu tersenyum. Senyum yang lembut, yang penuh perasaan.

"Aku yang bersyukur punya kamu," bisiknya.

Ia mengusap sudut bibir Alara yang ada nasi—gerakan yang sangat intim, yang membuat jantung Alara berdetak gila-gilaan.

"Habiskan," kata Nathan. "Terus kita istirahat. Besok kita kerja bareng untuk desainmu. Aku akan bantu brainstorming."

"Tapi kamu sibuk—"

"Aku CEO. Aku bisa atur jadwal sendiri." Nathan tersenyum—senyum yang nakal. "Dan wife comes first."

Alara tertawa—tawa yang lepas, yang bahagia.

Mereka menghabiskan malam itu dengan mengobrol di meja makan—Nathan menceritakan ide-ide untuk desain, Alara mendengarkan sambil sesekali menambahkan. Tidak ada tekanan. Tidak ada stress. Hanya... kebersamaan.

---

**JAM 1 DINI HARI, KAMAR ALARA**

Nathan mengantarkan Alara ke kamarnya—memastikan Alara berbaring dengan nyaman, menyelimutinya.

"Tidur," bisiknya sambil mengusap rambut Alara.

"Nathan," panggil Alara pelan—matanya sudah berat tapi masih ingin bicara.

"Hm?"

"Terima kasih. Untuk... untuk semuanya. Untuk percaya sama aku. Untuk ada waktu aku butuh. Untuk... untuk sayang sama aku."

Nathan tersenyum—senyum yang lembut, yang membuat wajahnya terlihat sangat tampan.

"Aku yang harus terima kasih," bisiknya. "Karena kamu... kamu ngajarin aku cara ngerasain lagi. Cara peduli lagi. Cara... jatuh cinta lagi."

Kata *jatuh cinta* itu membuat jantung Alara berhenti.

"Kamu..." Alara tidak bisa melanjutkan—terlalu terkejut.

Nathan mencium dahi Alara—ciuman yang lama, yang penuh perasaan.

"Iya," bisiknya di dahi Alara. "Aku jatuh cinta sama kamu. Dan aku... aku nggak takut lagi untuk bilang itu."

Air mata Alara jatuh—tapi kali ini air mata bahagia. Air mata yang paling bahagia dalam hidupnya.

"Aku cinta kamu," bisik Alara. "Sangat cinta."

"Aku tahu." Nathan tersenyum. "Dan aku cinta kamu juga."

Mereka bertatapan lama—tatapan yang penuh cinta, yang penuh janji.

Lalu Nathan berbaring di samping Alara—di atas selimut, tidak di dalam—memeluk Alara dari samping.

"Tidur," bisiknya. "Aku di sini. Aku nggak akan kemana-mana."

Dan malam itu—malam yang dimulai dengan tangis dan stress—berakhir dengan kehangatan dan cinta.

Alara tertidur di pelukan Nathan dengan senyum di wajahnya.

Untuk pertama kalinya sejak menikah, mereka tidur bersama. Tidak dengan passion, tidak dengan nafsu—tapi dengan cinta yang murni, yang tulus.

Dan di saat itulah—di tengah kebahagiaan yang sempurna ini—Alara tidak tahu bahwa badai akan segera datang.

Badai yang akan menghancurkan semuanya.

Karena esok hari, Dimas akan mulai mendekati Alara.

Dan ketika itu terjadi, tidak ada yang bisa menghentikan kehancuran yang akan datang.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 21]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!