Dunia Elea jungkir-balik di saat dirinya tahu, ia adalah anak yang diculik. Menemukan keluarga aslinya yang bukan orang sembarangan, tidak mudah untuk Elea beradaptasi. Meskipun ia adalah darah keturunan dari Baskara, Elea harus membuktikan diri jika ia pantas menjadi bagian dari Baskara. Lantas bagaimana jika Elea merasa tempat itu terlalu tinggi untuk ia raih, terlalu terjal untuk ia daki.
"Lo cuma punya darah Baskara doang tapi, gue yang layak jadi bagian dari Baskara," ujar Rania lantang.
Senyum sinis terbit di bibir Elea. "Ya, udah ambil aja. Tapi, jangan nangis jika gue bakalan rebut cowo yang lo suka."
🌼🌼🌼
"Gue jadi milik lo? Cewe bego kek lo? Lo dan Rania nggak bisa disamain," cibir Saka dengan tatapan merendahkan.
Elea tersenyum kecut. "Ah, gitu kah? Kita bisa liat apakah pandangan lo akan berubah terhadap gue dan Rania, Saka!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20| Tak Rela
"Pi!" seru Elea lirih.
Guntur menarik kedua sisi bibirnya ke atas, kepalanya menggeleng sekilas. Tangan Guntur bergerak menggenggam tangan sang putri, sorot matanya tampak begitu tenang.
"Jangan khawatir," ucap Guntur, "Papi percaya sama Elea, putri Papi nggak akan berbohong. Elea jangan takut, Papi akan selalu berada di samping Elea."
Dua kali kelopak mata Elea berkedip. "Kenapa Papi mau percaya kek gitu aja, sama Elea? Bisa aja Elea berbohong. Kalo emang Elea yang dorong Rania dari tangga," gumam Elea pelan sekali.
"Kamu ini putri Papi, Elea. Meskipun selama ini kamu terus membuat ulah, kamu nggak pernah berdusta. Kalo emang Elea yang dorong, Elea akan ngomong berterus terang." Guntur menepuk-nepuk kecil punggung telapak tangan sang putri.
Guntur jauh lebih mengerti Elea di banding dengan siapa pun, Elea selalu jujur dengan perbuatannya, dan berterus terang. Guntur siap pasang badan di saat semua orang ingin menyakiti putrinya, meskipun semua orang akan menuding putrinya dengan kata-kata kasar.
Guntur tidak akan pernah membiarkan itu terjadi, selama Guntur masih bernapas. Elea putrinya tidak akan pernah bisa disakiti dengan mudah, meskipun seujung kuku.
BRAK!
Pintu kamar Elea dibuka dengan kasar, Zion tampak marah. Remaja satu ini ikut mengantarkan Rania ke rumah sakit, bersama dengan Diana, dan Saka. Zion melangkah lebar mendekati ranjang Elea, Guntur melepaskan genggaman tangannya dan langsung berdiri menghadang Zion.
"Minggir, Pi! Zion udah nggak tahan lagi sama kekejaman Elea. Dia udah nggak terkendali lagi," kata Zion murka.
"Keluar, adikmu harus istirahat," sahut Guntur tanpa mengindahkan kemarahan Zion.
Zion mendengus kasar, kenapa ayahnya ini masih saja membela Elea. Jelas sekali Elea bersalah, kali ini beruntung benturan keras di kepala Rania tidak membuat gadis itu dalam bahaya. Kalau saja Rania berada dalam bahaya, maka Zion tidak akan lagi memandang ayahnya untuk memberikan pelajaran pada Elea.
"Sampai kapan Papi ngebelain kelakuan dia, Pi? Elea udah keterlaluan. Yang dia lakuin bisa bikin nyawa Rania dalam bahaya, Papi." Zion menunjuk-nunjuk ke arah adiknya yang ada di belakang tubuh sang ayah.
Guntur menipiskan bibirnya, menghela napas berat. "Apakah putri orang lain lebih penting daripada putri Papi sendiri? Apakah dia lebih penting dibanding adikmu sendiri, Zion? Jika keadaannya di balik, adikmu yang terluka. Apakah kamu akan seemosi ini?"
Guntur paham betul bagaimana perasaan Zion, semenjak kehilangan Elea di masa lalu. Zion tidak pernah menyebut nama Elea lagi, seakan-akan ada yang dikubur. Guntur tidak mengisi Zion, karena putrinya menyayangi Zion di masa lalu. Kakak paling Elea sayangi, Elea mau berbagai apapun untuk Zion.
Bibir Zion berkerut, mulutnya terbuka. Namun, kenapa tidak ada sahutan yang keluar dari bibir Zion. Elea tersenyum sinis, Zion bahkan tidak mampu menjawab.
"Tentu aja itu akan jauh lebih baik, Pi! Karena di mata Bang Zion hanya ada Rania bukan Elea. Mau ada bukti kalo Elea nggak pernah dorong Rania sekali pun, Bang Zion akan tetap memiliki prasangka buruk. Karena apa? Sebab bersembunyi di balik kebohongan adalah hal lumrah buat Bang Zion," timpal Elea sinis, "bukankah kek gitu, Bang?"
Guntur menoleh ke belakang, mengerutkan dahinya mendengar perkataan sang putri. Zion tercekat, secara tidak langsung sang adik tengah menyingung kejadian di masa lalu.
...***...
"Elea," panggil Isyana di seberang sana.
Langkah kaki Elea berhenti mendadak, ia menoleh ke arah Isyana. Gadis dengan senyum manis itu berlarian mendekati Elea, Isyana khawatir dengan Elea. Apalagi kemarin benar-benar kacau sekali, Isyana tidak bisa menghubungi Elea.
Ada banyak sekali berita miring soal Elea, rumor-rumor buruk. Orang lain boleh tidak tahu seberapa buruknya seorang Rania tapi, tidak dengan Isyana. Gadis manis satu ini percaya dengan Elea.
"Lo, kenapa nggak balas pesan yang gue kirim, huh? Gue nungguin balasan dari lo seharian penuh tau," protes Isyana di saat ia berhenti di depan Elea.
"Lo kirim pesan ke gue?" Elea mengerutkan dahinya.
Isyana mengangguk. "Iya, gue kirim pesan ke lo. Lah, emang ponsel lo kemana? Sampek nggak tau kalo gue kirim pesan ke lo?"
Elea menepuk dahinya ponselnya disimpan sang ayah sampai hari ini pun masih di tangan sang ayah, Elea paham apa yang ditakutkan oleh sang ayah. Guntur menjaga perasaan sang putri untuk tidak melihat berita buruk yang segera ia tangani secara langsung.
"Ponsel gue ada di Bokap, dari kemarin sampai hari ini pun masih di Bokap," jawab Elea jujur.
"Ah, gitu ternyata. Bagus deh," gumam Isyana pelan.
Ada banyak sekali komentar jahat yang dituju untuk Elea, Isyana khawatir Elea membaca komentar negatif.
"Ayo, ke kelas kalo gitu. Gue anterin lo ke kelas, khusus hari ini." Isyana mengulurkan tangannya ke arah Elea.
Diam-diam senyum tipis terbit di wajah datar Elea, tangannya bergerak ingin menyambut uluran tangan Isyana. Suara deru mesin mobil menuju ke arah meraka berdua, refleks Isyana cukup cepat.
"El!" Isyana bergerak menarik pergelangan tangan Elea.
BRUK!
Keduanya terjatuh ke samping, mobil sport merah metalik itu mencicit di saat menginjak rem secara mendadak. Degup jantung keduanya bertalu-talu, beberapa siswa-siswi yang baru memasuki area gedung sekolah terbelalak melihat kejadian barusan.
Isyana melirik Elea di sampingnya, gadis itu meringis kecil di kala sikunya langsung menghantam kerikil jalanan. Elea dibantu bangkit, Isyana ikut meringis kecil. Bahunya terbentur, keduanya melirik ke arah pintu mobil yang terbuka.
Senyum menyeringai tercetak di bibir Saka, ia menatap Elea dengan sorot mata tajam.
"Oh, sorry! Gue pikir tadi nggak ada orang berdiri di sana." Saka berkata santai sekali.
Isyana berdecak. "Wah, lo-"
Elea menyentuh pergelangan tangan Isyana, ia mengeleng. Membuat laju perkara Isyana berhenti, ia menghela napas kasar. Elea melangkah mendekati Saka, orang-orang mulai berkerumun.
Tontonan menarik di pagi hari, setelah kemarin terjadinya insiden menggemparkan. Hari ini pun sama, orang-orang menilai ini adalah bentuk balas dendam dari Saka.
Kepala Elea mengangguk-angguk, menarik sebelah sisi bibirnya ke atas. Kepalanya menengadah, menatap tajam ke arah Saka.
"Ah, jadi lo nggak liat?" tanya Elea memastikan jika ia tak salah dengar.
"Yap! Gue nggak liat tuh," sahut Saka dengan pandangan mata mencemooh.
PLAK!
Pupil mata Isyana dan para siswa-siswi yang menonton melebar, Saka membeku merasa pipinya berdenyut pedih.
"Kalo lo mau nyakitin gue, pastiin dulu nggak ada orang lain di sisi gue, sialan. Tingkah kekanak-kanakan lo itu bikin Isyana ikut terluka, brengsek. Lawan lo cuma gue jadi jangan menyeret orang lain," tutur Elea tegas, kedua matanya tampak begitu tajam.
Elea membalikkan tubuhnya, melangkah mendekati Isyana. Memastikan jika temannya itu tidak terluka, Isyana mengigit bibir bawahnya. Jujur Isyana tersentuh dengan perkataan Elea, kemarahan pada Saka menguap begitu saja di udara.
Bersambung...
semangat 💪💪💪