Dibawah langit kerajaan yang berlumur cahaya mentari dan darah pengkhianatan, kisah mereka terukir antara cinta yang tak seharusnya tumbuh dan dendam masa lalu yang tak pernah padam.
Ju Jingnan, putri sulung keluarga Ju, memegang pedang dengan tangan dingin dan hati yang berdarah, bersumpah melindungi takhta, meski harus menukar hatinya dengan pengorbanan. Saudari kembarnya, Ju Jingyan, lahir dalam cahaya bulan, membawa kelembutan yang menenangkan, namun senyumannya menyimpan rahasia yang mampu menghancurkan segalanya.
Pertemuan takdir dengan dua saudari itu perlahan membuka pintu masa lalu yang seharusnya tetap terkunci. Ling An, tabib dari selatan, dengan bara dendam yang tersembunyi, ikut menenun nasib mereka dalam benang takdir yang tak bisa dihindari.
Dan ketika bunga plum mekar, satu per satu hati luluh di bawah takdir. Dan ketika darah kembali membasuh singgasana, hanya satu pertanyaan yang tersisa: siapa yang berani memberi cinta di atas pengorbanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurfadilaRiska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pedang, Kehangatan dan Dendam
Malam di Pegunungan Longfeng jatuh perlahan, membawa udara dingin yang menusuk tulang. Kabut tipis merayap di antara pepohonan pinus tua, menyelimuti kamp militer Junwei Jun dalam kesunyian yang hampir sakral. Api-obor penjaga berderet rapi, nyalanya bergoyang pelan tertiup angin pegunungan Longfeng, sementara suara serangga malam menjadi satu-satunya irama yang mengisi keheningan tempat itu.
Namun keheningan itu tak mampu menenangkan hati Ju Jingnan.
Malam itu terasa begitu hangat dan sunyi, tetapi Jingnan bahkan tak bisa memejamkan matanya. Akhir-akhir ini tidurnya selalu gelisah—sulit terlelap, dan ketika akhirnya tertidur, ia justru sulit untuk bangun cepat. Pikiran-pikiran yang tak seharusnya ada terus berputar di kepalanya, mengusik ketenangan yang selama ini ia banggakan sebagai seorang jenderal.
Akhirnya, Jingnan bangkit dari pembaringannya.
Tanpa membangunkan siapa pun, ia mengambil pedangnya—pedang yang selalu setia di sisinya—lalu berjalan keluar dari kamarnya. Langkahnya ringan namun pasti, melewati lorong kayu barak menuju tempat latihan yang berada di sisi timur kamp.
Namun saat jaraknya semakin dekat, telinganya menangkap suara yang tidak seharusnya ada pada jam segelap ini.
Desingan angin yang terbelah.
Benturan logam yang halus namun tegas.
Jingnan berhenti sejenak.
“Siapa prajurit yang berlatih malam-malam begini?” gumamnya pelan. “Rajin sekali.”
Di kejauhan, ia melihat punggung seseorang. Sosok itu berdiri di tengah lapangan latihan yang diterangi cahaya bulan, tubuhnya bergerak luwes, pedang di tangannya menari mengikuti alur napas yang teratur. Gerakannya bersih, tidak ceroboh—jelas bukan prajurit sembarangan.
Namun sebelum Jingnan sempat melangkah lebih dekat, seseorang itu seakan menyadari kehadirannya.
Tanpa menoleh, pedang di tangan sosok itu melesat—dilempar dengan kecepatan mematikan, mengarah lurus ke dada Jingnan.
Mata Jingnan membelalak sesaat.
Dengan refleks seorang jenderal medan perang, tubuhnya berputar ke samping. Pedang itu melintas hanya sejengkal dari tubuhnya, menancap ke tanah dengan suara nyaring.
“Hm!”
Belum sempat Jingnan bereaksi lebih jauh, sosok itu sudah berbalik badan dan menghadap kepadanya, wajahnya pucat seketika.
“Putri Jingnan! Maafkan saya!”
Ling An.
Ia berlari mendekat dengan wajah terkejut, jelas tak menyangka orang yang datang adalah Jingnan sendiri.
Jingnan menoleh, matanya menyipit tajam. Tanpa ragu, ia menghunus pedangnya dan dalam sekejap, bilah dingin itu telah menempel di leher Ling An.
“Kau!” suara Jingnan rendah namun penuh tekanan.
Ling An membeku. Sedikit saja ia bergerak, pedang itu akan menyayat lehernya.
“Sebenarnya siapa kau?” Jingnan menatapnya dingin. “Dan apa tujuanmu kemari?”
Tatapan itu seharusnya menakutkan—dan memang menakutkan—namun entah mengapa, bagi Ling An, ada kehangatan aneh yang tersembunyi di balik ketegasan itu.
Ling An mengangkat tangannya perlahan, memberi isyarat agar pedang itu dijauhkan sedikit.
Jingnan tidak menurunkan kewaspadaannya. Ia melangkah ke belakang Ling An, lalu dengan satu gerakan tegas mendorong kaki Ling An ke depan.
“Berlutut.”
Ling An menurut. Pedang Jingnan kini berada tepat di depan lehernya, namun cukup dijauhkan agar ia bisa berbicara.
“Maaf, Putri,” ucap Ling An dengan napas tertahan. “Tadi saya hanya sedang berlatih pedang.”
“Sejak kapan tabib bisa berlatih pedang?” Jingnan menyipitkan mata. “Bukannya kalian sibuk meracik obat dan menyembuhkan orang?”
“Hanya untuk berjaga, Putri. Di selatan, saya sering dipalak, jadi—”
“Jadi kau kemari dan menetap di Kota Yunxi agar tidak dipalak begitu?” potong Jingnan cepat.
“Eh—tidak begitu!” Ling An buru-buru menjawab. “Saya hanya belajar bela diri sedikit.”
“Oh ya? Benarkah?” nada Jingnan terdengar sinis.
Ia melangkah lebih dekat, ujung pedangnya masih mengarah ke leher Ling An.
“Lalu! Kau kemari untuk apa?!”
“Berziarah ke makam orang tua saya, Putri. Itu saja.”
Jawaban itu membuat Jingnan seketika terdiam.
“Kau rakyat Zhenhua?” tanyanya lebih pelan.
“Benar, Putri. Keluarga saya dulu tinggal di desa kecil.”
“Oh begitu…” Jingnan menatapnya lekat. Namun sesaat kemudian, ia kembali melangkah maju, auranya kembali menekan. “Tapi ingat baik-baik.”
“Jika suatu saat nanti kau ketahuan bahwa kau adalah mata-mata,” suaranya mengeras, “maka aku sendiri yang akan menghabisimu.”
Ling An terdiam. Tak ada bantahan. Tak ada pembelaan.
Jingnan akhirnya menarik pedangnya. Sedangkan Ling An menghela napas lega, dadanya naik turun menahan ketegangan yang baru saja merenggut napasnya.
“Tapi latihanmu tadi lumayan,” ucap Jingnan singkat.
Ling An terkejut. “Terima kasih, Putri.”
“Kalau begitu,” Jingnan mengangkat pedangnya kembali, “mari aku uji kemampuanmu.”
Tanpa peringatan, Jingnan menyerang.
Ling An yang masih berlutut terkejut, namun tubuhnya bergerak lebih cepat dari pikirannya. Ia berguling ke samping, bangkit dalam satu tarikan napas. Serangan Jingnan datang bertubi-tubi—tajam, cepat, tanpa celah.
Ling An hanya bisa menghindar.
Ia berlari, lalu meraih pedangnya yang tadi terlempar dan mencabutnya dari tanah. Begitu bilah itu kembali ke tangannya, suara adu pedang memenuhi lapangan latihan.
Clang! Clang!
Malam sunyi itu kini dipenuhi irama logam yang saling beradu.
Jingnan tersenyum tanpa sadar.
Ling An yang melihatnya, ikut tersenyum tipis.
Mata mereka sering bertemu—terlalu sering. Hingga pada akhirnya kehangatan yang sulit dijelaskan itu kembali muncul, mengalir di antara setiap ayunan pedang dan langkah kaki. Tak ada dendam, tak ada status—hanya dua orang yang menikmati duel di bawah cahaya bulan.
Pertarungan itu berlangsung lama. Keduanya sama-sama tidak terkalahkan.
Namun akhirnya, Ling An sengaja membuat kesalahan kecil. Pedangnya terlepas dari genggaman dan jatuh ke tanah. Ia berlutut, napasnya terengah, berpura-pura kelelahan dan ia tak ingin Jingnan kembali curiga pada kemampuannya yang sebenarnya.
Jingnan menghentikan serangannya.
“Kau kalah,” ucapnya sambil tersenyum tipis.
“Tentu saja,” Ling An membalas dengan senyum sopan. “Di hadapan saya adalah Jenderal Jingnan. Bagaimana mungkin saya menang?”
Jingnan hendak tersenyum lagi—namun ia menghentikan dirinya sendiri. Wajahnya kembali dingin.
Tanpa berkata apa pun, ia berbalik dan berjalan pergi, meninggalkan Ling An sendirian di lapangan latihan.
Ling An menatap punggung Jingnan hingga sosok itu perlahan menghilang di balik kabut malam.
Saat itulah ia kembali teringat tujuan awalnya mendekati kedua saudari itu—bukan cinta yang seharusnya tumbuh di hatinya, melainkan dendam yang selama ini ia genggam erat, dendam yang seharusnya menjadi satu-satunya alasan ia tetap bertahan di tempat ini dan disisi kedua saudari itu.
Namun sekeras apa pun ia berusaha menggenggamnya, mata Jingnan dan senyum Jingyan selalu menghangatkan hatinya. Setiap tatapan Jingnan membuat dendam itu goyah—dan itu adalah sesuatu yang tidak boleh terjadi.
Di bawah langit Pegunungan Longfeng, Ling An mengepalkan tangannya.
Malam itu sunyi.
Namun hatinya semakin bising.
Ia berdiri sejenak di tengah lapangan latihan yang kini kembali lengang. Cahaya bulan memantul di tanah yang dingin, meninggalkan bayangan panjang di belakang kakinya. Ling An menunduk, menatap pedang yang tadi sengaja ia jatuhkan—pedang yang seharusnya tak boleh ia perlihatkan kemampuannya terlalu jauh apalagi kepada Jingnan.
Ia mengambilnya perlahan.
Genggamannya menguat, seakan menahan sesuatu yang berusaha lepas dari dadanya. Tanpa menoleh lagi ke arah jalan yang tadi dilalui Jingnan, Ling An berbalik dan berjalan pergi menuju kamarnya. Langkahnya terdengar ringan, namun di balik itu, hatinya terasa berat.
Setiap langkah menjauh dari lapangan latihan, bayangan Jingnan justru semakin jelas di benaknya—tatapan tajamnya, senyum tipisnya, dan kehangatan yang tak seharusnya ia rasakan.
Ini salah…
Semua ini salah…
Namun malam tak menjawab kegelisahannya
......................
Sementara itu, di kamar Jingnan, lampu minyak masih menyala redup.
Jingnan duduk sendiri di tempat duduk kayu bundar sederhana, tubuhnya tegak namun bahunya tampak lelah. Ia menuangkan teh panas ke dalam cangkir porselen, uapnya naik perlahan, mengabur di udara dingin kamar.
Ia mengangkat cangkir itu dan meneguknya perlahan.
Namun rasa teh tak benar-benar ia sadari.
Di benaknya, bayang-bayang Ling An terus muncul tanpa diundang. Gerakannya yang luwes, caranya menghindar, dan sorot mata itu—mata yang hangat, namun menyimpan sesuatu yang dalam dan sulit dibaca.
Hangat… namun berbahaya.
Sorot mata itu mengingatkannya pada mimpi yang berulang menghantuinya akhir-akhir ini.
Mimpi di mana ia diserang.
Oleh Shen Yun.
Dan satu sosok misterius lainnya—wajahnya tertutup bayangan, gerakannya cepat, dan auranya dingin. Sosok itu selalu berdiri sedikit lebih jauh, mengamati, seakan menunggu saat yang tepat untuk menusuk dari belakang.
Jingnan meletakkan cangkir tehnya di meja.
Tangannya bergetar halus.
Ia kemudian menunduk, meletakkan kepalanya di atas meja kayu itu. Pandangannya bergeser ke samping, menatap cangkir yang masih mengepulkan uap tipis.
Tanpa ia sadari, sesuatu yang hangat mengalir di pipinya.
Air mata.
Pikirannya kembali terlempar jauh ke masa lalu—ke hari ulang tahunnya yang kesepuluh tahun bersama jingyan.
Hari itu seharusnya dipenuhi tawa dan hadiah yang dijanjikan oleh ayahnya, hari yang ia nantikan bersama Jingyan dengan hati polos, sebelum takdir merenggut segalanya.
Hari di mana ia menunggu ayahnya kembali ke istana dengan senyum lebar, mengenakan hanfu baru yang disiapkan ibunya. Hari di mana ia percaya dunia adalah tempat yang aman.
Namun kenyataan menghantamnya tanpa ampun.
Kabar kematian ayahnya datang seperti petir di siang bolong.
Tak ada perpisahan.
Tak ada pelukan terakhir.
Hanya darah, duka, dan tanggung jawab yang terlalu besar untuk seorang anak.
Sejak hari itu, Jingnan menegakkan punggungnya sendiri. Ia meninggalkan pedang mainannya dan bunga plum yang dulu begitu indah di tangannya. Ia, menggenggam pedang sungguhan dengan tangan yang masih gemetar. Ia Belajar menelan tangisnya sebelum orang lain melihat
Air matanya kini jatuh satu per satu, membasahi meja kayu dan lengan bajunya.
Namun ia tak terisak.
Ia hanya membiarkan kenangan itu mengalir, seperti hujan kecil yang tak pernah benar-benar berhenti di hatinya.
Entah berapa lama ia duduk begitu, hingga akhirnya kelelahan mengalahkan pikirannya. Napasnya melambat, bahunya sedikit mengendur.
Jingnan terlelap.
Dalam tidurnya, air mata masih mengalir lembut, membasahi pipinya—seolah mimpi dan kenangan tak ingin melepaskannya begitu saja.
Di luar, angin Pegunungan Longfeng berdesir pelan.
Malam terus berjalan.
Dan di dua kamar yang terpisah, dua hati yang sama-sama terluka terlelap dalam kebisuan—masing-masing membawa rahasia, dendam, dan perasaan yang perlahan mulai tumbuh.
semangat teruslah aku dukung🔥❤️