“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Darrel menghela napas, menatapnya datar. “Antri virtual apaan pagi-pagi gini? Ini bukan tiket konser.”
“Tapi konsepnya sama, siapa yang udah standby duluan, dia yang dapat!” jawab Fio cepat.
Darrel hanya mengangkat alis, lalu memutar gagang pintu dengan santai. Tapi sebelum sempat masuk, Fio cepat-cepat menyelipkan tubuhnya dan menahan pintu dengan tangan.
“Nggak boleh! Aku duluan!”
Darrel menatap Fio dari atas ke bawah, lalu berkata dengan nada tenang tapi mengandung lelah,
“Kalau gitu, kita barengan aja.”
Fio spontan membulatkan mata. “Heh? Kamu ngajak aku bareng mandi? Gila kamu!”
Darrel menatapnya datar. “Aku cuma bercanda. Tapi kalau kamu serius, aku nggak nolak.”
“Woi! Aku laporin ke Bu Rania loh!” Fio menunjuknya dengan sikat gigi di tangan, wajahnya memerah.
Darrel mengangkat tangan pasrah. “Ya udah, kamu duluan. Tapi cepat. Lima menit. Aku nggak mau nunggu setengah jam cuma buat kamu dandan kayak mau ke pesta.”
“Sepuluh menit!”
“Tujuh.”
“Deal! Tapi kamu harus seduhin teh buat aku!” Fio menuding penuh kemenangan sebelum menutup pintu kamar mandi cepat-cepat.
Darrel hanya menggeleng pelan, bibirnya menahan senyum tipis. “Anak itu ributnya kayak alarm manusia... tapi anehnya, pagi jadi nggak sepi.”
Beberapa menit setelah Fio masuk ke kamar mandi, suara air mengalir terdengar samar dari balik pintu. Darrel duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya sekilas, mencoba fokus… tapi telinganya justru menangkap suara-suara kecil dari kamar mandi.
Tak lama, terdengar suara panik Fio.
“Abang Darrel!” sesikit berteriak tapi ada malu dan manja dari panggilannya.
Darrel langsung menegakkan tubuhnya. “Kenapa lagi?”
“Aku... aku lupa bawa handuk!” teriak Fio dari dalam dengan nada panik sekaligus malu.
Darrel menghela napas panjang, menatap langit-langit. “Ya ampun... baru juga kubilang lima menit, udah ada drama. Handuk kamu di mana?”
“Di atas lemari! Yang warna biru! Cepet ya! Aku kedinginan!”
Darrel berdiri malas-malasan, berjalan ke arah lemari, mengambil handuk itu, lalu berdiri di depan pintu kamar mandi.
“Nih. Aku taruh di gagang pintu. Ambil aja pelan-pelan.”
“Oke! Tapi kamu jangan ngintip ya!”
Darrel mendecak pelan. “Siapa juga yang mau ngintip kamu? Gak ada kerjaan.”
“Ih... nyebelin! Ya udah, cepet kasih!”
Darrel menjulurkan tangannya ke arah pintu, tapi saat itu kakinya menyenggol sandal Fio yang tergeletak di lantai. Ia pun tersandung, tubuhnya sedikit kehilangan keseimbangan, dan pintu kamar mandi terbuka setengah karena dorongan kakinya.
“Aaa!!” Fio menjerit kaget, hanya kepalanya yang terlihat dari balik tirai, wajahnya memerah seperti kepiting rebus. “Darreeeel!! Tutup pintunyaaa!!”
Darrel langsung mundur panik tapi wajahnya kaku, seperti tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
“Aku nggak sengaja! Kamu yang naruh sandal sembarangan!”
“Dasar kamu! Ini rumah tangga bahaya, aku trauma!”
Darrel buru-buru menutup pintu sambil menutupi wajah dengan tangan, tapi dari sela jarinya tampak wajahnya merah.
“Ya Tuhan, kenapa tiap pagi harus kayak gini...” gumamnya pelan, tapi senyum kecil tak bisa ia sembunyikan.
Di dalam kamar mandi, Fio masih mengomel dengan nada malu.
“Udah ya! Jangan dekat-dekat pintu! Nanti aku panggil Bu Rania loh!”
Darrel menggeleng, menahan tawa kecil.
“Iya, iya. Cepat mandi sana, calon ibu kos paling ribut se-kompleks.”
Tidak ada lagi suara, hanya gemerincik air dari dalam kamar mandi.
Fio keluar dari kamar mandi dengan rambut basah yang masih menetes. Ia mengenakan piyama bermotif awan, wajahnya masih merah karena insiden barusan. Di tangannya, handuk biru yang kini digenggam erat seolah menyimpan rahasia besar.
Darrel yang sedang duduk di tepi ranjang pura-pura fokus pada ponselnya, tapi matanya sempat melirik sekilas.
Dan detik itu juga — ia cepat-cepat menunduk lagi.
“Ngapain liatin?” sindir Fio sambil mengibaskan rambutnya yang basah, menatap Darrel dengan tatapan menyipit.
“Nggak liatin. Cuma... reflek, karena kamu keluar kayak badai, air ke mana-mana,” jawab Darrel datar tapi bibirnya menahan senyum.
Fio menatap lantai, lalu menatap Darrel lagi dengan ekspresi pura-pura kesal.
“Kamu tuh kalau ngomong dingin banget. Nggak takut lidah kamu beku?”
“Nggak. Aku udah kebal, serum Fio-nya belum cukup kuat.”
Fio melongo. “Wah, bisa juga bercanda sekarang, Tuan Duda! Jangan-jangan tadi pas aku jerit kamu malah ketawa ya?”
Darrel menegakkan tubuh, menatap Fio datar. “Sedikit. Karena ekspresimu mirip orang kena semprot air selang.”
“Ih! Gitu amat! Padahal aku udah malu setengah mati, loh!” Fio menepuk bantal di atas ranjang lalu melemparnya ke arah Darrel.
Darrel menangkapnya dengan mudah, tapi ujung bibirnya sedikit terangkat.
“Kamu nggak berubah ya... tetap berisik.”
“Yaa kan kalau aku diam, rumah ini kayak kuburan. Kamu nggak mau kan hidup sama arwah cerewet?”
Darrel memalingkan wajahnya sambil menahan tawa. “Astaga... tiap hari kayak gini, aku bisa gila.”
“Gila cinta? Bisa jadi,” Fio menjawab cepat sambil terkekeh, lalu buru-buru kabur ke sisi ranjangnya sendiri.
Darrel menatap punggung Fio beberapa detik, sebelum akhirnya berbisik pelan, hampir tak terdengar.
"Terima kasih sudah membuat pagi ini hidup."
Fio tak mendengar jelas, tapi saat menatap Darrel lewat cermin, ia melihat sekilas — senyum kecil di wajah dingin itu.
Dan entah kenapa, hatinya terasa hangat.
***
Pagi ini suasana rumah terasa berbeda. Udara yang biasanya dingin seperti karakter Darrel, entah kenapa kini terasa hangat. Bahkan Bu Rania sempat memandangi mereka berdua dengan tatapan curiga bercampur haru.
Fio sibuk menyendok nasi goreng buatan Bu Rania sambil mencomot telur mata sapi. “Enak banget, Bu. Aku bisa nambah lagi gak? Soalnya energi aku harus penuh, hari ini jadwal padat!” ujarnya ceria sambil tersenyum lebar.
Bu Rania menahan senyum. “Boleh aja, Nak. Tapi kamu sepertinya semakin cerah aja ya akhir-akhir ini?” godanya pelan, sambil melirik Darrel yang dari tadi makan dalam diam.
Darrel hanya menatap piringnya tanpa menanggapi, tapi ada senyum tipis yang sempat muncul di sudut bibirnya sebelum cepat-cepat ia hilangkan lagi.
Fio menelan suapan terakhirnya lalu buru-buru berdiri. “Bu, aku izin berangkat dulu, ya!”
“Lho, kok buru-buru amat?” tanya Bu Rania heran.
Fio mengambil tasnya yang tergantung di kursi, wajahnya sedikit panik. Sejak tadi ponselnya bergetar, ada notifikasi chat masuk dari seseorang.
“Gak bareng aja sama Darrel, Nak?” tanya Bu Rania lembut. “Kan sekalian satu arah.”
Fio cepat-cepat menggeleng. “Enggak, Bu. Maaf ya… ini harus segera sampai di sana.” Suaranya terdengar sedikit tergesa tapi tetap sopan.
Darrel yang sejak tadi diam, berhenti mengaduk kopinya. Tatapannya sedikit berubah. Ada sesuatu di nada Fio yang membuat dadanya terasa aneh—entah itu rasa khawatir, curiga, atau sekadar penasaran.
“Siapa yang hubungi kamu pagi-pagi begini?” tanyanya datar.
Fio menoleh, tersenyum santai. “Rahasia, Tuan Dingin. Nanti kamu malah gak fokus kerja.”
Darrel menatap tajam tapi Fio hanya mengedip jahil lalu melangkah keluar, menyalakan motor matic-nya. Suara mesinnya memecah keheningan pagi itu.
Bu Rania memperhatikan dari balik jendela. Ia tersenyum samar lalu melirik anaknya.
“Darrel, kamu sadar gak sih… rumah ini terasa lebih hidup sejak ada Fio?”
Darrel tak menjawab. Ia hanya menatap gelas kopinya yang sudah setengah habis, tapi bayangan gadis itu masih terus terpantul di pikirannya.
“Lebih hidup, ya…” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Tidak lama setelah Fio sudah pergi, Darrel juga pamit kepada Bu Rania. Bahkan kopinya saja baru di minum satu tegukan.
Darrel menyalakan mobilnya dengan wajah tanpa ekspresi, tapi pikirannya jauh dari tenang. Sejak tadi, bayangan Fio yang terburu-buru pergi terus menghantui. Ia tidak tahu kenapa perasaan tidak enak itu menempel begitu kuat.
Tanpa berpikir panjang, Darrel memutar arah setir, mengikuti jalur yang biasanya dilewati Fio menuju kampusnya.
“Ngapain juga aku ngikutin?” gumamnya pelan, berusaha menyangkal niatnya sendiri. Tapi kakinya tidak berhenti menginjak pedal gas.
Beberapa menit kemudian, mobilnya berhenti di seberang jalan kampus. Dari balik kaca gelap, matanya menatap tajam ke arah gerbang.
Dan di sanalah ia melihatnya—Fio.
Berdiri di bawah pohon flamboyan, berdampingan dengan seorang laki-laki yang mengenakan jaket almamater biru tua. Mereka tampak berbicara, cukup dekat untuk membuat dada Darrel tiba-tiba terasa sesak tanpa alasan.
Fio tampak tersenyum, dan laki-laki itu menyerahkan sesuatu—seperti map atau berkas kecil. Entah kenapa, Darrel merasa ada sesuatu yang menusuk dalam dadanya.
“Cuma teman kampus… kan?”
Bersambung