Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Evolusi Ignition
Udara di oase bawah tanah ini terasa begitu murni, seolah-olah setiap tarikan napas mampu membasuh jelaga yang menempel di paru-paru para prajurit Legiun Karang. Cahaya biru yang memancar dari lumut di langit-langit gua terpantul di permukaan danau yang tenang, menciptakan suasana damai yang justru terasa mencekam bagi Kaelan. Bau melati yang samar—sisa dari aroma tubuh Lyra—terasa pahit saat bercampur dengan bau besi dari darah yang mulai mengering di zirah perak Kaelan.
Kaelan duduk bersimpuh di samping Lyra, matanya terpaku pada kelopak mata wanita itu yang masih tertutup rapat. Tangannya mengepal begitu kuat hingga kuku-kukunya melukai telapak tangan, meninggalkan bekas bulan sabit yang berdarah. Rahangnya mengeras, otot-otot lehernya menegang menahan teriakan frustrasi yang tertahan di tenggorokan.
"Mina, berapa lama lagi dia akan seperti ini?" tanya Kaelan, suaranya parau dan rendah, hampir menyerupai geraman binatang yang terluka.
Mina, yang sedang mencampur beberapa ekstrak tanaman oase ke dalam mangkuk kecil, mendongak dengan wajah kuyu. "Kaelan, ini bukan luka fisik biasa. Mana di dalam tubuhnya... habis. Benar-benar kosong. Mata itu tidak hanya meminjam energinya, tapi juga menguras esensi jiwanya."
"Dia buta karena aku membiarkannya berdiri di depanku saat melawan naga itu," Kaelan menunduk, bayangan wajah Lyra yang berdarah saat melepaskan segel Cursed Eye terus menghantuinya. "Martabat macam apa yang aku miliki sebagai komandan jika satu-satunya orang yang aku janjikan perlindungan justru kehilangan penglihatannya demi keselamatanku?"
"Jangan menyiksa dirimu sendiri, Komandan," sahut Bara yang berdiri menjaga beberapa meter di belakang. "Putri Lyra melakukannya karena dia percaya padamu. Dia tahu hanya kau yang bisa memberikan pukulan terakhir itu."
"Kepercayaannya adalah beban yang belum sanggup aku panggul, Bara," Kaelan berdiri dengan hentakan kasar, membuat debu di sekelilingnya beterbangan. "Dia seorang Elf. Tanpa mana, tubuhnya akan mulai layu. Aku bisa merasakannya melalui hubungan jiwa ini. Dadanya terasa seperti lubang hitam yang menghisap keberadaanku."
Mina menghela napas panjang, lalu menyerahkan mangkuk berisi cairan hijau pendar kepada Kaelan. "Minumkan ini padanya. Ini bukan obat, hanya penahan sementara agar sel-sel tubuhnya tidak mati. Masalahnya, kita butuh pemantik. Sesuatu yang bisa memicu kembali jalur mananya yang padam."
Kaelan menerima mangkuk itu dengan tangan gemetar. Ia dengan lembut mengangkat kepala Lyra, membiarkan kepala wanita itu bersandar di lengannya yang masih berbalut zirah retak. "Lyra... bangunlah. Minum ini."
Namun, tidak ada jawaban. Napas Lyra terdengar sangat teratur, terlalu teratur hingga terasa seperti napas seseorang yang telah menyerah pada dunia. Kehampaan yang dirasakan Kaelan melalui resonansi penderitaan mereka kini bukan lagi berupa rasa sakit fisik yang tajam seperti saat dicambuk di masa sebelum reinkarnasi, melainkan rasa sunyi yang dingin dan membekukan.
"Mina, kau bilang dia butuh pemantik?" Kaelan menoleh tajam. "Jika aku memberikan sisa energi Spark 9 milikku, apakah itu cukup?"
"Tidak! Jangan gila, Kaelan!" Mina memekik pelan. "Energi Spark-mu itu kasar. Itu adalah percikan otot dan sumsum tulang yang mentah. Jika kau memasukkannya ke tubuh Lyra yang sedang kosong, kau justru akan menghancurkan organ dalamnya!"
"Lalu aku harus apa? Diam saja melihatnya memudar?" Kaelan meletakkan mangkuk itu kembali ke tanah dengan kasar hingga cairannya tumpah sedikit.
"Kau harus berevolusi," ucap Mina dengan nada serius yang jarang ia gunakan. "Kau sudah menyerap energi naga itu tadi. Aku melihatnya. Sumsum tulangmu tidak lagi hanya memproduksi percikan liar. Kau harus menstabilkannya menjadi sirkulasi. Kau harus mencapai tingkat Ignition."
Kaelan tertegun. Ia menatap telapak tangannya sendiri. Di bawah kulit peraknya, ia bisa melihat garis-garis putih tipis yang berdenyut tidak beraturan, seolah-olah ada ribuan jarum yang mencoba menembus keluar. Ini adalah sisa energi Void yang ia telan secara paksa saat kapak perangnya menghantam jantung naga.
"Tingkat Ignition... pemandu jalur energi," bisik Kaelan.
"Benar. Hanya energi yang sudah tersirkulasi dengan stabil yang bisa diterima oleh sistem mana Elf," lanjut Mina. "Tapi prosesnya sangat berbahaya. Tanpa bimbingan guru, kau bisa meledak dari dalam karena tekanan energi Void yang belum murni itu."
Kaelan kembali menatap wajah Lyra. Ia teringat janjinya di masa sebelum reinkarnasi, saat mereka pertama kali bertemu di lorong gelap istana tempat ia diperlakukan lebih rendah dari hewan. Lyra adalah satu-satunya yang memberinya sapu tangan Azure untuk menyeka darahnya.
"Aku akan melakukannya," Kaelan berkata dengan nada mutlak yang tidak menerima bantahan.
"Kaelan, tunggu! Kau butuh tempat yang bisa meredam panas tubuhmu!" Mina mencoba menahan lengan Kaelan.
"Danau itu," Kaelan menunjuk ke air pendar biru di tengah gua. "Airnya mengandung esensi pendingin. Aku akan masuk ke sana. Bara, jaga bibir danau. Jika ada sesuatu yang mendekat, bunuh tanpa ragu."
"Laksanakan, Komandan!" Bara menghantamkan perisainya ke tanah sebagai tanda kesiapan.
Kaelan melepas jubah dan sebagian zirahnya yang sudah hancur, menyisakan pakaian tipis yang menempel di tubuhnya yang penuh luka parut. Ia melangkah masuk ke dalam danau. Airnya terasa sangat dingin, menusuk hingga ke dalam tulang, namun justru itu yang ia butuhkan. Panas di dalam sumsum tulangnya mulai meluap, menciptakan uap panas yang membubung saat tubuhnya terendam sepenuhnya.
Di bawah air, Kaelan memejamkan mata. Ia mulai memaksakan kesadarannya untuk masuk ke dalam struktur paling dalam dari teknik Iron Bone Marrow. Ia melihat jalurnya sendiri—sebuah jaringan yang berantakan dan liar.
"Masuklah... menetaplah..." Kaelan membatin, mencoba menjinakkan energi Void yang mengamuk.
Rasa sakit mulai menghantam. Ia merasa seolah-olah ada logam cair yang dipaksa masuk ke dalam pembuluh darahnya. Setiap kali ia mencoba membentuk lingkaran sirkulasi, energi itu memberontak, menghantam dinding-dinding ototnya dari dalam. Kaelan menggigit bibirnya hingga robek, darah merah segar mengaburkan kejernihan air danau di sekeliling wajahnya.
Aku tidak boleh gagal, pikirnya di tengah kesakitan yang luar biasa. Jika aku gagal di sini, Lyra akan tetap berada dalam kegelapan itu selamanya.
Tiba-tiba, dari permukaan, ia mendengar suara teriakan panik. "Komandan! Ada sesuatu yang bangkit dari dasar danau!"
Kaelan membuka mata di bawah air. Di kedalaman yang lebih gelap, ia melihat pendaran ungu yang sangat akrab. Itu adalah energi sisa naga yang belum sepenuhnya lenyap, dan kini energi itu tertarik pada proses evolusi Kaelan, mencoba untuk menelan sang manusia sebelum ia sempat bangkit.
"Belum saatnya aku mati!" Kaelan meraung di dalam hatinya.
Tekanan air di sekeliling Kaelan mendadak terasa seperti balok-balok baja yang menjepit tubuhnya. Pendar ungu dari dasar danau melesat naik, berputar mengelilinginya seperti pusaran hiu yang kelaparan. Di permukaan, Bara dan Jiro mencoba menghantamkan senjata mereka ke air, namun energi tersebut terlalu abstrak untuk disentuh oleh kekuatan fisik.
"Jangan masuk ke air!" teriak Mina dari pinggir danau sambil mendekap tubuh Lyra yang mulai menggigil. "Kaelan sedang berada di titik nadir sirkulasinya! Gangguan sedikit saja akan membuat jantungnya berhenti!"
Di bawah permukaan, Kaelan tidak lagi bisa bernapas. Paru-parunya terasa terbakar, namun fokusnya tetap pada satu titik: kekosongan di dada Lyra yang ia rasakan melalui hubungan jiwa. Rasa bersalah yang selama ini mengendap—karena kegagalannya menjaga martabat di depan Council dan kegagalannya melindungi mata Lyra—kini mengkristal menjadi tekad yang dingin.
Bukan Spark yang liar, tapi arus yang abadi, bisik nuraninya.
Kaelan berhenti melawan tekanan air. Ia justru membiarkan energi Void yang mengamuk itu masuk ke dalam pori-pori kulitnya. Ia tidak lagi mencoba menahannya di sumsum tulang, melainkan mulai memandu mereka melewati jalur-jalur saraf yang paling halus. Inilah esensi dari Ignition: bukan tentang seberapa besar ledakannya, tapi seberapa stabil alirannya.
Seketika, rasa sakit yang membakar itu berubah menjadi aliran hangat yang menenangkan. Garis-garis putih di bawah kulit perak Kaelan mulai menyambung satu sama lain, membentuk sebuah peta sirkulasi yang sempurna. Detak jantungnya melambat, namun setiap denyutnya memompa energi yang jauh lebih padat daripada sebelumnya.
Kaelan melesat keluar dari air, mendarat di tepi danau dengan ledakan uap panas yang menyelimuti seluruh area. Ia berdiri tegak, tubuhnya tidak lagi mengeluarkan percikan api perak yang berisik. Sebaliknya, pendar putih pucat yang tenang menyelimuti kulitnya seperti lapisan porselen yang kokoh.
"Komandan...?" Bara terpana melihat aura Kaelan yang kini terasa begitu berwibawa dan menekan, meski Kaelan hanya diam berdiri.
"Mina, bawa dia kemari," ucap Kaelan tenang. Suaranya tidak lagi parau; ada otoritas alami yang keluar dari setiap kata-katanya.
Mina segera membantu Kaelan membaringkan Lyra di atas tumpukan lumut yang empuk. Kaelan duduk di belakang Lyra, menempelkan kedua telapak tangannya ke punggung wanita itu. Ia memejamkan mata, memandu energi Ignition Tahap 1 miliknya masuk ke dalam sistem mana Lyra yang kering kerontang.
"Ini akan terasa panas, Lyra. Bertahanlah," bisik Kaelan di telinga Lyra.
Begitu energi itu masuk, tubuh Lyra tersentak. Napasnya yang tadi hampir hilang kini tersengal-sengal. Kaelan merasakan betapa rakusnya sel-sel Elf milik Lyra menyedot energi sirkulasinya. Ia tidak menahan diri; ia memberikan sebanyak yang Lyra butuhkan, meski itu berarti ia harus menguras cadangan energinya sendiri yang baru saja terbentuk.
"Ngh... panas..." Lyra merintih, namun warna merah mulai kembali ke pipinya yang pucat.
"Tetap bersamaku, Lyra. Ikuti alirannya," Kaelan memandu dengan lembut, seolah ia sedang menuntun seorang anak kecil melewati hutan gelap.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian, Lyra mengembuskan napas panjang—sebuah Napas Lega yang sangat dalam. Ia tidak lagi menggigil. Kehampaan di dadanya kini terisi oleh kehangatan yang stabil dari Kaelan. Meski kedua matanya masih tertutup rapat dan terbalut kain, ketegangan di wajahnya menghilang.
"Aku bisa merasakannya," bisik Lyra, jemarinya mencari tangan Kaelan dan menggenggamnya erat. "Ini bukan Spark... ini seperti... sungai cahaya."
"Ini adalah janji baru, Lyra," Kaelan membalas genggaman itu, martabatnya yang sempat runtuh kini terbangun kembali dengan fondasi yang lebih kuat. "Aku telah mencapai tingkat Ignition. Mulai hari ini, aku tidak akan membiarkanmu menghadapi kegelapan itu sendirian."
Mina memeriksa denyut nadi Lyra dan menghela napas lega yang tak kalah dalamnya. "Mananya sudah stabil. Kebutaan ini... mungkin akan memakan waktu untuk sembuh, tapi setidaknya jiwanya tidak lagi terancam punah. Kau berhasil, Kaelan."
Kaelan menatap pasukannya yang kelelahan namun tampak penuh harapan. Mereka telah selamat dari naga, selamat dari labirin, dan kini memiliki pemimpin yang telah melampaui batas manusia biasa.
"Kita tidak bisa berlama-lama di sini," Kaelan berdiri, tetap memegang tangan Lyra. "Alaric telah menutup jalan pulang kita dengan reruntuhan. Tapi oase ini... air danau ini mengalir ke suatu tempat. Ada arus di bawah sana."
"Kau ingin kita menyelam lebih dalam lagi?" tanya Jiro dengan ragu.
"Tidak. Kita akan mengikuti jalur air ini. Jika ada awal, pasti ada ujungnya," Kaelan menoleh ke arah kegelapan lorong di ujung danau. "Kita akan kembali ke permukaan, bukan sebagai buronan yang ketakutan, tapi sebagai Legiun yang akan menuntut balas atas setiap tetes darah yang jatuh di tempat ini."
Mereka mulai mengemasi barang-barang yang tersisa. Kaelan kembali menggendong Lyra di punggungnya, membiarkan tangan wanita itu melingkar di lehernya. Ia merasakan detak jantung Lyra yang kini berdenyut harmonis dengan energinya.
"Kaelan," panggil Lyra pelan di dekat telinganya.
"Ya?"
"Terima kasih karena tidak membiarkanku jatuh ke dalam kehampaan itu."
Kaelan tidak menjawab dengan kata-kata, namun pendar putih di kulitnya bersinar sedikit lebih terang, memberikan cahaya bagi jalan gelap di depan mereka. Mereka melangkah meninggalkan oase tersebut, menuju jalur pendakian panjang yang akan membawa mereka kembali ke dunia atas, di mana penghinaan dan batu-batu dari rakyat Elf telah menunggu untuk menguji martabat baru sang Komandan.