NovelToon NovelToon
Married To Mr. Killer

Married To Mr. Killer

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Nikahmuda
Popularitas:8.4k
Nilai: 5
Nama Author: muliyana setia reza

Intan Puspita Dewi (17) tidak pernah membayangkan masa mudanya akan berakhir di meja akad nikah. Lebih parah lagi, laki-laki yang menjabat tangan ayahnya adalah Argantara Ramadhan—dosen paling dingin, killer, dan ditakuti di kampus tempatnya baru saja diterima.

Sebuah perjodohan konyol memaksa mereka hidup dalam dua dunia. Di rumah, mereka adalah suami istri yang terikat janji suci namun saling membenci. Di kampus, mereka adalah dosen dan mahasiswi yang berpura-pura tak saling kenal.

"Jangan pernah berharap aku menganggap ini pernikahan sungguhan," ucap Arga dingin.

Namun, sekuat apa pun mereka menjaga rahasia, tembok pertahanan itu perlahan retak. Ketika benci mulai terkikis oleh rasa cemburu, dan dinginnya sikap perlahan mencair oleh perhatian, sanggupkah mereka menyangkal bahwa cinta telah hadir di antara skenario sandiwara ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon muliyana setia reza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Batas yang Tak Terlihat

Suasana kantin Fakultas Ekonomi siang itu cukup padat. Suara denting sendok beradu dengan piring dan riuh obrolan mahasiswa memenuhi udara. Namun, di salah satu meja di pojok, Intan duduk dengan pikiran yang melayang jauh ke Puncak.

Ponselnya menyala, menampilkan pesan suara dari Kakek Fauzi yang baru masuk sepuluh menit lalu.

"Tan, nanti kalau pulang kuliah jangan lupa makan dulu ya. Kakek tadi minta Ujang belikan martabak kesukaan kamu buat nanti malam. Kita makan bareng ya sama Arga."

Suara Kakek terdengar serak namun penuh semangat. Intan bisa membayangkan wajah tua itu tersenyum lebar, menanti kepulangan "cucu menantu kesayangan"-nya.

Intan menghela napas berat. Rasa bersalah perlahan merayapi dadanya.

Selama ini, ia merasa menjadi korban dalam pernikahannya dengan Arga. Tapi tanpa sadar, ia juga menjadi pelaku kebohongan. Ia membiarkan Kakek Fauzi percaya bahwa pernikahannya bahagia. Ia membiarkan orang tua itu menggantungkan harapan padanya.

Sementara di kampus, ia membiarkan dirinya dekat dengan Rangga. Ia membiarkan Rangga memberinya perhatian, membelikan makanan, dan menatapnya dengan tatapan memuja.

Munafik, batin Intan mengutuk dirinya sendiri. Kamu nggak bisa hidup di dua dunia selamanya, Intan. Itu namanya selingkuh, walau hatimu nggak pernah memilih Arga.

"Tan! Woy, melamun aja!"

Suara bariton yang familiar membuyarkan lamunan Intan. Rangga Pangestu datang dengan senyum cerah, membawa dua botol minuman dingin. Ia langsung menarik kursi di samping Intan—sangat dekat—seperti kebiasaannya belakangan ini.

"Nih, orange juice favorit lo. Muka lo kusut banget, butuh vitamin C," canda Rangga sambil menyodorkan botol itu.

Biasanya, Intan akan tersenyum, berterima kasih, dan membiarkan Rangga membuka tutup botolnya.

Tapi hari ini, bayangan wajah Kakek Fauzi yang penuh harap melintas di benaknya.

"Makasih, Kak. Taruh aja di meja," jawab Intan pelan, tanpa senyum. Tangannya tidak bergerak mengambil botol itu.

Rangga tertegun sejenak. Ia menyadari perubahan nada bicara Intan.

"Lo... kenapa? Sakit lagi?" Rangga refleks mengulurkan tangan hendak menyentuh kening Intan. "Badan lo anget?"

Dengan gerakan cepat, Intan memundurkan kepalanya, menghindari sentuhan Rangga. Ia juga menggeser duduknya sedikit menjauh.

Tangan Rangga menggantung di udara. Senyum di wajah tampan ketua BEM itu perlahan memudar.

"Gue sehat kok, Kak," jawab Intan, matanya menatap meja, tidak berani menatap mata Rangga yang bingung.

"Terus kenapa lo ngehindar?" tanya Rangga, suaranya berubah serius. "Gue ada salah? Atau gara-gara Pak Arga negur kita kemarin?"

"Nggak ada hubungannya sama Pak Arga," dusta Intan. "Cuma... gue rasa kita terlalu deket akhir-akhir ini, Kak."

Rangga mengerutkan kening. "Terlalu deket? Emangnya kenapa? Gue pikir lo nyaman sama gue. Kita nyambung, Tan."

Intan meremas roknya di bawah meja. Hatinya menjerit ingin membenarkan ucapan Rangga. Ya, dia nyaman. Rangga baik, perhatian, dan seumuran. Rangga adalah angin segar dibanding Arga yang kaku.

Tapi Intan teringat janjinya pada Kakek Fauzi di rumah sakit: "Kami bahagia, Kek."

Jika ia terus memberi harapan pada Rangga sementara ia masih terikat pernikahan—meski pernikahan itu buruk—maka ia sedang mengkhianati kepercayaan Kakek Fauzi. Dan Intan tidak mau menyakiti hati satu-satunya orang yang tulus menyayanginya di keluarga Ramadhan.

"Kak Rangga baik banget sama gue," ucap Intan hati-hati. "Tapi gue nggak mau orang salah paham. Gue... gue lagi ada masalah keluarga yang rumit banget, Kak. Dan gue nggak bisa ngelibatin orang lain, termasuk lo."

"Gue bisa bantu, Tan. Lo bisa cerita sama gue," desak Rangga.

"Nggak bisa," potong Intan tegas. Ia mengangkat wajahnya, menatap Rangga dengan sorot mata yang menciptakan tembok pemisah. "Tolong, Kak. Kasih gue ruang. Jangan terlalu sering nemuin gue, jangan beliin gue makanan terus. Gue nggak enak sama... keluarga gue."

Rangga terdiam. Ia adalah laki-laki cerdas. Ia bisa membaca penolakan yang tersirat jelas. Intan sedang menarik garis batas.

"Oke," Rangga mengangguk pelan, meski gurat kekecewaan terlihat jelas di wajahnya. "Kalau itu mau lo. Gue bakal mundur dikit."

Rangga berdiri, mengambil kembali botol orange juice yang tadi ia bawa.

"Gue hargai keputusan lo. Tapi kalau lo butuh temen cerita, nomor gue masih aktif," ucap Rangga tulus, lalu berbalik pergi meninggalkan meja itu.

Intan menatap punggung Rangga yang menjauh. Ada rasa sesak di dadanya. Ia baru saja mematahkan satu-satunya sumber kebahagiaannya di kampus demi menjaga perasaan seorang kakek tua yang sedang sakit.

"Maafin Intan, Kak Rangga," gumamnya lirih.

Dari lantai dua gedung fakultas, di balik kaca jendela ruang dosen yang gelap, sepasang mata elang memperhatikan kejadian itu dari awal hingga akhir.

Argantara Ramadhan berdiri mematung. Tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin.

Ia melihat Rangga datang dengan wajah ceria.

Ia melihat Intan menghindar saat hendak disentuh.

Ia melihat perdebatan kecil mereka.

Dan ia melihat Rangga pergi dengan bahu merosot.

Arga tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi bahasa tubuh Intan sangat jelas: Penolakan.

Ada perasaan lega yang luar biasa membanjiri hati Arga. Rasa cemburu yang membakar dadanya beberapa hari ini mendadak padam, digantikan oleh rasa bingung.

Kenapa?

Kenapa Intan menolak Rangga? Padahal jelas-jelas Intan nyaman dengan anak itu. Padahal jelas-jelas Intan membenci Arga.

Arga meletakkan cangkirnya. Rasa penasaran mendorong kakinya untuk melangkah keluar ruangan.

Ia sengaja mencegat Intan di koridor sepi saat gadis itu berjalan menuju perpustakaan.

"Intan," panggil Arga.

Intan berhenti. Ia menoleh, wajahnya kembali datar saat melihat suaminya. "Ya, Pak?"

"Saya lihat tadi di kantin," ucap Arga langsung ke inti. "Kamu dan Rangga."

Intan mendengus. "Mas nguntit saya lagi? Kurang kerjaan banget sih jadi dosen."

"Saya cuma kebetulan lihat dari jendela," elak Arga. Ia melangkah mendekat, menatap mata istrinya menyelidik. "Kenapa? Saya pikir kamu menikmati perhatian dia. Kenapa tiba-tiba jaga jarak?"

Intan terdiam sejenak. Ia memeluk buku diktatnya erat-erat di dada.

"Mas pikir saya ngelakuin ini buat Mas?" tanya Intan sinis.

Arga terdiam. Jujur, ada sedikit harapan di hatinya bahwa Intan melakukannya demi pernikahan mereka.

"Jangan mimpi," lanjut Intan, mematahkan harapan itu seketika. "Saya ngelakuin ini buat Kakek Fauzi."

Mata Intan meredup, menyiratkan kesedihan yang tulus.

"Kakek percaya kita bahagia, Mas. Kakek percaya saya istri yang baik. Setiap kali saya nerima kebaikan Kak Rangga, saya ngerasa lagi nipu Kakek," suara Intan bergetar. "Kakek Fauzi terlalu baik buat dikhianati, bahkan walau dia nggak tau. Saya masih punya hati nurani."

Arga terpaku. Ia menatap gadis kecil di depannya dengan pandangan baru. Rasa kagum menyelinap masuk ke dalam hatinya.

Intan, gadis yang sering ia sebut bocah, ternyata memiliki integritas yang jauh lebih tinggi daripada dirinya. Arga bahkan sempat tergoda oleh kehadiran Clarissa, tapi Intan? Intan memutus kebahagiaannya sendiri demi menghormati sumpah pernikahan di mata sang Kakek.

"Kamu..." Arga kehabisan kata-kata.

"Jadi tolong, Mas," potong Intan. "Mas juga harus ngehargain pengorbanan saya. Jangan bikin Kakek sedih. Jangan temui Clarissa selama Kakek masih sakit. Bisa kan?"

Itu bukan permintaan, itu tuntutan.

Arga mengangguk pelan. "Saya janji. Tidak ada Clarissa."

Intan mengangguk singkat. "Bagus."

Gadis itu hendak berlalu, tapi Arga menahan langkahnya dengan sebuah kalimat yang keluar tulus dari bibirnya.

"Intan."

"Apa lagi?"

"Kakek Fauzi benar," ucap Arga pelan, matanya menatap dalam. "Kakek beruntung punya cucu menantu seperti kamu. Dan saya... saya bodoh kalau menyia-nyiakan kamu."

Intan terpaku. Jantungnya berdegup satu ketukan lebih cepat. Itu adalah pujian paling tulus yang pernah keluar dari mulut suaminya yang angkuh.

Namun, Intan segera menepis perasaan itu. Ia tidak boleh luluh hanya karena satu kalimat manis.

"Simpan pujiannya buat nanti di depan Kakek, Pak. Sekarang kita di kampus," ucap Intan dingin, lalu berbalik dan berjalan cepat meninggalkan Arga.

Argantara menatap punggung istrinya yang menjauh. Kali ini, tidak ada rasa kesal. Yang ada hanya rasa hormat yang tumbuh subur, dan sebuah tekad yang semakin kuat.

"Tunggu saya, Intan," gumam Arga pada koridor yang sepi. "Saya akan pantas buat kamu."

1
Miramira Kalapung
Suka banget sama cerita nya Thor, semoga cepat update yah🥰🥰
sarinah najwa
miris sekali hudupnu pak dosen 😅silahkan menikmati buah dari perbuatAnmu ..
Rian Moontero
lanjuuuttt👍👍😍
Sri Wahyuni
Luar biasa
☠ᵏᵋᶜᶟ𝕸y💞Putri𖣤​᭄
sukurin Arga....
makan tuh gengsi Segede gaban😄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!