SINOPSIS
Laura Christina telah menyimpan perasaan pada Julian Mahardika sejak mereka kuliah—sepuluh tahun yang terasa seperti selamanya. Julian, pria yang membangun tembok tinggi di sekitar hatinya setelah tragedi masa lalu, tidak pernah menyadari cinta diam-diam Laura. Ketika kehidupan membawa mereka kembali bersama dalam proyek berbahaya yang melibatkan konspirasi, pengkhianatan, dan ancaman maut, Laura harus memilih: tetap bersembunyi di balik senyumnya atau mengambil risiko kehilangan segalanya—termasuk nyawanya—untuk pria yang bahkan tidak tahu dia ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27: KONFLIK INTERNAL LAURA
Tiga hari kemudian, Laura resmi boleh pulang. Felix udah kasih izin dengan catatan harus bed rest total di rumah, kontrol rutin seminggu sekali, dan gak boleh stress.
Julian—tentu aja—udah siap dengan segala sesuatu. Dia bawa Laura pulang ke apartemen dia, bukan apartemen Laura.
"Kenapa kita ke tempat lo?" tanya Laura saat mobil melaju.
"Karena apartemen gue lebih aman, ada security ketat, dan gue bisa jaga lo lebih baik," jawab Julian sambil fokus nyetir. "Apartemen lo terlalu tinggi lantainya kalau ada emergency."
Laura mau protes tapi akhirnya diam. Karena argumen Julian masuk akal. Dan karena dia terlalu lelah untuk debat.
Apartemen Julian terasa berbeda dari terakhir kali Laura di sana—saat dia diculik dari rumah sakit. Sekarang ada sentuhan baru: bunga segar di vas, bantal-bantal empuk di sofa, bahkan ada foto Laura dan Julian—foto yang Nia ambil di rumah sakit saat Laura baru bangun dari koma—di meja samping.
"Lo—lo naruh foto kita?" tanya Laura, terkejut.
Julian tersenyum kecil, sedikit malu. "Aku pengen liat lo pas bangun pagi. Jadi aku pasang foto itu."
Hati Laura mencair sedikit. Tapi kemudian dia ingat kata-kata sendiri ke Felix—dia takut ini semua karena rasa bersalah. Dan keraguan itu kembali.
Hari-hari berikutnya jatuh ke pola yang sama: Julian bangun pagi, bikin sarapan, suapin Laura, bantuin Laura minum obat, temani Laura nonton TV, bikin makan siang, bantuin Laura ke kamar mandi, bikin makan malam. Semua dengan penuh perhatian dan kesabaran.
Tapi Laura—Laura mulai merasa tercekik. Bukan karena Julian buruk. Tapi karena semua ini terlalu sempurna. Terlalu perhatian. Terlalu—bersalah.
Malam kelima, Laura duduk di sofa sementara Julian di dapur masak sup. Nia datang berkunjung dengan buah-buahan dan gossip kantor.
"Lo kelihatan pale," komentar Nia setelah Julian balik ke dapur. "Apa yang terjadi?"
"Gak ada," jawab Laura cepat. Terlalu cepat.
Nia menatapnya dengan tatapan 'don't bullshit me'. "Laura Christina, gue kenal lo sepuluh tahun. Lo gak bisa bohong sama gue. Cerita."
Laura menarik napas dalam, lalu akhirnya ngomong dengan suara pelan supaya Julian gak dengar. "Aku—aku gak yakin dia melakukan ini karena dia cinta sama aku. Aku takut dia cuma merasa bersalah."
"Lo serius?" Nia menatapnya dengan gak percaya. "Laura, lo lihat gimana dia jaga lo? Gimana dia gak tidur beneran sampai lo pulih? Gimana dia—"
"Justru itu!" Laura memotong dengan suara yang mulai naik. "Ini terlalu sempurna, Ni! Gak ada orang yang bisa sebaik ini kalau gak karena merasa bersalah!"
Nia terdiam, lalu mendesah panjang. "Lo tau apa masalahnya?"
"Apa?"
"Lo gak percaya lo pantas dicintai sebesar ini," ujar Nia dengan lembut tapi tegas. "Sepuluh tahun lo mencintai Julian dalam diam, ngerasa lo gak cukup bagus buat dia. Dan sekarang pas dia akhirnya cinta sama lo dengan cara yang lo impikan—lo gak bisa terima karena lo masih ngerasa lo gak pantas."
Kata-kata Nia menohok tepat di hati Laura. Karena mungkin—mungkin dia benar.
"Lau," Nia memegang tangan Laura dengan erat. "Denger gue baik-baik. Julian mencintai lo. Aku lihat itu dengan jelas. Dan lo harus mulai percaya—bukan cuma sama dia, tapi sama diri lo sendiri—bahwa lo pantas dicintai seperti ini."
Laura merasakan air matanya jatuh. "Tapi gimana kalau suatu hari dia bangun dan nyadar dia salah? Gimana kalau—"
"Gak ada gimana-kalau," potong Nia tegas. "Hidup penuh dengan gak pasti. Tapi lo gak bisa hidup dalam ketakutan terus. Lo harus ambil resiko. Lo harus percaya."
Sebelum Laura bisa jawab, Julian keluar dari dapur dengan dua mangkuk sup. Dia langsung nyadar ada yang gak beres—mata Laura merah, Nia natapnya dengan tatapan protektif.
"Apa yang terjadi?" tanyanya, menaruh mangkuk sup di meja dengan hati-hati.
"Gak ada," jawab Laura cepat, menyeka air matanya. "Cuma—cuma kangen kerja aja."
Julian gak terlihat yakin, tapi dia gak desak. "Lo mau sup dulu?"
"Gue harus pulang," ujar Nia, berdiri. "Ada kerjaan besok pagi." Dia memeluk Laura dengan erat, berbisik di telinganya. "Pikirin kata-kata gue. Dan jangan sabotase kebahagian lo sendiri."
Setelah Nia pergi, Julian duduk di samping Laura dengan mangkuk sup. "Lo mau cerita apa yang bikin lo nangis?"
"Gak ada," jawab Laura, gak menatap Julian. "Aku baik-baik aja."
"Laura, lihat aku." Nada Julian lembut tapi tegas.
Laura akhirnya menatap Julian, dan yang dia lihat di mata itu bikin dadanya sesak. Kekhawatiran. Kepedulian. Dan sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang Laura takut untuk percaya.
"Kalau ada yang ganggu lo, cerita sama aku," ujar Julian dengan lembut. "Apapun itu. Kita hadapi bareng."
Dan di situlah—di moment itu—Laura merasakan sesuatu di dalamnya pecah. Semua ketakutan, semua keraguan, semua pertanyaan yang udah dia tahan selama ini meluap keluar.
"Apa lo mencintai aku?" tanya Laura tiba-tiba, suaranya bergetar. "Beneran mencintai aku? Atau lo cuma merasa bersalah karena aku nyaris mati karena lo?"
Julian terdiam, shock dengan pertanyaan tiba-tiba itu. "Laura—"
"Jawab aku, Julian!" Laura berdiri, mengabaikan pusing di kepalanya. "Apa lo mencintai aku karena lo beneran mau sama aku? Atau karena lo gak bisa hidup dengan rasa bersalah kalau lo gak jaga aku?"
"Kenapa lo tanya ini?" Julian juga berdiri, bingung dan mulai frustasi. "Aku udah bilang berkali-kali aku mencintai lo—"
"Tapi aku gak percaya!" Laura berteriak, air matanya mengalir deras sekarang. "Aku gak percaya karena ini terlalu sempurna! Karena lo terlalu baik! Karena—karena aku gak pantas dicintai sebesar ini!"
Hening. Kata-kata Laura menggantung di udara.
Julian menatapnya dengan tatapan yang penuh luka. "Lo pikir—lo pikir aku melakukan semua ini karena rasa bersalah?"
"Aku gak tau!" Laura menutupi wajahnya dengan tangan, tubuhnya gemetar. "Aku gak tau apa yang harus aku percaya! Sepuluh tahun, Julian! Sepuluh tahun aku mencintai lo dalam diam, ngerasa aku gak cukup bagus buat lo! Dan sekarang tiba-tiba lo bilang lo cinta sama aku—gimana aku bisa langsung percaya?"
Julian melangkah maju, mencoba memeluk Laura, tapi Laura mundur.
"Jangan—jangan sentuh aku sekarang," bisik Laura, suaranya hancur. "Aku—aku butuh waktu. Butuh space untuk mikir jernih."
"Laura, dengerin aku—"
"Aku gak bisa, Julian!" Laura menatapnya dengan mata yang penuh air mata. "Aku gak bisa dengerin lo sekarang karena aku terlalu bingung dengan perasaan aku sendiri! Aku—aku perlu sendirian."
Dia berjalan ke kamar tamu—kamar yang Julian siapkan buat dia—dan menutup pintu. Dari dalam, Julian bisa dengar suara tangisan Laura yang di-muffle oleh bantal.
Julian berdiri di ruang tamu, tangan mengepal dengan frustasi dan kebingungan. Dia gak ngerti. Dia udah lakuin segalanya—jaga Laura, perhatiin Laura, bilang berkali-kali dia mencintai Laura. Tapi kenapa Laura gak percaya?
Dia duduk di sofa dengan kepala di tangan, merasakan sesuatu di dadanya sakit dengan cara yang berbeda dari sakit fisik.
Ponselnya berdering. Felix.
"Bro, lo okay? Suara lo—"
"Felix," Julian memotong, suaranya serak. "Aku—aku gak ngerti apa yang salah. Aku udah lakuin segalanya tapi Laura—Laura gak percaya aku mencintai dia. Dia pikir aku cuma merasa bersalah."
Felix diam sebentar. "Dimana lo sekarang?"
"Apartemen. Laura lagi di kamar, dia—dia minta space."
"Aku ke sana. Tunggu."
Empat puluh menit kemudian, Felix tiba dengan dua kaleng bir. Mereka duduk di balkon apartemen Julian, menatap kota Jakarta yang berkelap-kelip di malam hari.
"Cerita dari awal," ujar Felix.
Dan Julian menceritakan semuanya—tentang pertanyaan Laura, tentang keraguan dia, tentang gimana dia merasa gagal total meyakinkan Laura.
Felix dengerin semua, lalu mendesah panjang. "Lo tau apa masalahnya?"
"Apa?"
"Lo terlalu fokus buktiin lo mencintai dia sampai lo lupa nanya apa yang beneran dia butuhkan," jawab Felix. "Laura bukan butuh lo jaga dia 24/7. Laura butuh lo percaya sama dia—percaya dia bisa handle dirinya sendiri, percaya dia cukup kuat."
"Tapi dia baru pulih—"
"Dan lo treat dia kayak dia fragile banget," potong Felix. "Julian, dengerin gue. Laura udah spend sepuluh tahun ngerasa dia gak cukup. Gak cukup cantik, gak cukup penting, gak cukup berharga. Dan sekarang lo—dengan semua perhatian berlebihan lo—secara gak sadar ngonfirmasi ketakutan dia. Lo bikin dia ngerasa dia lemah, butuh dijaga, gak bisa handle dirinya sendiri."
Julian terdiam, mencerna kata-kata Felix. "Jadi—jadi aku salah?"
"Lo gak salah mencintai dia," jawab Felix. "Tapi lo salah dalam cara lo ekspresiin cinta itu. Lo harus tunjukkin ke Laura bahwa lo mencintai dia bukan karena lo kasihan atau merasa bersalah. Tapi karena lo ngagumi kekuatannya, menghargai kemandirian nya, mencintai setiap bagian dari dia—termasuk bagian yang kuat dan gak butuh dilindungi."
Julian menatap kaleng bir di tangannya, pikirannya berputar. "Gimana caranya?"
"Mulai dengan ngobrol sama dia. Beneran ngobrol—dengerin apa yang dia takutin, apa yang dia butuhkan. Dan stop trying to fix everything. Kadang orang gak butuh lo benerin masalah mereka. Mereka cuma butuh lo ada di samping mereka, dengerin, dan percaya mereka bisa handle sendiri."
Felix berdiri, menepuk bahu Julian. "Dan satu lagi—kasih dia space yang dia minta. Tunjukkin lo respect keputusan dia. Itu cara pertama untuk buktiin lo gak cuma merasa bersalah, tapi beneran mencintai dia."
Setelah Felix pergi, Julian duduk sendirian di balkon sampai larut malam. Pikirannya penuh dengan kata-kata Felix, dengan suara tangisan Laura, dengan kebingungan tentang gimana cara memperbaiki ini semua.
Di kamar tamu, Laura juga belum tidur. Dia duduk di tepi tempat tidur, memeluk bantal, menatap kosong ke jendela.
Dia tau dia gak adil sama Julian. Dia tau Julian mencintai dia. Tapi ketakutan itu—ketakutan yang udah mengakar sepuluh tahun—gak bisa hilang begitu aja.
Dan sekarang, dia gak tau gimana cara memperbaiki ini. Gimana cara percaya. Gimana cara membiarkan dirinya bahagia tanpa takut semua ini akan hancur.
Malam itu, mereka berdua terjaga di ruangan yang berbeda, memikirkan orang yang sama, merasakan sakit yang sama—sakit karena cinta yang rumit, yang penuh dengan luka masa lalu dan ketakutan masa depan.