Tak kunjung memiliki keturunan, Amira terpaksa harus merelakan Suaminya menikah lagi dengan perempuan pilihan Ibu Mertuanya.
Pernikahan Amira dan Dirga yang pada awalnya berjalan harmonis dan bahagia, hancur setelah kehadiran orang ketiga dalam rumah tangga mereka.
"Meski pun aku ingin mempertahankan rumah tangga kita, tapi tidak ada perempuan di Dunia ini yang rela berbagi Suami, karena pada kenyàtaan nya Surga yang aku miliki telah terenggut oleh perempuan lain"
Mohon dukungannya untuk karya receh saya, terimakasih 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rini Antika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 ( Surga Yang Terenggut )
Amira sebenarnya sudah tidak tahan mendengar hinaan yang secara terang-terangan dilakukan oleh Bu Meri dan Sinta, tapi dia masih mencoba menahan semuanya.
"Ma, lihat Kak Dirga. Sekarang dia sudah berani membentakku," rengek Sinta.
Air mata Sinta sudah membasahi pipi, dan isakan kecil pun terdengar.
"Sudah. Semua ini tidak akan terjadi jika tidak ada wanita sok suci dan sok ekslusif seperti dia !!" teriak Bu Meri dengan jari telunjuk yang mengarah kepada Amira.
Suasana di meja makan semakin menegangkan. Regina dan Vania tidak berani berbicara ketika mendengar pertengkaran Dirga dengan Bu Meri dan Sinta.
"Cukup Ma. Kenapa selalu Amira yang kalian salahkan?" ucap Dirga masih dengan nada tinggi.
Amira menunduk menatap ujung pakaian yang ia kenakan. Air matanya kembali luruh. Dia tidak habis pikir, kenapa hanya dirinya yang selalu dijadikan pihak bersalah.
"Aku pergi dulu Mas. Assalamu'alaikum." pamit Amira, lalu segera berlari menuju garasi tempat motornya diparkirkan.
"Amira tunggu," pekik Dirga dengan berlari mengejar Istri pertamanya tersebut.
Setelah menaiki motor, Amira merasakan sebuah tangan memegangi lengannya. Ketika menoleh, dia melihat Dirga berdiri di sebelahnya dengan tatapan memelas.
Amira menghembuskan napas lelah. Dia benar-benar merasa capek dengan semua yang terjadi dalam kehidupannya.
"Sampai kapan hal ini akan selalu terjadi, Mas? Mungkin aku masih bisa mengontrol perasaanku ketika kamu menikah lagi. Tetapi bagaimana dengan Mama dan Sinta yang tidak pernah berhenti melakukan ujaran kebencian? Apa salahku Mas? Kenapa mereka selalu membenciku?" ucap Amira dengan mata berkaca-kaca.
"Maaf sayang, maaf. Seharusnya dari dulu Mas membawa kamu pindah dari rumah ini," ucap Dirga dengan menangkup kedua pipi Amira.
"Maaf Mas, sepertinya aku butuh waktu untuk sendiri," ucap Amira dengan tatapan mata kosong.
Dirga mengusap wajahnya secara kasar. Dia tidak mau membiarkan Amira sendirian, apalagi dalam keadaan terpuruk.
"Mas mohon jangan pergi. Hari ini sudah jatah Mas menemani kamu. Tolong jangan hindari Mas lagi setelah satu minggu kita tidak bisa bersama," ucap Dirga dengan menatap lekat wajah cantik Amira.
"Ini jalan yang sudah Mas pilih sendiri. Jadi, Mas harus siap dengan konsekuensinya," ucap Amira dengan memalingkan wajahnya.
Dirga langsung mendekap erat tubuh Amira. Dia semakin merasa takut kehilangan perempuan yang sangat dicintainya tersebut.
Akhirnya pertahanan Amira pun runtuh. Dia menumpahkan tangisannya dalam pelukan Dirga.
Sejujurnya Amira juga sangat merindukan pelukan Suaminya tersebut, bahkan dia sampai tidak tau bagaimana cara mengatakannya, karena pada kenyataannya kini Dirga sudah terbagi, dan Amira tidak bisa sembarangan meminta Suaminya untuk menemani.
"Aku tidak tau apakah sanggup bertahan atau tidak Mas," racau Amira.
"Kita pasti bisa sayang. Mas janji akan selalu berusaha adil kepada kamu dan Regina," ucap Dirga dengan bersungguh-sungguh.
Saat ini Amira berada dalam posisi bertahan sakit, tapi untuk berpisah pun dia merasa sulit, karena masih ada nama Dirga yang terukir di dalam hatinya.
......................
Setelah Amira terlihat lebih baik, Dirga mengajak Amira untuk kembali masuk ke dalam rumah. Meski pun Amira merasa enggan, tapi pada akhirnya dia hanya bisa pasrah ketika Dirga menggandengnya memasuki rumah yang sudah membuatnya tersiksa seperti di dalam Neraka.
"Kita masuk dulu ya. Ada sesuatu yang harus Mas luruskan pada semuanya," ucap Dirga.
Pada saat keduanya kembali masuk ke dalam rumah, seperti biasa Sinta dan Bu Meri saat ini sedang memainkan dramanya.
"Mama dengar sendiri kan kalau Kak Dirga sudah tidak menyayangi Sinta lagi. Kak Dirga bahkan sampai menyuruh aku bekerja, bahkan dengan teganya Kak Dirga mengatakan kalau Sinta lah yang menjadi benalu dan menumpang di rumah ini."
Dirga kembali angkat suara ketika mendengar keluh kesah yang disampaikan oleh Sinta kepada Bu Meri.
"Memang sudah seharusnya kamu bekerja, supaya kamu tidak terus-terusan ikut campur masalah orang lain. Kapan kamu akan hidup mandiri jika kamu terus bergantung pada Kakak."
"Ma, pokoknya Sinta gak mau kerja. Bukannya tradisi keluarga Cakra dinata tidak memperbolehkan perempuan bekerja."
"Sudah sudah, perkataan Kakak kamu tidak usah di ambil hati. Kamu sih kalau bicara suka sembarangan. Kita itu tidak boleh menyinggung Istri kesayangannya Dirga, kalau sampai kita melakukannya, bisa-bisa kita di usir oleh Dirga dari rumah ini," ujar Bu Meri dengan nada penuh sindiran.
Dirga menghela napas panjang mendengar perkataan Bu Meri dan Sinta. Dia tidak habis pikir kenapa Ibu dan Adiknya tersebut memiliki pikiran picik seperti itu.
"Kenapa Mama dan Sinta selalu menyalahkan Amira? Selama ini Amira kurang apa? Dia tetap menghormati Mama terlepas dari apa yang telah Mama dan Sinta lakukan. Mama dan Sinta juga tidak usah bersandiwara seolah-olah jika kalian berdua menjadi korban yang tersakiti, karena sebenarnya kalian adalah pelaku," ujar Dirga yang kembali membela Istri pertamanya.
"Terus saja bela Istri kamu yang mandul itu. Demi dia bahkan kamu tega sekali berbicara seperti itu terhadap perempuan yang telah melahirkan kamu ke Dunia ini Dirga," ucap Bu Meri dengan terisak.
"Ma, Dirga tidak mau menjadi Anak durhaka, tapi sekarang Dirga tidak akan tinggal diam saja melihat kalian menyakiti Amira. Sayang, sebaiknya kita siap-siap, Mas merasa percuma meski pun berbicara sampai mulut berbusa," ujar Dirga dengan kembali menggandeng Amira menuju kamar mereka.
Bu Meri kembali angkat suara sehingga membuat Dirga dan Amira menghentikan langkahnya.
"Tunggu Dirga. Mama akan mengijinkan kamu pindah rumah, tapi dengan syarat Regina harus ikut kalian pindah. Bagaimanapun juga dia sudah menjadi Istri kamu, jadi dia harus ikut kemana pun kamu pergi," tegas Bu Meri.
Dirga terlihat berpikir, sampai akhirnya dia menyetujui syarat yang diberikan oleh Bu Meri tanpa bertanya lebih dulu pendapat Amira, apalagi sejauh ini hubungan Amira dan Regina terbilang aman. Tidak ada drama saling iri antara Istri pertama dan Istri kedua.
"Baik. Kalau begitu Dirga akan membawa kedua Istri Dirga pergi dari rumah ini," tegas Dirga, kemudian melanjutkan langkahnya menuju kamar Amira.
Setelah sampai kamar, Amira masih diam tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, sampai akhirnya Dirga bertanya kepada Istri pertamanya tersebut.
"Sayang, kenapa kamu diam saja? Apa kamu keberatan karena Mas menyetujui syarat yang di ajukan oleh Mama?" tanya Dirga.
Amira memang merasa keberatan, tapi dia tidak mungkin mengatakan semua itu kepada Dirga, apalagi Regina sudah menjadi Istri Dirga juga. Hanya saja, Amira berpikir mau pindah rumah atau tidak, semuanya akan tetap sama, karena pada kenyataannya luka hati Amira sangat sulit untuk di obati.
"Apa aku memiliki hak untuk merasa keberatan? Apalagi sekarang Regina sudah menjadi Istri Mas Dirga juga," jawab Amira.
Setelah mengucapkan hal tersebut, Amira bisa merasakan tatapan mata Dirga yang dalam seperti sedang mencari kesungguhan dari dalam diri Istri pertamanya tersebut.
"Apa sebenarnya kamu tidak setuju?"
*
*
Bersambung