Satu tahun penuh kebahagiaan adalah janji yang ditepati oleh pernikahan Anita dan Aidan. Rumah tangga mereka sehangat aroma tiramisu di toko kue milik Anita; manis, lembut, dan sempurna. Terlebih lagi, Anita berhasil merebut hati Kevin, putra tunggal Aidan, menjadikannya ibu sambung yang dicintai.
Namun, dunia mereka runtuh saat Kevin, 5 tahun, tewas seketika setelah menyeberang jalan.
Musibah itu merenggut segalanya.
Aidan, yang hancur karena kehilangan sisa peninggalan dari mendiang istri pertamanya, menunjuk Anita sebagai target kebencian. Suami yang dulu mencintai kini menjadi pelaku kekerasan. Pukulan fisik dan mental ia terima hampir setiap hari, tetapi luka yang paling dalam adalah ketika Anita harus berpura-pura baik-baik saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Plaster di Tangan dan Retaknya Keangkuhan
Jarum jam menunjukkan pukul 02.30 dini hari. Taksi online yang membawa Anita dari klinik Dr. Imelda berhenti di gerbang rumahnya. Perjalanan singkat itu terasa seperti berjam-jam. Anita membayar taksi, memegang tas berisi amunisi medisnya erat-erat, dan melangkah keluar.
Setiap gerakan adalah siksaan. Tubuhnya gemetar karena kedinginan, demam tinggi, dan kelelahan ekstrem. Ia harus menopang berat badannya dengan kedua kaki, memfokuskan seluruh sisa kesadarannya untuk berjalan tegak. Ia tidak boleh terlihat lemah; ia tidak boleh membuat suara.
Ia membuka kunci gerbang dengan gerakan yang sangat lambat dan hati-hati. Udara dini hari yang dingin menusuk kulitnya, membuat lukanya terasa semakin perih. Ia berhasil masuk ke halaman, menutup gerbang tanpa bunyi dentingan logam.
Langkah kaki di teras rumah adalah tantangan berikutnya. Anita melepaskan sepatu di ambang pintu, berjalan tanpa alas kaki di atas lantai marmer yang dingin, menuju kamarnya. Ia harus melewati ruang tamu, yang biasanya gelap dan sunyi pada jam segini.
"Aku harus cepat. Tidak ada yang boleh melihatku. Dia pasti sedang tidur nyenyak setelah seharian di kantor." bisik Anita dalam hati. Ketakutan akan deteksi, ditambah dengan ancaman sepsis, mendorongnya maju.
Saat mencapai ruang tamu, Anita terhenti. Lampu di ruang kerja kecil di sudut ruang tamu menyala terang. Pintu kamar utama, tempat 'dia' beristirahat, masih terbuka, tetapi ruangan itu tampak kosong.
"Dia tidak tidur."
Di meja kerja, duduklah pasangannya, tenggelam dalam laptop dan tumpukan kertas, wajahnya tegang dan lelah. Rupanya, pekerjaan mendesak atau lembur telah menahan dia di rumah. Pemandangan ini sangat tidak terduga; 'dia' jarang sekali begadang di ruang tamu.
Anita membeku. Adrenalin memompa deras. Ia baru saja lolos dari maut di meja operasi Dr. Imelda, hanya untuk tertangkap basah di rumahnya sendiri.
Ia mencoba melewati ruang tamu dengan sangat hati-hati, berjalan di sepanjang bayangan, berharap kegelapan malam dan fokus 'dia' pada pekerjaan akan menyembunyikannya.
"Mau ke mana?"
Suara berat dan dingin itu tiba-tiba memecah keheningan. Nadanya bukan marah, tetapi terkejut.
Anita terlonjak kaget. Ia berbalik perlahan, memaksakan wajahnya untuk menampilkan ekspresi yang paling netral.
'Dia' menoleh, matanya yang tajam menatap Anita dari balik meja. Jelas terlihat 'dia' kelelahan; rambutnya acak-acakan, kemejanya sedikit berantakan.
Namun, ekspresi lelah itu segera berganti menjadi keterkejutan murni.
Mata Aidan menyapu Anita:
Wajah pucat pasi: Wajah Anita seputih kertas, kontras mencolok dengan kegelapan malam.
Jalan tertatih: Gerakan Anita yang sangat lambat dan rapuh, menunjukkan rasa sakit yang nyata.
Tangan Kanan: Dan yang paling mengejutkan, di punggung tangan Anita, tepat di lipatan pergelangan tangannya, ada plester kecil yang menutupi bekas tusukan jarum infus.
Keterkejutan itu bukan berasal dari rasa iba, melainkan dari ketakutan akan konsekuensi.
Aidan melihat Anita, asetnya, budak utangnya, berada di ambang kehancuran fisik total. Jika Anita mati sekarang, itu akan menimbulkan keributan hukum, dan rencananya untuk mengontrol omset toko akan gagal total.
"Dari mana kamu?" desak Aidan, suaranya tajam, namun ada nada yang tidak biasa, sebuah kegelisahan yang tersembunyi.
Anita, yang sudah tidak memiliki energi lagi, hanya bisa berpegangan pada sandaran kursi terdekat. Ia harus menjual alibinya sekarang, sebelum rasa sakit mengalahkannya. Ia mengangkat memo pad-nya yang selalu ia bawa, dan dengan pena gemetar, ia menuliskan kebohongan yang paling meyakinkan.
[Aku kecelakaan kecil di toko. Tertusuk sesuatu yang tajam. Sangat dalam. Aku terpaksa ke klinik darurat. Baru selesai dibersihkan dan dijahit. Aku mohon, aku harus istirahat.]
Ia menunjukkan plester di tangannya bukti dari infus, yang kini ia klaim sebagai luka sayatan yang dalam.
Aidan bangkit dari kursinya, berjalan mendekat. Aura dominasi 'dia' memancar, tetapi ia tampak ragu. 'Dia' menatap lekat-lekat pada plester itu, lalu kembali ke wajah Anita yang nyaris tak berdarah.
"Kecelakaan? Jam segini?" interogasinya. "Kenapa tidak telepon? Kenapa tidak ke rumah sakit yang pantas?"
Lagi-lagi Anita langsung menulis di memo pad-nya.
[Aku tidak mau mengganggu. Aku tahu kamu sedang bekerja keras. Dan ini hanya luka kecil. Klinik yang buka 24 jam sudah cukup. Aku mohon, aku harus ke kamar sekarang. Aku lelah sekali.]
AIdan terdiam. Kebohongan Anita, meskipun mencurigakan, memenuhi kriteria yang Aidan inginkan: tidak mengganggu, dan tidak menarik perhatian publik. Yang paling penting, Aidan melihat bahwa Anita masih hidup, meski nyaris.
"Baik," akhirnya Aidan mendesis, tatapannya masih curiga. "Tapi jangan pernah pergi tanpa memberitahuku lagi. Kalau ada apa-apa, kamu harus segera beritahu aku. Aku tidak mau masalahmu menjadi masalahku."
Ini adalah semacam perhatian yang paling kejam: memastikan asetnya berfungsi.
Anita mengangguk, lalu berbalik, menggunakan dinding sebagai penyangga. Ia berhasil mencapai kamarnya. Begitu pintu tertutup, tubuhnya ambruk ke kasur. Ia segera menelan dosis pertama antibiotik dan pereda nyeri yang diberikan Imelda.
Ia menatap langit-langit kamar. Ia telah berhasil. Ia lolos dari maut, dan ia berhasil menipu 'dia' di depan mata. Kepanikan 'dia' saat melihat plester itu memberinya kekuatan baru: 'Dia' takut jika Anita mati.
[Dia takut kehilangan kendali dan uangnya. Aku harus memanfaatkan ketakutan itu.]
Anita harus bertindak seolah-olah ia benar-benar sedang sakit, tetapi tidak mati. Ia harus mengambil cuti selama dua hari penuh, sesuai perintah Imelda. Utang 60 juta itu tidak akan hilang, tetapi ia mendapatkan waktu berharga yang ia beli dengan nyawanya.
Di tengah keheningan kamar, Anita menyembunyikan sekantong pil di balik laci pakaian. Ia akan beristirahat, tetapi istirahatnya adalah bagian dari rencana strategis yang lebih besar: memulihkan diri agar bisa bekerja lagi, melunasi utangnya, dan kemudian, mati dengan martabatnya utuh.