NovelToon NovelToon
Married To Mr. Killer

Married To Mr. Killer

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda
Popularitas:8.5k
Nilai: 5
Nama Author: muliyana setia reza

Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.

Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.

"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.

Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Panggilan Pulang ke Titik Awal

Ponsel Argantara bergetar hebat di atas meja kerjanya, memecah konsentrasinya yang sedang memeriksa draf skripsi mahasiswa. Getaran itu terasa mendesak, mengganggu keheningan ruangan ber-AC itu.

Nama di layar membuat jantungnya berhenti sejenak: Rumah Utama (Kakek Fauzi).

Firasat buruk menyergap. Kakek Fauzi adalah orang yang paling dihormati Arga. Pria tua itulah yang membesarkannya dengan disiplin sekaligus kasih sayang melimpah, dan pria tua itulah satu-satunya alasan pernikahan ini terjadi.

"Halo?" angkat Arga cepat.

"Den Arga... Kakek, Den..." Suara Pak Ujang, asisten pribadi kakeknya, terdengar panik dan bergetar menahan tangis. "Kakek pingsan di taman belakang. Sekarang sudah sadar tapi dadanya sakit. Dokter pribadi sedang periksa, tapi Kakek nolak dibawa ke rumah sakit. Kakek manggil nama Den Arga sama Non Intan terus..."

Darah Arga surut dari wajahnya. Jantungnya serasa dipukul palu godam.

"Saya pulang sekarang. Jaga Kakek, Pak," perintah Arga tegas, meski tangannya gemetar saat menutup laptop.

Arga menyambar kunci mobilnya dan berlari keluar ruangan. Namun langkahnya terhenti di ambang pintu.

Non Intan.

Kakeknya memanggil Intan. Jika Arga pulang sendiri tanpa Intan, kondisi jantung kakeknya bisa makin parah. Kakek Fauzi sangat menyayangi Intan.

Arga harus membawa Intan. Sekarang juga. Tidak peduli seberapa bencinya gadis itu padanya saat ini.

Intan sedang duduk di kantin bersama Sarah, menikmati es teh manis setelah kelas usai. Penampilan barunya dengan rambut pendek sebahu masih menjadi pusat perhatian, dan Intan mulai menikmati rasa percaya diri itu.

Tiba-tiba, sebuah tangan kekar mencengkeram pergelangan tangannya.

"Ikut saya."

Intan menoleh kaget. Argantara berdiri di sana dengan wajah pucat pasi dan keringat dingin di pelipis. Napasnya memburu, dasinya miring, jasnya tersampir asal di lengan. Sosok dosen yang selalu rapi itu lenyap.

"Apa-apaan sih, Pak?!" sentak Intan, mencoba melepaskan tangannya. Sarah di sebelahnya sudah melotot, siap membela sahabatnya.

"Jangan bikin drama di sini, Pak. Saya teriak nih!" ancam Intan.

"Kakek Fauzi sakit," ucap Arga lirih, suaranya pecah. Tatapan matanya yang biasa angkuh kini penuh ketakutan murni. "Serangan jantung ringan. Beliau manggil nama kamu."

Tubuh Intan membeku. Gelas es teh di tangannya nyaris terlepas. Kemarahannya pada Arga menguap seketika, digantikan oleh rasa takut yang mencekam.

Kakek Fauzi. Sosok kakek yang hangat, yang selalu memanjakannya dengan cokelat diam-diam, dan menjadi pelindung utamanya.

"Kakek..." bisik Intan.

Tanpa pikir panjang, Intan menyambar tasnya. Ia menoleh pada Sarah. "Sar, gue harus pergi. Darurat keluarga. Titip absen ya kalau ada kuis susulan."

"Oke, Tan. Hati-hati," Sarah mengangguk cemas.

Intan tidak menunggu Arga menariknya lagi. Ia berjalan cepat mendahului suaminya menuju parkiran.

"Mana mobil Mas? Cepetan!" teriak Intan saat melihat Arga yang masih terpaku sejenak karena syok.

Perjalanan menuju kediaman utama keluarga Ramadhan di kawasan Puncak terasa sangat panjang.

Di dalam mobil, hening yang mencekam menyelimuti mereka. Arga menyetir dengan kecepatan tinggi. Rahangnya mengeras menahan cemas. Intan duduk di sampingnya, meremas jemarinya sendiri sampai putih sambil berdoa dalam hati.

"Kondisi Kakek terakhir gimana?" tanya Intan memecah keheningan.

"Masih lemah. Dokter bilang harus istirahat total, tapi Kakek keras kepala," jawab Arga kaku. "Beliau mau lihat kita. Berdua."

Intan menghela napas panjang. "Mas tau kan konsekuensinya? Di sana, kita harus jadi suami istri beneran. Kakek nggak boleh tau kalau kita pisah ranjang, apalagi ribut besar kemarin."

"Siapa yang mau cerai?" sela Arga cepat, menoleh tajam sekilas.

"Saya," jawab Intan dingin. "Atau setidaknya, itu yang ada di pikiran saya beberapa hari ini."

Cengkeraman Arga pada setir mengerat. "Jangan bahas itu sekarang. Fokus ke Kakek Fauzi."

"Oke. Demi Kakek," Intan menatap lurus ke depan. "Bukan demi Mas."

Satu jam kemudian, mobil memasuki gerbang besi tinggi bercorak ukiran klasik. Rumah besar bergaya kolonial itu berdiri megah namun suram di tengah kebun teh yang luas.

Begitu turun dari mobil, Bu Ratih—Mama Arga—langsung menyambut mereka di teras. Wanita paruh baya yang anggun itu terlihat cemas, namun wajahnya langsung melembut saat melihat menantunya.

"Intan, Sayang..." Bu Ratih langsung memeluk Intan erat. "Syukurlah kamu cepat sampai. Mama takut sekali."

Intan membalas pelukan mertuanya. Berbeda dengan Arga yang kaku, orang tua Arga sangat menyayangi Intan. Mereka selalu memperlakukan Intan seperti anak kandung sendiri yang harus dijaga.

"Kakek gimana, Ma?" tanya Intan cemas.

"Sudah agak tenang setelah dikasih obat. Ayo masuk, Kakek nungguin kalian," ajak Bu Ratih sambil menggandeng tangan Intan, sementara Arga mengekor di belakang membawa tas mereka.

Di kamar utama yang luas dan beraroma minyak kayu putih, Kakek Fauzi terbaring di ranjang kayu jati besar. Wajah tua yang biasanya jenaka itu kini pucat, selang oksigen terpasang di hidungnya. Namun matanya langsung berbinar saat melihat Intan masuk.

"Cucu menantu kesayangan Kakek..." suara Kakek Fauzi terdengar lemah.

"Kakek!" Intan berhambur ke sisi ranjang, berlutut dan menggenggam tangan keriput itu. Ia menciumnya berkali-kali. "Intan di sini, Kek. Intan pulang."

Arga berdiri di ambang pintu, menatap pemandangan itu. Hatinya nyeri. Istrinya memberikan kehangatan yang begitu tulus pada keluarganya, kehangatan yang Arga sia-siakan.

"Arga mana?" tanya Kakek.

"Arga di sini, Kek," Arga mendekat, berdiri di samping Intan. Ia mengusap bahu kakeknya pelan.

Kakek Fauzi tersenyum lemah. Ia menyatukan tangan Arga dan tangan Intan di atas dadanya.

"Kalian akur kan?" tanya Kakek penuh harap. "Kakek takut... Kakek takut ninggalin kalian kalau kalian masih belum saling cinta."

Intan menatap Arga sekilas. Ia melihat gurat lelah di wajah suaminya.

"Kami akur kok, Kek," Intan tersenyum lembut, mengelus punggung tangan Arga dengan ibu jarinya. "Mas Arga jaga Intan dengan baik. Kami bahagia."

"Benar, Kek," sambung Arga serak. "Arga... Arga sayang sama Intan."

Mendengar itu, napas Kakek Fauzi terdengar lebih lega.

"Syukurlah. Kalau begitu, Kakek punya satu permintaan," ucap pria tua itu. "Tinggallah di sini. Temani Kakek sampai sembuh. Dan kalian tidur di kamar Arga yang dulu ya. Kamar di sebelah Kakek. Jangan di kamar tamu."

Arga dan Intan saling pandang dengan panik. Kamar Arga yang dulu adalah kamar masa remajanya. Hanya ada satu tempat tidur single yang sedikit lebar—tapi jelas bukan king size.

"Tapi Kek, baju-baju kami..." elak Arga.

"Mama sudah siapkan baju ganti kalian di lemari," potong Bu Ratih yang berdiri di pintu sambil tersenyum hangat. "Turuti saja kemauan Kakek ya, Tan, Ga. Biar Kakek cepat sembuh."

Tidak ada yang berani membantah.

Malam itu, Intan berdiri canggung di tengah kamar masa kecil Arga. Kamar itu terasa maskulin, penuh piala basket dan foto wisuda.

Dan benar saja. Hanya ada satu kasur.

"Kamu tidur di kasur. Saya tidur di karpet," ucap Arga sambil melepaskan dasinya. Ia terlihat lelah.

"Nggak usah sok kuat," sindir Intan yang sedang membersihkan wajah. "Mas itu princess. Mana bisa tidur di lantai keras. Nanti encok, saya lagi yang repot disuruh mijitin."

Arga menatap Intan dari pantulan cermin. "Terus kamu mau tidur satu kasur lagi sama saya? Katanya jijik."

Intan berbalik. "Saya jijik sama kelakuan Mas. Bukan manusianya," ralat Intan tegas. "Di sini dindingnya tipis. Kalau Mama Ratih atau pelayan liat Mas tidur di lantai, Kakek bakal curiga kita lagi berantem. Kakek bisa serangan jantung lagi."

Intan menepuk sisi kasur yang kosong di sebelah tembok.

"Tidur di sini. Tapi awas, jangan sentuh saya sedikit pun. Batas guling berlaku dua kali lipat."

Arga menghela napas lega. "Terima kasih," ucapnya tulus.

Mereka berbaring dalam diam. Lampu dimatikan, menyisakan cahaya bulan yang masuk dari jendela besar menghadap kebun teh.

Suasana Puncak jauh lebih dingin daripada Jakarta. Angin malam menembus celah ventilasi. Intan menggigil sedikit di balik selimutnya. Kasur yang sempit memaksa mereka berbaring cukup dekat, meski saling memunggungi.

Tiba-tiba, Intan merasakan selimutnya ditarik. Arga memberikan sebagian besar selimutnya untuk menutupi tubuh Intan, membiarkan dirinya hanya tertutup sebatas pinggang.

"Pakai," bisik Arga dalam gelap. "Saya nggak mau kamu sakit lagi."

Intan tertegun. "Mas kedinginan nanti."

"Saya laki-laki. Saya tahan dingin," jawab Arga keras kepala. "Lagipula... panas di hati saya karena liat kamu sama Rangga kemarin belum ilang. Jadi ini impas."

Intan menahan senyum kecil dalam kegelapan. Pengakuan cemburu yang terselubung itu terdengar konyol tapi... manis.

"Dasar gengsian," gumam Intan, tapi ia menarik selimut itu lebih rapat.

Malam itu, di rumah tua yang penuh kenangan, mereka kembali tidur di satu ranjang. Tanpa sandiwara kamera. Hanya ada Kakek Fauzi yang sakit sebagai alasan, dan kerinduan malu-malu sebagai perekat.

Intan memunggungi Arga, tapi hatinya tidak lagi sedingin es. Dan Arga, menatap punggung istrinya dalam gelap, berjanji dalam hati bahwa di rumah ini, ia akan memperbaiki segalanya. Liburan paksa ini baru saja dimulai.

1
Miramira Kalapung
Suka banget sama cerita nya Thor, semoga cepat update yah🥰🥰
sarinah najwa
miris sekali hudupnu pak dosen 😅silahkan menikmati buah dari perbuatAnmu ..
Rian Moontero
lanjuuuttt👍👍😍
Sri Wahyuni
Luar biasa
☠ᵏᵋᶜᶟ𝕸y💞Putri𖣤​᭄
sukurin Arga....
makan tuh gengsi Segede gaban😄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!