“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh
Perjalanan kembali ke kantor berlangsung jauh lebih sunyi dari sebelumnya. Kevin menyetir tanpa bicara, rahangnya mengeras sejak insiden di restoran tadi. Sementara Davina duduk di kursi penumpang dengan tangan terlipat di dada, pandangannya menatap lurus ke depan, tetapi pikirannya masih bergolak.
Begitu mobil berhenti di basement kantor, Kevin langsung keluar dan membuka pintu untuk Davina seperti biasanya. Tapi kali ini, Davina tidak langsung turun. Ia menatap Kevin dengan ekspresi yang masih penuh campur aduk, marah, bingung, kesal, semuanya bercampur jadi satu.
“Ayo,” suara Kevin terdengar pendek.
Davina turun, tapi sebelum Kevin sempat melangkah lebih jauh menuju lift, Davina sudah menahan langkahnya.
“Bang.”
Kevin berhenti, ia menoleh perlahan. “Apa?”
Tatapan Davina tajam. “Kenapa Abang tadi kayak gitu?”
“Kaya gimana?” suara Kevin merendah, bukan lembut, tapi berat dan mengancam.
“Abang narik aku gitu. Depan orang banyak. Abang pikir aku ini apa?” Davina mengangkat dagu, suaranya bergetar menahan emosi. “Boneka? Barang? Manusia tanpa suara?”
Nafas Kevin tertahan sesaat. “Davina ....”
“Aku malu!” seru Davina lebih keras. “Abang mempermalukan aku!”
Nada Kevin memecah, tajam. “Aku bukan mau mempermalukan kamu.”
“Ya terus apa?!”
Kevin mendekat setengah langkah. “Aku cuma ....”
“Cuma apa?” potong Davina cepat, dan terdengar sinis.
Kevin langsung terdiam. Sesuatu berkedut di mata pria itu, tapi ia menahan.
Davina tersenyum getir. “Lihat? Abang bahkan nggak bisa jawab.”
Kevin mengembuskan napas kasar. “Davina, aku nggak suka kamu makan sama Shaka tanpa bilang dulu.”
Davina menatapnya tidak percaya. “Kenapa harus bilang? Abang bukan siapa-siapa aku.”
Wajah Kevin menegang. “Aku abang kamu.”
“ABANG TIRI,” koreksi Davina. “Dan Abang bukan atasan langsung aku di kantor. Abang nggak punya hak larang aku makan sama siapa pun.”
Kevin memejamkan mata sejenak, tapi Davina belum berhenti.
“Kalo Abang terus-terusan ngatur aku kayak gini, aku bisa kok minta Papa pindahin aku ke kantor cabang.” Suaranya dingin, menusuk. “Biar kita nggak kerja bareng lagi.”
Ucapan itu membuat Kevin membeku. Beberapa detik, ia bahkan tidak berkedip.
Tatapannya berubah. Bukan marah biasa. Tapi marah yang dalam, marah yang menyimpan banyak luka.
“Sejak kapan ...?" Kevin akhirnya bicara, suaranya pelan namun menahan ledakan, “Sejak kapan kamu merasa aku mengatur hidup kamu?”
Davina mendengus. “Sejak Abang narik aku depan orang banyak.”
Kevin menggigit bagian dalam pipinya, napasnya naik-turun, tapi bukan lelah, lebih ke menahan diri.
“Bukankah dulu kamu yang selalu minta perlindungan dariku?” suaranya tiba-tiba lebih berat. “Kamu lupa? Setiap kali kamu takut pulang malam, kamu telepon aku. Kalau aku nggak mau anter, kamu nggak mau pergi. Kalau ada cowok yang deketin kamu, kamu lari ke aku. Kamu lupa semua itu?”
“ITU DULU!” potong Davina cepat, keras. Sekarang matanya basah oleh amarah. “Sekarang beda. Aku sudah bukan Davina yang dulu.”
“Apa bedanya?” Kevin menatapnya tanpa berkedip.
Davina mengangkat dagu. “Sekarang aku sudah nggak butuh Abang lagi.”
Perasaan Kevin seolah ditampar. Tapi sebelum ia sempat bereaksi, Davina menambahkan:
“Aku sudah ada Shaka.”
Dan kalimat itu seperti meledakkan sesuatu dalam diri Kevin. Pria itu tiba-tiba membanting map berisi dokumen yang tadi ia bawa. Suara kerasnya bergema di basement kosong.
Davina terlonjak, tapi ia menatap balik dengan tatapan menantang.
Sementara Kevin, dia seperti seseorang yang ditarik keluar dari batas sabarnya. Napasnya semakin berat, wajahnya memerah oleh emosi yang ia tekan.
“Davina .…” Suaranya terdengar pelan dan nyaris bergetar. “Jangan sebut nama cowok itu lagi.”
“Terserah aku mau sebut siapa,” jawab Davina sambil mengambil tasnya. “Aku mau naik dulu.”
Ia berbalik. Satu langkah. Dua langkah. Tapi Kevin tetap diam. Mematung. Dan Davina menganggap itu tanda bahwa pria itu sudah menyerah.
Sayangnya, dia salah. Karena begitu ia mencapai pintu lift ....
“Davina!”
Suara Kevin berat dan pecah, dan saat Davina menoleh, Kevin sudah berjalan cepat ke arahnya.
Davina tidak sempat bereaksi ketika pria itu langsung meraih pergelangan tangannya.
“Bang! Lepasin!” seru Davina sambil mencoba menarik tangannya.
Tapi Kevin tidak mendengarkan. Dengan rahang mengeras dan emosi yang jelas tak bisa dibendung lagi, ia menarik Davina menuju mobilnya lagi.
“Bang! Apa sih?! Aku mau balik kerja!"
“No.” Kevin membuka pintu mobil, setengah mendorong Davina masuk ke dalam. “Kita belum selesai.”
“ABANG GILA?!” Davina memukul dashboard, panik. “Aku bilang lepasin!”
Tapi Kevin sudah masuk ke kursi pengemudi, mengunci pintu, dan menyalakan mesin tanpa sekalipun menatapnya.
Perjalanan kali ini lebih cepat, lebih kasar, dan lebih penuh tensi daripada yang Davina bayangkan.
“ABANG MAU KEMANA?!” teriak Davina.
“Ke tempat kita bisa ngomong tanpa gangguan,” jawab Kevin pendek.
Butuh beberapa menit sampai Davina menyadari arah mobil itu.
“Apartemen Abang?” suaranya Davina mengecil, bingung dan marah bercampur satu. Kevin tidak menjawab.
Begitu sampai, Kevin membuka pintu dan menarik Davina turun lagi, tapi kali ini lebih hati-hati, meski masih kuat.
Davina berdiri di ruang tamu apartemen Kevin yang dingin dan rapi. Napasnya terengah karena campuran emosi dan panik.
“Aku tanya sekali lagi.” Davina memelototkan mata. “Abang mau apa bawa aku ke sini?”
Kevin menatapnya. Lama. Dalam. Seperti menimbang banyak hal sekaligus.
Wajahnya masih tegang. Rahangnya masih keras. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang Davina baru sadar, menakutkan sekaligus membuat dadanya terasa aneh.
“Aku mau kamu denger,” ucap Kevin akhirnya.
“Denger apa?!”
“Denger yang selama ini aku tahan.”
Davina terdiam sejenak, bingung. “Abang ngomong apa sih?”
Kevin melangkah mendekat adik tirinya. Hal itu membuat Davina mundur setengah langkah, tapi terhenti ketika punggungnya menyentuh meja bar.
Kevin berhenti tepat di depannya. Napasnya naik turun, terdengar jelas di antara mereka.
“Davina.” Suaranya bergetar.
“Aku marah bukan karena aku mau ngatur kamu.”
Davina menelan ludah. “Terus?”
“Aku marah karena aku takut.”
Davina mengerutkan kening. “Takut kenapa?”
“Takut kehilangan kamu.”
Jantung Davina berdegup keras mendengarnya. Kevin menatapnya tanpa kedip, seolah mengungkap semuanya sekaligus.
“Aku nggak suka kamu sama Shaka.”
Davina mengembuskan napas tercengang. “Ya jelas terlihat tadi! Abang tuh ....”
“Aku nggak suka kamu sama siapa pun.”
Davina membeku. Kevin mendekat lebih jauh hingga Davina tidak bisa mundur lagi. Pria itu menundukkan kepala sedikit, menatap langsung ke matanya.
“Aku takut kamu jauh dari aku.”
Davina membuka mulut, tapi tak ada suara keluar. Lalu Kevin berkata pelan, tajam, dan sangat jujur, lebih jujur dari apa pun yang pernah ia ucapkan sebelumnya:
“Aku marah … karena aku cinta sama kamu.”
Davina langsung terpaku. Matanya membesar. Nafasnya tertahan. Waktu seolah berhenti.
“Aku mencintai kamu, Davina.” Kevin mengulangi ucapannya.
Dan Davina merasa dunia berhenti berputar , ia tidak bisa mengatakan apa pun.Tidak bisa bergerak. Tidak bisa bernapas dengan normal. Ia hanya bisa menatap Kevin dengan keterkejutan yang menyapu seluruh tubuhnya.
kalau sudah salah jangan menambah kesalahan lagi.
berani menghadapi apapun resikonya.
tega niat ibunya Kevin, Davina suruh nanggung sendiri akibatnya
semangatttt kev dg penuh tggjawab, abaikan sementara mamamu itu, yg egois🤭 aslinya ibu tiri sdh Nampak