Sekuel ke empat Terra The Best Mother, sekuel ke tiga Sang Pewaris, dan sekuel ke dua The Big Families.
Bagaimana kisah kelanjutan keluarga Dougher Young, Triatmodjo, Hovert Pratama, Sanz dan Dewangga.
Saksikan keseruan kisah pasukan berpopok dari new generasi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DISKUSI PASUKAN BERPOPOK
Hunian Terra tetap menjadi tempat berkumpul seluruh keluarga — dari para pengawal sesi pertama hingga sekarang.
Tak ada satu pun yang mau pindah dari rumah yang telah mengajarkan mereka arti kasih sayang, cinta, dan kebersamaan.
“Baby Issa! Jangan lari!” teriak Sista.
Issa berkelit, gelak tawa meletup dari mulut bayi yang belum genap tiga tahun itu.
Sebuah panci masih menutupi kepalanya sebagai helm, sementara sapu lidi di tangan jadi senjatanya. Barusan, ia menyabet Sista dengan sapu itu!
“Baby!” panggil Indah dengan nada galak.
Issa berhenti seketika, lalu berbalik arah dan menerjang Sista sambil memeluknya erat.
“Mama lihat tadi Baby sakiti Tinti, loh! Mama nggak suka!” seru Indah dengan nada tegas.
“Mana tadi tangan yang nyabet Tinti?” tanyanya sambil melangkah mendekat.
“Nyonya... tadi nggak kena kok,” ujar Sista cepat, membela Issa.
“Nggak boleh dibela, Tinti. Itu tidak baik. Nanti dia kebiasaan!” Indah menggeleng, tetap ingin memberi pelajaran.
“Ayo Baby, sini. Mana tadi tangan yang memukul Tinti!”
Indah mengangkat Issa, mendirikan tubuh mungil itu tegak, menatapnya dalam.
Kenakalan kecil Issa tak bisa ditolerir. Indah punya aturan tegas untuk urusan itu.
Sapu lidi sudah terlepas dari tangan, tapi panci masih kokoh di kepala. Issa menunduk hingga panci menutupi separuh wajahnya.
Indah menahan tawa, tapi berusaha tetap serius. Ia menarik tangan Issa, lalu memukulnya pelan.
“Tidak boleh lagi main pukul-pukul, ya?” ucapnya lembut tapi tegas.
“Wiya, Amah...” jawab Issa dengan nada memelas.
“Sekarang minta maaf sama Tinti,” perintah Indah.
Sista mendekat, dan Issa langsung memeluk sambil berkata lirih, “Soli, Tinti.”
“Iya, Baby,” jawab Sista sambil tersenyum, tentu saja memaafkan.
Indah mencopot panci dari kepala anaknya, lalu membawanya ke dapur.
Issa sudah kembali bermain seperti tak terjadi apa-apa.
“Namanya juga anak-anak,” ujar Gina maklum.
“Wah, nggak ada istilah itu, Biyung. Segala bentuk kekerasan tetap harus dikoreksi,” protes Indah.
“Justru karena mereka anak-anak, kita harus ajari sejak dini mana yang boleh dan mana yang berbahaya,” lanjutnya dengan nada penuh keyakinan.
“Iya, sayang, Biyung ngerti. Cuma kadang Biyung suka membiarkan Ramdan bersikap kasar selama itu tidak keterlaluan...” ucap Gina pelan.
“Biyung salah itu,” potong Indah cepat.
“Iya, iya... untung Ramanya Ramdan selalu menegur dan marah sama Biyung karena terlalu lembek mendidik anak,” sahut Gina, menyerah sambil tersenyum kecil.
Sementara itu, di ruang kerja utama, Virgou dan beberapa pria sudah berkumpul membahas perkembangan penyelidikan kemarin.
Bart—anggota tertua—ngotot ingin ikut serta. Ia merasa pengalaman panjangnya masih dibutuhkan.
Mereka kini berada di perusahaan SaveAccounting. Dimas dan timnya baru saja menyelesaikan laporan akhir.
Tindakan kecurangan Gondo dan rekan-rekannya sudah resmi diserahkan ke kepolisian.
“Baby Seroja sudah ambil langkah hukum yang tepat untuk melindungi perusahaan. Baby juga yang bakal jadi pembela kita di persidangan nanti,” ujar Herman bangga.
“Apakah masih akan ada masalah lain?” tanya Bart waspada.
“Tidak ada. Untung Papa Bram sempat menutup semua data internal. Jadi sistem kita aman, nggak bocor ke luar,” jawab Virgou menatap Bram.
“Itu ideku!” sahut Haidar cepat, wajahnya sedikit kesal karena tak disebut.
Virgou menatapnya dengan ekspresi datar.
Haidar langsung mendelik — setengah kesal, setengah malu.
“Ya, ya...” gumam Virgou akhirnya.
“Yang paling cepat gerak waktu itu Baby Rion,” sahut Frans. “Sepertinya di perusahaan dia kebanyakan waktu luang sampai bisa menelisik semua sistem kita.”
“Ah, iya tuh,” celetuk Haidar lagi, tak mau kalah.
“Dan laptop Terra...” Frans menoleh tajam. “Sepertinya sekarang ada di tangan bayi besar kita.”
Semua tertawa kecil.
“Baiklah,” ujar Virgou akhirnya. “Karena semua di sini sudah beres, kita ke perusahaanmu dulu — PT. Bermegah Pratama.”
“Sayang, kerja yang giat, ya,” pamit Virgou sambil mencium pucuk kepala Dimas, Affhan, dan Maisya satu per satu.
Rando bersalaman dengan semuanya.
Keluarga Dougher Young itu kini bertolak ke perusahaan Haidar — tempat di mana masa bujang.
Dua kendaraan mewah meluncur membelah jalan ibukota. Jeep putih milik Virgou jadi sorotan. Beberapa media langsung menangkap pergerakan itu.
Sayang, yang mereka kejar adalah mobil khusus. Para pemburu berita cepat kehilangan kendaraan itu walau di tengah kemacetan jalan raya.
"Gila! Itu mobil apa bunglon. Nggak keliatan!' seru salah satu wartawan yang mengejar menggunakan motor.
Sementara kendaraan yang disupiri Gomesh, melaju tenang di kerumunan mobil. Jalanan berjalan lamban, banyaknya pengemudi yang tidak menjalani aturan jadi penyebab kemacetan.
Akhirnya, ruas jalan protokol dilewati, Bart sudah tertidur di kursi depan samping Gomesh. Virgou di belakang bersama Bram dan Haidar. Sementara Leon, Frans dan Herman ada di mobil lain.
Tak lama, dua kendaraan tanpa pengawalan itu sampai di halaman parkir perusahaan Haidar di masa bujangan. Perusahaan itu berdiri kokoh, bahkan sudah mampu bersaing dengan perusahaan lainnya.
Ketika masuk, Haidar tak menemukan gaya perusahaannya yang dulu. Warna-warna nyaman dan berani berkombinasi. Aroma pewangi ruangan yang menenangkan, udara sejuk karena ada pendingin. Para karyawan langsung membungkuk hormat ketika mereka datang.
"Selamat datang Tuan Hovert Pratama!" sapa para karyawan.
"Baik-baik!" kekeh Haidar melangkah jumawa.
Bram menggeleng melihat kelakuan putranya itu. Virgou menyenggol Bram dengan sikunya.
"Papa, sepertinya anakmu ketularan pasukan berpopok?" bisiknya.
Kembali ke kediaman Terra, pada bayi tengah berkumpul, membentuk koloni. Zaa baru pulang dan duduk di sana setelah berganti baju.
'Baby, cepat katakan pa'a eh apa yan teulsadhi?" suruhnya bossy.
"Imih ladalah basalah pesliyus!" jawab Khadijah lalu diangguki Mala.
"Wiya ... Pa'a ipu!" dengkus Faza penasaran.
"Tatana lada yan bawu telol Yeyan Butli!" jawab Khadijah.
"Wiya ipu benen!' angguk Ali semangat.
"Butan ipu laja. Tatana beulusahaan pentat Patlet Mimas teulza ...."
"Banana Sefatontin!" potong Mala dan semua melihat padanya.
"Sef atontin?" tanya Zaa.
"Bana beulusahaan Patlet Mimas Onty!" sahut Mala dengan mata besar.
"Oh ... Beumana ipu peuluzahaan pa'a?" tanya Sabila masih belum bisa bebas bahasa bayi.
"Tatana syih puwat pelezin teuwuwanan dithu!" jawab Mala.
"Telus, apa ladhi Baby?" tanya Zaa.
"Ya ipu Onty, lada yah telol ...."
"Pundu pulu, atuh teubalin dat deunel Yeyan Butli basat telol. Pati lada yan dandutin!" sahut Ali teringat.
"Masak telol?" tanya Zaa bingung.
"Wiya. .. Tata Apah Memelda dithu. Spasa yan dandutin Punda!" jawab Ali serius.
"Telus teunapa Baby Mala pilan lada yan telol Yeyan Butli? Dat lada yan pilan Yeyan basat telol!" sahut Sabila menatap para penguping baru itu.
"Sepeltinya meleka belum bisa jadi kamela pistitipi, Onty!" keluh Faza.
"Atuh pusdah peulusaha!' sengit Khadijah tak terima.
"Cukup! Jangan ada yang belantem!" putus Zaa tegas.
"Tapi apa sekalang Eyang Putli baik-baik saja kan?" lanjutnya bertanya.
"Hahamtulilah ... Tatana Amah Joja yan Atan sadhi peunasala teuluwalda!' jawab Khadijah.
'Telus ... Tisah sinta Patlet Mama Amah Joja padhaibana?" tanya Nabila dan semua menoleh padanya.
"Kisah cinta?" tanya Zaa.
"Wattu pitnit teubalin, Bila deunen peuldili Patlet pilan dhini. 'Aypi, atuh inin euntaw pahu, jita bulayi seutalan. Atuh atan pawa banamu palam dowa balam tuh. Atuh halap tamuh judha peuldowa bana atuh palam solatmu! Dithu!" jawab Nabila panjang lebar.
"Telus?" tanya Zaa penasaran.
"Tata Patlet Mimas, dhini ... Atuh inin tamuh pahu beulasaantuh "
Semua bayi hening, mereka yakin akan ada satu peristiwa besar lagi terjadi.
Bersambung.
Atur aja kalian Babies.
next?