Aruna yang sedang menikmati masa kuliahnya yang santai tiba-tiba dipaksa pulang ke rumah untuk sebuah "makan malam darurat". Ia mendapati keluarganya di ambang kehancuran finansial. Ayahnya terjerat hutang pada keluarga Gavriel, sebuah klan penguasa bisnis yang kejam. Aruna "dijual" sebagai jaminan dalam bentuk pernikahan politik dengan Damian Gavriel, pria dingin yang mempesona namun manipulatif
bagaimana cara aruna mengahadapi takdirnya?..... yuk, baca selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Arsila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CEO vs Bubur Beras
Damian berdiri di tengah dapur yang kini lebih mirip medan perang daripada tempat memasak. Asap tipis mengepul dari panci stainless steel mahal yang bagian bawahnya sudah menghitam legam. Di tangan kanannya, ia memegang buku resep, sementara tangan kirinya memegang ponsel yang menampilkan video tutorial "Cara Membuat Bubur untuk Pemula".
"Ini tidak masuk akal," gumam Damian pada butiran beras yang masih keras meski airnya sudah menguap habis. "Secara matematis, jika suhu ditingkatkan dan volume air ditambah, beras ini seharusnya melunak.
Kenapa dia malah melawan?"
Elena masuk ke dapur sambil menutup hidung. "Damian, sayang... Ibu rasa kamu sedang membuat beton bangunan, bukan makanan untuk istrimu yang sedang sakit."
Damian menoleh dengan wajah frustrasi, ada noda kecap di pipi kanannya. "Ibu, aku bisa memimpin rapat dengan puluhan direktur, tapi kenapa aku tidak bisa menaklukkan karbohidrat ini?"
Elena tertawa lembut, mengambil alih spatula dari tangan putranya. "Memasak itu pakai perasaan, bukan pakai instruksi CEO. Sini, biar Ibu tunjukkan. Tapi sebagai hukumannya, kamu harus mengepel lantai ruang belakang yang sekarang penuh busa deterjen itu."
Di bawah bimbingan Elena, Damian mulai belajar hal-hal yang selama ini dianggapnya remeh. Ia belajar bahwa garam tidak boleh dimasukkan satu genggam sekaligus, dan bahwa mesin cuci memiliki takaran deterjen sendiri.
"Nah, sekarang bawa bubur ini ke atas. Ingat, jangan pasang wajah galak saat menyuapinya. Senyum sedikit, itu obat paling ampuh untuk Aruna," pesan Elena sambil menyerahkan nampan yang tertata rapi.
Damian melangkah ke kamar dengan hati-hati, seolah membawa dokumen rahasia negara yang sangat rapuh. Ia menemukan Aruna sedang berusaha duduk, bersandar pada tumpukan bantal.
"Mas... baunya tidak gosong lagi?" tanya Aruna dengan suara serak, namun ada nada jahil di sana.
"Ini buatan tim kolaborasi antara aku dan Ibu," ujar Damian jujur. Ia duduk di pinggir tempat tidur, meniup sesendok bubur dengan sangat canggung. "Buka mulutmu."
Aruna menurut. Saat bubur itu masuk ke mulutnya, matanya sedikit membelalak. "Wah... ini enak! Mas benar-benar membuatnya? Atau Mas diam-diam memesan di restoran bintang lima lewat ojek online?"
"Aku yang mengaduknya selama dua puluh menit tanpa henti. Lenganku lebih pegal daripada setelah latihan beban di gym," gerutu Damian, namun tangannya tetap telaten menyuapi Aruna.
Setelah makan, Damian membantu Aruna meminum obatnya. Ia kemudian mengambil handuk kecil yang sudah dibasahi air hangat untuk mengompres dahi istrinya.
"Mas Damian," panggil Aruna lirih. "Terima kasih ya. Aku tahu Mas paling tidak suka melakukan hal-hal 'kecil' seperti ini."
Damian terdiam sejenak, memeras handuk di tangannya. "Dulu aku berpikir bahwa kekuasaan adalah tentang seberapa banyak orang yang bisa aku perintah. Tapi hari ini aku sadar, kekuasaan yang sesungguhnya adalah saat aku bisa memastikan orang yang aku cintai merasa aman dan nyaman saat dia sedang lemah."
Aruna tersenyum, pipinya yang merah karena demam tampak semakin merona. "Mas bilang apa tadi? Orang yang Mas... apa?"
Damian berdehem, mencoba mengalihkan pandangan. "Orang yang menjadi... aset berhargaku. Jangan banyak tanya, cepat tidur."
"Halah! Mas bilang 'cintai' tadi! Aku dengar kok! Telingaku tidak sedang flu!" Aruna tertawa kecil, meskipun kemudian ia terbatuk pelan.
Damian menarik selimut hingga ke dada Aruna, lalu mengecup dahi istrinya yang panas dengan lembut. "Tidurlah, Aruna. Besok pagi, aku ingin mendengar suaramu yang berisik itu lagi. Rumah ini terlalu menyeramkan jika terlalu sunyi."
Saat Aruna mulai terlelap karena pengaruh obat, Damian tetap duduk di sampingnya, memegang tangan kecil istrinya. Si predator berdarah dingin itu kini telah sepenuhnya dijinakkan oleh seorang gadis yang hobinya makan seblak.
Damian tetap terjaga di sisi tempat tidur hingga larut malam. Ia memperhatikan setiap tarikan napas Aruna yang mulai teratur. Sesekali ia mengganti kompres di dahi istrinya, memastikan suhu tubuh gadis itu tidak melonjak kembali. Keheningan malam di mansion itu terasa begitu intim, sebuah kontras yang tajam dari kebisingan konflik kekuasaan yang biasanya menghantui hidup Damian.
Namun, ketenangan itu terusik saat fajar mulai menyingsing. Damian turun ke lantai bawah untuk mengambil segelas kopi, namun langkahnya terhenti di depan pintu utama. Melalui celah bawah pintu, terselip sebuah amplop cokelat kusam tanpa nama pengirim.
Damian membukanya dengan waspada. Di dalamnya terdapat sebuah salinan dokumen legal yang sudah menguning, disertai sebuah catatan pendek dengan tulisan yang kasar
"Pernikahan yang dibangun di atas kebohongan tidak akan pernah berdiri tegak. Periksa kembali akta pendaftaranmu, Tuan CEO."
Damian mengerutkan kening. Ia segera membawa dokumen itu ke ruang kerjanya dan memanggil pengacara pribadinya melalui telepon terenkripsi. Setelah pemeriksaan singkat selama satu jam, wajah Damian menegang.
"Ada masalah, Mas?"
Damian tersentak. Aruna berdiri di ambang pintu ruang kerja, wajahnya masih sedikit pucat namun sudah bisa berdiri tegak. Ia mengenakan piyama flanel kebesarannya dan memegang sebuah mug kosong.
"Aruna, kenapa kamu bangun? Kamu belum sepenuhnya sembuh," Damian segera menghampirinya, mencoba menutupi dokumen di atas meja.
"Aku sudah merasa lebih baik karena sup 'cinta' Mas kemarin," Aruna menyipitkan mata, menatap meja kerja Damian. "Apa itu? Surat tagihan pajak? Atau ada orang gila lain yang kirim foto editan?"
Damian menghela napas panjang. Ia tahu tidak ada gunanya berbohong pada Aruna. "Ini tentang pernikahan kita, Aruna. Dokumen pendaftaran yang diurus oleh asisten Lukas beberapa bulan lalu... ternyata cacat hukum.
Ada tanda tangan saksi yang dipalsukan dan tanggal yang tidak sinkron dengan sistem sipil. Lukas sengaja melakukannya sebagai 'tombol penghancur' terakhir jika dia gagal menguasai kita."
Aruna terdiam sejenak. Ia mengambil dokumen itu dan membacanya perlahan. "Jadi... secara hukum, aku ini bukan istrimu? Aku ini cuma... tetangga yang kebetulan numpang tidur di mansionmu?"
"Secara teknis, pernikahan kita dianggap tidak pernah ada di mata negara," suara Damian terdengar berat. "Lukas memastikan bahwa jika aku mencoba melawannya, dia bisa membuatmu kehilangan segala hak perlindungan hukum dariku. Dia ingin membuatmu menjadi 'orang asing' lagi."
Aruna menatap Damian lama, lalu tiba-tiba ia meletakkan dokumen itu dan mulai tertawa kecil. Tawa yang awalnya pelan lama-lama menjadi tawa lepas yang membuat Damian keheranan.
"Aruna? Ini masalah serius. Kamu bisa kehilangan statusmu sebagai istri pewaris Gavriel."
"Mas Damian, Mas benar-benar lucu kalau sedang panik," Aruna menghapus air mata di sudut matanya. "Apa Mas pikir aku bertahan di sini selama ini karena selembar kertas bertanda tangan saksi palsu itu? Apa Mas pikir aku melawan Clara, masuk ke saluran udara, dan hampir ditembak hanya untuk status 'Nyonya Gavriel' di KTP-ku?"
Aruna melangkah mendekat, menarik kerah kemeja Damian hingga wajah mereka sejajar. "Kertas itu mungkin bilang kita tidak sah, tapi mi instan yang kita makan berdua, seblak yang Mas coba masak, dan cara Mas menjagaku semalam... itu jauh lebih sah dari dokumen manapun di dunia ini."
Damian terpaku. Semua beban di pundaknya seolah luruh mendengar ucapan sederhana itu.
"Tapi," Aruna melanjutkan dengan senyum jahil. "Karena kita secara hukum adalah 'lajang', ini artinya Mas harus melamarku lagi. Dan kali ini, jangan pakai ancaman hutang keluarga ya! Aku ingin lamaran yang romantis, yang ada bunga-bunganya, atau minimal ada voucher makan seblak gratis seumur hidup!"
Damian tertawa, sebuah tawa lega yang memenuhi ruangan itu. Ia memeluk Aruna erat-erat. "Aku akan memberimu lebih dari sekadar bunga dan voucher, Aruna. Aku akan memastikan seluruh dunia tahu bahwa kamu adalah milikku, dengan atau tanpa izin dari sistem hukum Lukas."