NovelToon NovelToon
Masuk Ke Dunia Kultivasi Lebih Dahulu Dari Teman Sekelasku

Masuk Ke Dunia Kultivasi Lebih Dahulu Dari Teman Sekelasku

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Transmigrasi / Fantasi Isekai / Time Travel / Sistem / Iblis
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: EGGY ARIYA WINANDA

Lu Changzu dan teman temannya terlempar ke dimensi lain, Namun Tanpa Lu Changzu sadari ia masuk ke dunia tersebut lebih awal dari teman teman sekelasnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EGGY ARIYA WINANDA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hukum Rimba Tianyun

Rasa sakit adalah guru yang kejam.

Lu Changzu telah belajar hal ini dalam beberapa jam yang terasa seperti seumur hidup.

Gravitasi 1,5 kali lipat yang konyol itu telah mengubah anggota tubuhnya menjadi pemberat. Setiap tarikan napas terasa seperti ditekan di bawah udara yang padat. Namun, bukan itu yang akan membunuhnya lebih dulu.

Bukan pula monster Serigala Tulang Punggung Pedang yang masih menghantui pikirannya.

Bukan. Yang akan membunuhnya adalah rasa haus.

Darah hitam yang dia muntahkan saat mencoba menghirup Qi secara paksa telah menguras cairan tubuhnya. Tenggorokannya bukan lagi sekadar kering; rasanya telah tergores oleh amplas kasar, dan setiap upaya menelan ludah adalah siksaan api kecil.

"Air..." desisnya. Suaranya pecah, lebih mirip gesekan daun kering daripada ucapan manusia.

Ia menyeret dirinya, terhuyung-huyung di antara akar-akar raksasa yang tampak seperti cakar titan yang membatu. Seragam sekolahnya yang robek menempel di kulitnya yang lecet, berlumuran lumpur biru bercahaya redup dan darahnya sendiri yang mengering.

Di dunia ini, dia adalah mangsa. Setiap suara—gemerisik daun, tetesan embun yang jatuh—membuat jantungnya berhenti berdetak sesaat. Dia adalah perwujudan dari ketakutan murni.

Tapi Lu Changzu, di balik lapisan ketakutannya, adalah seorang realis. Ketakutan tidak akan memberinya air.

Dia menemukan apa yang dicarinya: sebuah celah di antara dua akar pohon raksasa, membentuk gua kecil yang gelap dan lembap. Itu adalah tempat persembunyian yang menyedihkan, tapi itu adalah tempat persembunyian.

Dia ambruk di dalamnya, punggungnya bersandar pada kayu bersisik yang dingin. Dia memejamkan mata sejenak, hanya untuk menghemat energi. Pikirannya berpacu, mencoba menyusun strategi di tengah kabut dehidrasi.

Satu: Aku butuh air. Air yang tidak beracun.

Dua: Aku butuh senjata. Apa saja. Batu runcing, ranting tajam.

Tiga: Aku harus memahami...

SHIIIIING—

Sebuah suara membelah udara di atas kanopi hutan.

Itu bukan suara mesin jet. Itu terlalu bersih, terlalu murni. Seperti seruling kristal yang ditiup dengan kekuatan badai.

Lu Changzu membeku. Instingnya, yang telah terasah setajam silet oleh teror murni, menjerit. Dia menahan napas, menekan dirinya lebih dalam ke dalam celah akar.

Melalui celah sempit di atasnya, dia melihatnya.

Tiga garis cahaya. Dua biru langit, satu putih murni, melesat menembus hutan lebat dengan kecepatan yang menentang hukum fisika mana pun yang dia kenal. Mereka bergerak tanpa suara, kecuali desingan awal yang dia dengar.

Mereka berbelok, bermanuver di antara pepohonan raksasa seolah-olah mereka adalah bagian dari angin itu sendiri.

Dan kemudian, mereka berhenti. Menggantung di udara sekitar seratus meter darinya.

Lu Changzu menelan ludah, rasa sakit di tenggorokannya terlupakan sejenak. Matanya terpaku.

Itu bukan cahaya. Itu orang.

Tiga sosok, berdiri di atas pedang yang bersinar, melayang di udara seolah-olah itu adalah hal paling wajar di dunia.

Pemandangan itu begitu menakjubkan, begitu agung, hingga melampaui apa pun yang pernah ia impikan. Jubah mereka berkibar pelan melawan gravitasi, rambut mereka menari-nari dalam energi yang tak terlihat.

Inilah mereka. Makhluk-makhluk dari novel fantasi yang terkadang ia baca untuk membunuh waktu. Kultivator.

Pikiran pertamanya adalah kekaguman murni.

Pikiran keduanya adalah teror yang lebih dalam dari yang dia rasakan saat melihat serigala monster itu.

Strategi gelap.

Dia ingat setiap cerita yang pernah dia baca. Di dunia seperti ini, manusia fana adalah semut. Mereka adalah debu. Seorang kultivator yang kuat bisa membunuh seribu manusia fana hanya dengan satu pikiran, dan tidak ada yang akan mempertanyakannya. Meminta bantuan mereka seperti seekor domba yang meminta perlindungan kepada kawanan serigala.

Memakan dan dimakan.

"Jangan bergerak," bisiknya pada dirinya sendiri, meskipun bibirnya terlalu kering untuk mengeluarkan suara. "Jangan bernapas. Mereka akan pergi. Mereka tidak mungkin peduli padamu."

Dia meringkuk, mencoba membuat dirinya sekecil mungkin, berharap lumpur biru dan kegelapan celah itu akan menyembunyikannya.

Dia hampir berhasil.

Ketiga sosok di udara itu tampak sedang berdiskusi, mungkin mencari sesuatu—ramuan herbal, binatang buas—dan akan segera pergi.

Lu Changzu, dalam usahanya untuk bergeser lebih jauh ke dalam bayangan, menggerakkan kaki kirinya yang kram. Sepatu ketsnya yang basah bergeser di atas permukaan akar yang tertutup lumut... dan menginjak sepotong ranting kering yang tersembunyi.

KRAK.

Suara itu terdengar seperti ledakan meriam di tengah kesunyian hutan yang mencekam.

Lu Changzu membeku. Setiap tetes darah di tubuhnya terasa dingin.

Di udara, ketiga sosok itu berhenti bergerak seketika.

Dalam satu gerakan yang serempak dan menakutkan, mereka bertiga menoleh ke arah sumber suara. Ke arah celah akarnya.

Sial. Sial. SIAL.

"Siapa di sana?!"

Suara itu milik pria yang lebih tinggi di antara ketiganya. Itu bukan teriakan; itu adalah perintah yang diperkuat oleh energi, menghantam telinga Lu Changzu seperti tamparan fisik.

Lu Changzu tidak menjawab. Dia hanya bisa gemetar.

Desir.

Dalam sekejap mata, ketiga sosok itu telah bergerak. Mereka tidak terbang turun; mereka jatuh dengan keanggunan terkendali, mendarat di tanah terbuka di depan tempat persembunyiannya tanpa suara.

Hembusan angin dari pendaratan mereka melemparkan daun-daun kering dan debu ke wajah Lu Changzu.

Dia sekarang bisa melihat mereka dengan jelas. Dan mereka bisa melihatnya.

Mereka bertiga mengenakan jubah putih bersih dengan sulaman awan biru di tepinya—pakaian yang seharusnya tidak ada di hutan kotor ini.

Satu orang adalah seorang wanita muda, mungkin sedikit lebih tua darinya. Rambut hitam panjangnya diikat dengan jepit giok sederhana, dan wajahnya—bahkan dengan ekspresi terkejut—adalah jenis kecantikan yang tidak akan pernah Lu Changzu lihat di sekolahnya. Dia cantik, tapi dengan cara yang dingin dan jauh, seperti bunga es.

Di sebelahnya berdiri seorang pria tinggi kekar dengan wajah keras. Dia yang tadi berteriak. Matanya memindai Lu Changzu dengan penghinaan yang tidak disembunyikan. Dia adalah pengawal.

Dan di antara mereka, sedikit di belakang, berdiri seorang pria tua. Dia tampak biasa saja, dengan janggut tipis dan mata yang sedikit menyipit, seolah-olah dia bosan. Namun, Lu Changzu merasakan instingnya menjerit paling keras saat melihat pria tua itu. Serigala itu berbahaya. Pria kekar itu berbahaya. Pria tua itu adalah kematian.

Untuk sesaat, keheningan total menguasai hutan. Ketiga kultivator itu hanya menatap.

Mereka menatap seorang anak laki-laki yang kotor, berlumuran darah dan lumpur, mengenakan pakaian aneh yang compang-camping (seragam sekolahnya), gemetar di dalam lubang lumpur.

Mereka jelas bingung.

"Apa-apaan ini?" pria kekar itu, Lin Xuya, yang pertama memecah keheningan. Dia tidak berbicara dengan Lu Changzu, tetapi dengan pria tua itu. "Se... seekor makhluk fana?"

Dia mengucapkan kata 'fana' seolah itu adalah penyakit menjijikkan.

"Di pinggiran Hutan Kematian Agung?" lanjutnya, rasa jijik di wajahnya berubah menjadi kecurigaan. "Ini jebakan. Pasti ilusi yang diciptakan oleh Binatang Iblis."

Pria tua itu, Lin Dou, tidak menanggapi. Matanya yang menyipit menatap Lu Changzu, menganalisis.

Wanita muda itu, Lin Yuwen, melangkah maju sedikit. Matanya dipenuhi rasa ingin tahu yang dingin. "Dia terlihat nyata."

"Kakak sepu..! Nona, minggir!" bentak Lin Xuya. "Makhluk fana tidak mungkin ada di sini. Itu adalah fakta. Udara di sini saja sudah cukup untuk meracuni mereka dalam sehari. Ini pasti... sesuatu yang lain."

Lin Xuya memfokuskan pandangannya pada Lu Changzu.

Dan saat itulah Lu Changzu merasakannya. Tekanan.

Itu adalah aura mereka.

Lin Yuwen (Body Tempering Tahap 4 Akhir) terasa seperti embusan angin musim semi yang sejuk, tetapi di baliknya ada ujung tajam es yang siap menusuk.

Lin Xuya (Body Tempering Tahap 9 Akhir) adalah bara api. Auranya panas, agresif, dan menusuk kulit Lu Changzu bahkan dari jarak lima meter. Rasanya seperti berdiri terlalu dekat dengan tungku pembakaran. Ia adalah sepupu jauh Lin Yuwen dan kini menjadi pengawalnya.

Tapi pria tua itu, Lin Dou (Master Tahap 5 Akhir)... dia yang paling menakutkan. Dia tidak memancarkan apa-apa. Dia seperti lubang hitam. Gravitasi di sekitarnya terasa lebih berat. Dia menyerap cahaya, suara, dan keberanian. Berada di dekatnya membuat Lu Changzu merasa seolah-olah jiwanya sedang ditarik keluar melalui pori-porinya.

Tubuh fana Lu Changzu tidak dirancang untuk menahan tekanan spiritual seperti ini. Kakinya gemetar tak terkendali. Gigi-giginya bergemeletuk. Keringat dingin membasahi punggungnya.

Lin Xuya melangkah maju, tangannya bergerak ke gagang pedang di punggungnya. "Aku akan menguji ilusi ini."

"Hentikan."

Satu kata dari Lin Dou. Pria tua itu bahkan tidak mengangkat suaranya, tetapi Lin Xuya membeku di tempat seolah-olah dia ditampar oleh tangan tak terlihat.

Lin Dou akhirnya memfokuskan pandangannya sepenuhnya pada Lu Changzu. "Siapa kau, Nak?"

Pikiran Lu Changzu dipenuhi teror. Dia tahu ini adalah momen hidup atau mati. Mereka ini adalah makhluk-makhluk yang bisa mengubahnya menjadi abu hanya dengan satu kata. Realisme karakternya mengambil alih: jangan terlihat mengancam, jangan berbohong jika tidak perlu, dan jangan tunjukkan kecerdasan. Mereka membenci semut yang mencoba menjadi pintar.

Dia memaksakan tenggorokannya yang kering untuk bekerja.

"Sa... saya..." Dia terbatuk, rasa sakit merobek tenggorokannya. Dia menundukkan kepalanya, sebagian karena rasa sakit, sebagian besar karena dia tidak berani menatap mata pria tua itu.

"Saya... Lu Changzu."

Hanya itu yang bisa dia keluarkan.

Lin Xuya mendengus keras. "Hmph. 'Lu Changzu'. Nama yang fana. Tuan Lin, Nona, kita membuang-buang waktu. Tempat ini adalah batas patroli kita. Kita sudah mendapatkan Rumput Tulang Giok. Membiarkan serangga ini hidup hanya akan menarik perhatian Binatang Buas yang lebih besar. Biar saya... membersihkannya."

Kata 'membersihkan' diucapkan dengan niat membunuh yang begitu kental hingga udara terasa membeku. Lin Xuya jelas percaya bahwa membunuh seorang fana yang lemah di tempat seperti ini adalah sebuah kebaikan, bukan kejahatan.

Dia mengangkat tangannya, energi samar mulai berkumpul di telapak tangannya.

"Xuya!"

Kali ini suara Lin Yuwen yang tajam. Dia menatap pengawalnya dengan marah.

"Nona, saya hanya—"

"Diam."

Lin Yuwen tidak menatapnya lagi. Dia menatap Lu Changzu. Tapi Lu Changzu, yang masih menunduk dan gemetar, merasakan sesuatu yang aneh.

Dia mendengar suara Lin Yuwen di telinganya: ["Tunggu, Xuya."]

Tapi kemudian, dia melihat bibir wanita itu tidak bergerak sama sekali, namun dia merasakan gelombang kemarahan mental diarahkan ke pengawal itu.

Telepati.

Pikiran Lu Changzu yang ketakutan mencatat fakta itu.

Di dunia luar, Lin Yuwen menatap Lin Xuya dengan dingin. Di dalam pikiran mereka, percakapan yang jauh lebih cepat sedang terjadi—sebuah transmisi Divine Sense (Akal Spiritual).

[Suara Mental - Lin Yuwen]: "Lin Xuya, kau ini pengawal atau babi hutan bodoh?! Gunakan otakmu! Kau pikir kau sedang berada di mana? Ini adalah batas terluar dari 'Formasi Seratus Pembunuhan' yang ditinggalkan sekte kuno. Kita bertiga saja harus berhati-hati agar tidak memicu jebakan. Sekarang katakan padaku, bagaimana seekor 'makhluk fana' yang bahkan tidak memiliki jejak Qi sedikit pun di tubuhnya... bisa berjalan melewati ratusan formasi pembunuh tingkat satu... tanpa berubah menjadi kabut darah?"

Wajah Lin Xuya, yang tadinya penuh penghinaan, tiba-tiba berubah pucat pasi. Dia tersentak seolah baru saja disadarkan.

Dia menatap Lu Changzu lagi.

Bukan lagi sebagai serangga yang menjijikkan. Tapi sebagai sebuah anomali yang mustahil. Sebuah teka-teki yang menakutkan.

Bagaimana bisa seekor domba berjalan tanpa cedera melewati ladang ranjau aktif?

Lin Dou, sang paman, hanya tersenyum tipis. Dia sudah memikirkan hal ini sejak awal.

Di dunia fisik, keheningan yang tegang itu pecah ketika Lin Yuwen dengan anggun melangkah maju. Pedang terbang di bawah kakinya menghilang dalam kilatan cahaya, tersimpan di suatu tempat. Itu adalah isyarat untuk menunjukkan bahwa dia tidak berbahaya.

Dia berjongkok sedikit, mencoba sejajar dengan Lu Changzu yang masih meringkuk.

"Lu Changzu," katanya, suaranya sekarang jauh lebih lembut, meskipun Lu Changzu tahu itu hanya topeng. "Maafkan kekasaran pengawal saya. Kami hanya sangat terkejut menemukan orang sepertimu... di tempat seperti ini."

Dia mengamati seragamnya. "Pakaianmu... aneh."

Lu Changzu tidak berani menjawab. Dia hanya gemetar.

"Dengar," lanjut Lin Yuwen, "Kami akan segera keluar dari hutan ini. Tempat ini terlalu berbahaya, bahkan untuk kami, apalagi untukmu."

Dia tersenyum—senyuman yang dipraktikkan dengan baik, penuh kesopanan bangsawan.

"Kami akan menuju Kota Batu hijau. Itu adalah pemukiman manusia terdekat. Maukah kau ikut bersama kami? Kami bisa menjamin keselamatanmu sampai di sana."

Tawaran itu terdengar seperti penyelamatan.

Lu Changzu, bagaimanapun, mendengarnya sebagai sesuatu yang lain. Itu bukan pertanyaan. Itu adalah perintah yang dibungkus dengan sutra.

Dia tahu apa yang mereka lihat: sebuah keanehan. Sesuatu yang tidak seharusnya ada. Dan dalam dunia kultivasi, keanehan berarti rahasia. Rahasia berarti nilai.

Mereka tidak menyelamatkannya karena kebaikan. Mereka mengambilnya karena rasa ingin tahu.

Jika dia menolak? Lin Xuya akan dengan senang hati "membersihkannya" di tempat. Monster akan memakannya.

Jika dia menerima? Dia akan menjadi tawanan mereka, seekor tikus laboratorium yang menarik, sampai mereka tahu bagaimana dia melewati formasi itu.

Dalam situasi tanpa pilihan, pilih salah satu yang memberimu satu hari lagi untuk hidup.

Dengan sisa tenaga yang dia miliki, Lu Changzu mengangkat kepalanya sedikit. Dia menatap mata indah Lin Yuwen, memastikan wanita itu melihat ketakutan murni (yang memang nyata) dan kelegaan palsu (yang dia pura-pura) di wajahnya.

"To... tolong..." bisiknya, suaranya pecah karena dehidrasi dan emosi. "Te... terima kasih... Nona yang abadi..."

Senyum Lin Yuwen melebar. Teka-teki itu telah setuju untuk masuk ke dalam kandang.

"Bagus," katanya. Dia menoleh ke pamannya. "Paman Lin?"

Lin Dou mengangguk sekali. Dia bahkan tidak melihat ke arah Lu Changzu. Pria tua itu hanya melambaikan lengan jubahnya yang lebar.

Lu Changzu merasakan kekuatan tak terlihat yang lembut namun tak terbantahkan mengangkat tubuhnya dari lumpur. Dia terangkat ke udara seolah-olah dia tidak berbobot.

Lin Xuya mendengus, jelas tidak senang harus berbagi udara dengan seorang fana, tapi dia tidak berani membantah.

Pedang terbang mereka muncul kembali di bawah kaki mereka dengan desiran pelan. Lu Changzu tetap melayang di udara, dikendalikan oleh kekuatan Lin Dou, di tengah-tengah formasi mereka.

"Pegang erat-erat... dirimu," kata Lin Yuwen dengan nada geli.

Sebelum Lu Changzu bisa bertanya apa maksudnya, Lin Dou memberi isyarat.

DESIR—

Ketiga kultivator itu melesat ke langit, menembus kanopi hutan. Tubuh Lu Changzu, yang terbungkus dalam gelembung energi pria tua itu, ikut tertarik, melesat dari nol ke kecepatan yang sulit di sesuaikan oleh tubuh manusia fana dalam hitungan detik.

Sensasi akselerasi itu menghantamnya, memaksanya pingsan.

Tapi sebelum kegelapan mengambil alih kesadarannya, satu pikiran terakhir membara di benaknya.

Mereka kuat. Mereka terbang. Mereka seperti dewa.

...Dan aku adalah debu.

Aku tidak akan selamanya menjadi debu.

Bersambung...

1
EGGY ARIYA WINANDA
🔥🔥🔥🔥🔥
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!