Saddam dan teman-temannya pergi ke desa Lagan untuk praktek lapangan demi tugas sekolah. Namun, mereka segera menyadari bahwa desa itu dihantui oleh kekuatan gaib yang aneh dan menakutkan. Mereka harus mencari cara untuk menghadapi kekuatan gaib dan keluar dari desa itu dengan selamat. Apakah mereka dapat menemukan jalan keluar yang aman atau terjebak dalam desa itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rozh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15. Penampakan Riska
Jam dua pagi.
Saddam tersentak dari bangunnya. Hujan sudah berhenti total, namun hawa dingin karena hujan masih terasa begitu sejuk. Sambil menguap Saddam bangkit dari ranjang, meninggalkan ke tiga temannya, menuju kamar mandi sendirian.
"Tolong .... " Terdengar suara wanita pelan.
"Saddam berhenti sejenak, membaca ayat kursi, lalu menoleh ke belakang, kiri dan kanan, menajamkan pendengarannya. Tak terlihat apapun.
"Tolong saya .... " Suara itu masih terdengar begitu jelas, diulang kembali.
"Jangan ganggu saya, saya tidak pernah merusuh selama ini!" Saddam menjawab. Lalu, dia terus melangkah ke belakang, kamar mandi atau toilet melewati ruang dapur.
Di dapur tampak Roni dan Rina tidur bergelung, Saddam merasa lega, lalu masuk ke kamar mandi.
Meow! Meong! Prang! Terdengar benda jatuh begitu nyaring, membuat Saddam terkejut.
Saddam segera keluar dari dalam kamar mandi, melihat piring tergeletak di lantai, sementara Rina dan Roni sudah tak tampak lagi bergelung, ditempat semula. Saddam mengambil piring jatuh itu, meletakkan di westafel.
"Tolong saya." Lagi, dan lagi terdengar suara itu.
"Saya tidak bisa menolong, jangan ganggu saya, pergi!" usir Saddam, lalu berjalan cepat menuju kamar tanpa menoleh.
Sesampainya di kamar, dia melihat ke arah tiga temannya, mereka tampak tertidur lelap. Saddam merebahkan tubuh di ranjang, memejamkan mata. Sayangnya, baru saja terpejam dia dikagetkan dengan suara keras dari atas atap.
Entah apa yang terjadi, tapi setelah itu terdengar suara Roni dan Rina mengeong.
"Apa kita harus segera memberitahu Bu Anisa dan pergi dari desa ini saja, ya?" gumam Saddam pelan, menatap langit-langit kamar.
"Kalian tidak boleh pergi, kalian tidak bisa pergi!"
Deg! Saddam terkejut saat mendengar suara yang muncul dari jendela dan sosok perempuan yang terlihat sangat menyeramkan.
"Astaghfirullah!" Saddam terkejut. Dia membaca ayat kursi, ayat pendek, sambil memejamkan mata, terus membaca ayat-ayat yang ia hafal, sampai ketiduran dengan sendiri.
"Dam, Saddam!"
"Saddam, bangun!" Agung dan Diro membangunkan Saddam secara bergantian.
"Kecapekan kali. Ya udah, aku mandi duluan sama Agung, ntar kamu mandi setelah kami mandi sama Saddam, bangunin aja terus sampai terbangun, kita harus cepat datang sekarang, soalnya jalan yang kemarin belum selesai, setelah itu baru ke daerah Rimbo Laweh," kata Viko.
"Oke, duluan sana, biar aku bangunkan Saddam," jawab Diro.
"Dam, bangun woy!" Diro menepuk-nepuk pipi Saddam dan menggoyang tubuhnya.
Cukup lama, baru Saddam terbangun. Pas terbangun, dia lama menatap Diro, lalu menoleh ke jendela.
"Kenapa?" Diro juga menatap jendela yang sudah tersingkap, gordennya sudah di buka lebar oleh Viko tadi, sehingga cahaya mentari sudah masuk ke dalam kamar.
"Tidak apa-apa. Viko sama Agung mana?" Saddam mengucek matanya.
"Mereka mandi duluan, ayo bersiap, kita segera mandi juga. Jalan kemarin belum siap, kita harus menyelesaikan jalan bagian Rimbo Laweh juga hari ini, soalnya besok beda lagi tugasnya pas Pak Johan datang."
"Iya," sahut Saddam.
Mereka berempat sudah rapi dan berpamitan pada Nek Raisyah. Di perjalanan, mereka singgah dulu di kedai lontong untuk sarapan.
"*Uni Sita tibo-tibo maningga dek sakik paruik, lai ndak kanai putaih tu doh*? —Kakak Sita tiba-tiba saja meninggal dunia karena sakit perut, jangan-jangan terkena racun gaib!" Salah satu ibu-ibu memakai baju daster berbicara pada teman sebelahnya yang tampak berpakaian lusuh hendak ke sawah.
"*Antahlah, sabalun tu nyo mamakiak, nyo sabuik nampak Riska* — entahlah, sebelumnya, kabarnya, dia berteriak menyebut nyebut nama Riska," balas ibu disebelahnya.
"*Hah? Yo Bana? Kalera, takuik den*! —Hah, benarkah? Aduh, aku takut!" Dia melirik Saddam dan teman-temannya.
"*Capek lah makan*! —Ayo, segera selesaikan makan kamu!" Mereka makan dengan cepat, lalu beranjak pergi.
"Uni, maaf bertanya, Riska itu siapa?" tanya Saddam.
"Mmm, Riska itu anak bungsunya Tek Raisyah," jawab Uni penjual lontong itu.
"Oh."
"Iya, semua juga nggak pasti, bukan maksud nakutin kalian, tapi ya jaga-jaga diri aja lah, soalnya biasanya pemuda berumur seperti kalian ini sering kena ganggu. Moga aja kalian gak di ganggu, apalagi kamu yang paling tampan." Uni itu menatap Viko.
"Hehehe, ya udah cepat makan, gak usah dipikirkan, nanti kalian telat," lanjut penjual lontong itu.
Agung melamun saat jam istirahat, mereka sudah sampai di Rimbo Laweh, karena jalan yang kemarin sudah selesai.
"Woi, jangan melamun, ntar kesurupan!" Viko menepuk pundak Agung sambil tersenyum. "Mikirin apaan sih?" Viko duduk di samping Agung.
"Vik, kau nggak takut?" Agung menatap temannya itu.
"Takut kenapa?" Viko bertanya balik.
"Soal ... yang dikatakan Uni penjual lontong tadi ... dan juga yang dikatakan Bang Hendra. Tentang yang paling tampan." Agung menatap serius pada Viko.
Bukan hanya Agung yang menatap Viko kini, tetapi Diro juga. "Ya, kau dan Saddam tampan, dan kalian berdua juga paling berani dari kami," sahut Diro menimpali.
"Apaan sih, kalian berdua juga ganteng, kita semua tercipta ganteng sebagai laki-laki. Lagian ya, kita gak ganggu mereka, gak mungkin juga makhluk halus gangguin kita manusia, ya 'kan Dam?" Viko menatap Saddam.
Wajah Saddam tampak datar, dia duduk di samping Diro, sementara Diro duduk di sebelah kiri Agung. "Cuci tangan, jangan banyak pikiran, ntar makanan ini aku habiskan sendiri," jawab Saddam.
"Dasar anak ini!" Agung mendecih, lalu segera mencuci tangan.
Hendra tampak membawa nasi bungkusnya ke arah mereka berempat. "Aku gabung sama kalian ya!"
"Ya, silahkan Bang," jawab mereka.
Sambil makan, mereka mengobrol ringan, hingga suapan Saddam terhenti saat Hendra bertanya apakah mereka pernah melihat sosok Riska putri bungsu Nek Raisyah selama ini.
"Fotonya kami pernah lihat Bang, cantik di fotonya," jawab Diro.
"Oh, kirain pernah nampak penampakannya, kayak warga sini," balas Hendra, dan terus melanjutkan suapannya.
Saddam meneguk salivanya. "Kau nambah nggak Gung?" Saddam menatap Agung.
"Udah kenyang?" Diro yang menyahut.
"Iya, soalnya tadi makan lontong pecel sama gorengan lumayan banyak di kedai lontong," jawab Saddam.
"Gas lah kalau gitu, bagi dua untukku sama Agung," jawab Diro.
Mereka berdua membagi dua makanan Saddam yang tersisa, sementara Viko merasa aneh dengan sikap Saddam sejak tadi pagi.
"Kalian ngerokok nggak?" Hendra mengeluarkan sebungkus rokok bersama korek api.
"Enggak Bang," jawab Viko.
"Mau cobain? Nih, bakar aja," tawar Hendra.
"Beneran nih bang, tapi jangan di adukan sama Pak Johan ya?" Agung melihat ke arah Pak Johan yang jauh di sana.
"Hahaha. Aman, aku dulu seumuran kalian juga curi-curi merokoknya."
Agung dan Diro mencoba merokok diam-diam, sementara Saddam dan Viko tidak, walaupun sudah ditawarkan oleh Hendra kembali.
"Hahaha, kalian berdua anak teladan ya!" Hendra tertawa.