Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengantin Debu
Cahaya senter Rian bergetar, menyorot sosok kaku yang duduk di kursi kayu itu.
Itu bukan hantu. Itu bukan ilusi optik. Itu adalah mayat.
Tubuh itu sudah mengering sempurna, terawetkan secara alami oleh suhu dingin dan udara kering loteng selama puluhan tahun. Kulitnya menyusut membungkus tulang, berwarna abu-abu kecokelatan seperti kertas tua. Rambut panjangnya masih utuh, meski kusam dan penuh debu, menjuntai menutupi sebagian wajah tengkoraknya yang menunduk.
Gaun pengantin putih yang dikenakannya telah berubah warna menjadi kekuningan, penuh lubang gigitan ngengat, dengan renda-renda yang rapuh. Di jari manis tangan kirinya yang tinggal tulang, melingkar sebuah cincin emas bermata rubi yang masih berkilau, satu-satunya benda yang tampak "hidup" di tubuh mati itu.
"I-itu..." suara Bobi tercekat, seolah ada bola bulu yang menyumbat tenggorokannya. Dia mundur sampai punggungnya menabrak tumpukan kardus bekas. "Itu mayat beneran, Yan? Bukan properti Halloween?"
"Mayat," konfirmasi Sarah. Naluri hukum dan logikanya bekerja otomatis untuk menekan rasa takut, meski wajahnya sendiri sepucat mayat itu. "Mummifikasi alami. Dia... dia sudah lama sekali di sini."
Rian tidak menjawab. Dia melangkah pelan mendekati mayat itu, langkahnya hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi di lantai kayu yang rapuh. Suara cakaran di pintu loteng bawah sudah berhenti, digantikan oleh suara angin yang menderu menyelusup lewat celah genteng.
Di pangkuan mayat itu, tergeletak sebuah buku tebal bersampul kulit hitam. Jari-jari tulang mayat itu memeluk buku tersebut dengan posesif.
"Rian, jangan sentuh," bisik Elara. Dia merasakan kesedihan yang teramat sangat memancar dari sudut ruangan itu. Bukan amarah seperti di kamar bawah tadi, melainkan keputusasaan yang sunyi. "Dia... dia sedih sekali."
"Kita butuh jawaban, El," jawab Rian pelan. "Kalau kita mau keluar dari sini hidup-hidup, kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Rian berjongkok di depan mayat itu. "Maaf," bisiknya sopan.
Dengan perlahan, Rian menarik buku itu dari sela-sela jari tulang. Ada bunyi krak halus saat tulang-tulang jari itu tergeser, membuat Bobi menutup mata dan menggumamkan doa apa saja yang dia ingat.
Buku itu terlepas. Debu tebal mengepul.
Rian mundur kembali ke dekat teman-temannya, menjauhi kursi kematian itu. Dia mengarahkan senter ke sampul buku. Tidak ada judul. Hanya ada inisial yang diembos emas: E.V.
"Elena V..." gumam Sarah.
Rian membuka halaman pertama. Kertasnya rapuh, tintanya memudar tapi masih bisa dibaca. Itu adalah buku harian.
Rian membalik halaman dengan cepat, melewati catatan-catatan awal yang berisi puisi cinta dan kebahagiaan tentang pernikahan rahasia. Dia mencari bagian akhir. Bagian di mana tulisan tangan yang rapi berubah menjadi kacau.
"Bacain, Yan," pinta Bobi, suaranya bergetar. "Gue nggak berani lihat."
Rian menelan ludah, lalu mulai membaca dengan suara rendah yang menggema di loteng sempit itu.
20 Desember 1980
Adrian semakin aneh. Dia tidak tidur tiga hari. Dia terus bermain piano, mengulang-ulang nada yang sama. Dia bilang ada satu kunci nada yang hilang. Nada yang bisa membuka gerbang keabadian.
22 Desember 1980
Dia mengunci semua pintu keluar. Dia bilang badai akan datang, tapi di luar cerah. Aku takut. Tatapan Adrian bukan tatapan suamiku lagi. Dia melihatku bukan sebagai istri, tapi sebagai... instrumen.
24 Desember 1980 - Malam Natal
Tuhan, tolong aku. Dia membawaku ke loteng. Dia bilang aku mengganggunya. Dia bilang tangisanku merusak konsentrasinya di bawah. Dia mengunciku di sini.
Dingin. Sangat dingin. Aku bisa mendengar dia bermain piano di bawah. Lagunya indah, tapi menyakitkan. Setiap kali dia menekan tuts, rasanya seperti ada pisau yang mengiris jantungku.
25 Desember 1980
Dia datang membawakan gaun pengantin ini. Dia menyuruhku memakainya. Dia bilang, "Bersiaplah, Elena. Malam ini kita akan konser. Kamu tidak perlu bernyanyi. Cukup diam dan rasakan sakitnya. Rasa sakitmu adalah melodi terbaik."
Dia pergi lagi. Dia mengunci pintu loteng dari luar. Dia berjanji akan menjemputku saat lagunya selesai.
27 Desember 1980
Lapar. Haus. Dingin. Kakiku sudah tidak bisa digerakkan. Aku menggedor lantai, tapi musik piano di bawah semakin keras, menenggelamkan suaraku.
Adrian... kenapa kamu tidak datang? Kamu janji tidak akan meninggalkanku sendiri.
30 Desember 1980
Denting terakhir. Musiknya berhenti. Aku mendengar suara tembakan. Satu kali.
Lalu hening.
Dia tidak akan datang. Dia tidak pernah berniat menjemputku.
Dia mati untuk mengabadikan lagunya. Dan dia membiarkanku mati pelan-pelan di sini untuk menjadi penonton abadinya.
Aku benci kamu, Adrian. Aku benci musikmu.
Aku bersumpah, siapa pun yang mendengar lagumu lagi... akan merasakan dingin yang kurasakan.
Rian menutup buku itu perlahan. Hening yang mencekam menyelimuti mereka.
Jadi bukan Elena yang jahat.
"Gila..." desis Sarah, air mata menggenang di matanya. "Suaminya psikopat. Dia bunuh diri setelah menyelesaikan lagunya, dan membiarkan istrinya mati kelaparan dan kedinginan di loteng ini?"
"Itu sebabnya..." Elara menatap mayat Elena dengan pandangan baru. Rasa takutnya berganti menjadi rasa iba yang mendalam. "Itu sebabnya dia selalu mengetuk lantai. Dia minta tolong. Dia menggedor lantai untuk memanggil suaminya yang ada di bawah."
"Dan sosok hitam yang ngejar kita tadi..." Bobi menunjuk ke arah pintu loteng di lantai dengan tongkat besinya. "Itu si Adrian?"
Rian mengangguk kaku. "Adrian yang terobsesi. Dia ingin reka ulang. Dia butuh pianis baru—aku. Dan dia butuh..." Rian menatap Elara. "...korban baru."
"Elara," sambung Rian cepat. "Waktu kamu 'kerasukan' di dekat piano tadi, kamu bilang 'Dia tidak mau main lagi, jarinya sakit'. Itu bukan Elena yang merasuki kamu. Itu ingatan Elena tentang Adrian."
"Berarti..." Elara merinding. "Yang menyerang kita, yang bikin tulisan darah, yang bikin pintu dan lemari hancur... itu Adrian. Elena cuma korban yang terperangkap."
Tiba-tiba, terdengar suara berderit dari sudut loteng yang gelap, di balik tumpukan kursi rusak.
Krieeet...
Semua senter langsung mengarah ke sana.
Sebuah bayangan transparan perlahan muncul. Itu adalah sosok wanita yang sama dengan yang dilihat Elara di jendela dan cermin. Elena. Tapi kali ini, wajahnya tidak menakutkan. Wajahnya sedih, pucat, dan lelah.
Dia tidak menapak tanah. Dia melayang beberapa senti di atas lantai berdebu.
Bobi memekik tertahan dan menutup mulutnya sendiri.
Sosok arwah Elena itu menatap mereka berempat, lalu perlahan mengangkat tangannya yang transparan, menunjuk ke arah dinding loteng di sebelah timur. Di sana, tertutup oleh lemari pajangan bekas yang sudah reyot, ada sebuah celah kecil. Jendela ventilasi atap.
"Dia... dia ngasih tahu jalan keluar?" bisik Sarah tak percaya.
Sosok Elena mengangguk pelan. Lalu, matanya tertuju pada Elara. Bibirnya bergerak tanpa suara, membentuk satu kata:
"Bakar."
Setelah itu, sosoknya memudar dan menghilang, menyisakan partikel debu yang berterbangan.
"Bakar?" ulang Bobi bingung. "Bakar apa? Bakar villa ini?"
"Bukan," kata Rian tegas. Dia mengangkat buku harian di tangannya, lalu menatap piano mainan rusak yang ada di dekat tumpukan barang bekas. "Bukan villanya. Tapi sumber musiknya. Partitur itu. Sonata yang ada di piano bawah."
"Itu karya masterpiece-nya Adrian," lanjut Rian, otaknya mulai menyusun rencana. "Jiwanya terikat di lagu itu. Selama lagunya ada, dia akan terus ada. Kita harus hancurkan partiturnya."
"Tapi partiturnya ada di bawah, Yan!" protes Bobi. "Di ruang tengah! Tempat si Monster Musik itu nungguin kita!"
"Kita nggak punya pilihan," kata Elara. Keberanian baru tumbuh di hatinya setelah mengetahui kebenaran tentang Elena. Dia merasa harus menolong wanita malang itu. "Kita harus turun. Kita alihkan perhatian Adrian, ambil partiturnya, bakar di perapian, lalu lari."
"Tapi lewat mana?" tanya Sarah. "Pintu loteng dijaga."
Rian berjalan menuju lemari bekas yang ditunjuk arwah Elena tadi. Dia mendorongnya sekuat tenaga. Lemari itu ambruk, menimpa lantai dengan suara gaduh.
Di balik lemari itu, ada jendela atap kecil yang engselnya sudah karatan. Rian memanjat tumpukan barang, lalu menghantam kaca jendela itu dengan tongkat besi Bobi.
PRANG!
Udara dingin malam langsung menyerbu masuk, membawa butiran salju.
"Ini tembus ke atap genteng bagian samping," kata Rian, melongok keluar. "Dari sini, kita bisa melipir lewat talang air, turun ke balkon kamar Elara. Dari sana, kita bisa masuk lagi ke lantai dua tanpa lewat pintu loteng yang dijaga."
"Itu gila," komentar Sarah. "Licin, gelap, badai."
"Lebih baik daripada mati jadi mumi di sini nemenin Tante Elena," sahut Bobi, meski wajahnya menunjukkan dia lebih memilih pingsan saja.
"Oke," putus Rian. "Gue duluan. Bobi terakhir. Jaga para cewek."
Satu per satu, mereka memanjat keluar dari jendela atap itu, menerjang badai salju yang mengamuk di luar. Angin menampar wajah mereka dengan brutal. Genteng yang mereka pijak licin oleh es.
Elara sempat menoleh ke belakang sekali lagi sebelum keluar. Dia menatap mayat Elena yang duduk sendirian di kegelapan loteng.
"Tunggu sebentar lagi, Elena," bisik Elara. "Kami akan menghentikan musiknya."
Mereka merayap di atap villa yang miring, berpegangan pada apapun yang bisa dipegang, sementara di bawah sana, di dalam perut villa, Monster Adrian sedang menunggu dengan sabar, mengira mangsanya masih terperangkap di dalam kotak kayu di atas kepalanya.
Babak terakhir akan segera dimulai. Bukan dengan piano, tapi dengan api...