Bangkitnya Monster PENJARA
Kota Arcadia, Provinsi Iskoria, Thaloria.
Malam kembali menyergap kota yang ramai ini. Lampu-lampu neon berkelip, menerangi kelab malam dan bar yang mulai bergeliat menyambut para pelanggan malam. Suasana dekaden menyelimuti setiap sudut kota, menggoda mereka yang kesepian dan sombong untuk larut dalam gemerlap dunia malam.
Di distrik selatan Kota Arcadia, sebuah klub malam berukuran sedang, berdiri dengan megah. Klub ini berada di bawah naungan Geng Macan Hitam, geng dunia bawah kelas dua yang cukup disegani.
Di sebuah kamar kecil di lantai dua, seorang pelayan yang mengenakan kemeja putih, celana panjang, dan rompi merah berlari tergesa-gesa masuk. Wajahnya tampak tegang, tangannya dengan cepat membuka ikat pinggangnya.
Suara pintu terbuka dengan kasar… DOR!
"Sial… akhirnya!" gumamnya sambil mendesah panjang. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, jelas sekali dia sudah menahan rasa sakit cukup lama.
Namun, baru saja ia ingin menarik celananya kembali, tubuhnya tiba-tiba menegang. Sesuatu yang dingin dan tajam menyentuh lehernya.
Suara logam menggores kulit… SREK!
Sebagai seorang setengah gangster, dia langsung menyadari apa yang terjadi. Itu… belati!
"celos ada di kamar mana?" Suara dingin itu terdengar tajam, menusuk jantungnya lebih dalam daripada belati yang menekan lehernya.
Pelayan itu gemetar. Dia ingin berbohong, tapi sebelum kata-kata itu keluar, bilah belati bergerak sedikit…
Suara tetesan darah jatuh ke lantai… TIK! TIK! TIK!
"Ka-kamar 307… kamar 307!" suaranya bergetar ketakutan.
Seketika, sebuah hantaman keras mendarat di belakang kepalanya. Pandangannya berputar, lalu semuanya menjadi gelap.
Suara benda jatuh ke lantai… BRUK!
Sosok yang berdiri di belakangnya hanyalah seorang pemuda, tampak masih berusia tujuh belas atau delapan belas tahun. Wajahnya tampan, namun tatapannya penuh kebengisan. Cahaya dingin berkilat di matanya saat ia menjilat ujung bilah belatinya, menikmati rasa darah dingin di lidahnya.
Tanpa ragu, ia menyeret tubuh pelayan yang tak sadarkan diri ke sudut ruangan. Tangannya cekatan menanggalkan pakaian pria itu, lalu mengenakannya ke tubuhnya sendiri.
Suara kain bergesekan… SREK! SREK!
Beberapa menit kemudian, pemuda itu sudah berada di bar lantai satu.
"Tolong, lima botol German Beck!" serunya dengan suara berat.
Bartender yang berdiri di belakang meja sedikit terkejut, menatapnya dengan penuh selidik.
"Apa?"
Pelayan palsu itu terkekeh, menampilkan senyum ramah.
"Ada pelanggan di lantai tiga yang ingin memesan beberapa botol anggur berkualitas. Dia tidak mau yang terbaik, tapi yang termahal."
Bartender itu mengangguk sambil tersenyum.
"Orang kaya memang begitu. Mereka pasti memberi banyak tip."
"Semoga saja."
Bartender mengambil lima botol bir Beck dari rak terdalam dan menyerahkannya. Namun, matanya masih memperhatikan pelayan itu dengan curiga.
"Hei, kenapa kamu terlihat asing?"
Pemuda itu tertawa kecil.
"Saya pegawai baru. Hari ini hari pertama saya kerja, makanya keluar karena ada pelanggan buru-buru."
Bartender mengangguk pelan, meski dalam hatinya masih ada rasa ragu.
"Aneh… setahuku tidak ada perekrutan pelayan baru…" gumamnya.
Tanpa memperdulikan itu, pemuda tersebut sudah naik ke lantai tiga. Tidak ada seorangpun di sana. Dengan gerakan cekatan, ia mengeluarkan kantung kecil dari balik rompinya. Perlahan, ia membuka kantung itu, menampakkan bubuk putih halus di dalamnya.
Suara kertas dibuka… KREK!
Dengan hati-hati, ia menuangkan bubuk itu ke dalam botol bir satu per satu. Tangannya mengocok botol dengan perlahan agar racun tercampur sempurna.
Suara cairan bercampur… GLUK! GLUK!
Ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan detak jantungnya. Lalu, dengan senyum tipis di bibirnya, ia melangkah menuju kamar 307.
Suara ketukan pelan di pintu… TOK! TOK! TOK!
Suara kasar terdengar dari dalam.
"Siapa itu?"
Pemuda itu menundukkan kepala, menyembunyikan tatapan dinginnya.
"Pelayan, menyajikan anggur."
Suara gagang pintu berputar… KLIK!
Malam ini, Kota Arcadia akan menyaksikan sebuah pembalasan berdarah.
Suara pintu bergeser perlahan… SSSHHK!
Di ambang pintu, seorang pria kurus berambut kuning berdiri dengan tatapan waspada. Matanya menyapu tubuh pelayan yang berdiri di depannya, menatap dari atas ke bawah dengan penuh selidik.
"Kapan kita memesan bir?" tanyanya dengan nada kasar.
Dari celah pintu yang terbuka, terlihat seorang pria botak bertato duduk santai di sofa empuk, dikelilingi wanita-wanita muda yang tertawa genit. Asap rokok melayang di udara, bercampur dengan suara musik yang samar-samar terdengar dari luar.
Pelayan itu tertawa kecil, mengangkat lima botol bir di tangannya.
"Ini German Beck, pesanan dari bosku sendiri. Hehe, dia bilang ini hadiah untuk Saudara Celos."
Mata pria berambut kuning berbinar penuh antusias.
"Serius?" katanya sambil meraih salah satu botol, mendekatkannya ke hidung dan menghirup aromanya dalam-dalam. "Sial, aku belum pernah minum bir terkenal seperti ini sebelumnya."
Dengan semangat, dia berteriak ke dalam ruangan.
"Bos! Pemilik kelab ini mengirim penghormatan. Haha! Ini bir Beck dari Jerman, yang terbaik di dunia! Aku tidak menyangka kelab malam kumuh ini bisa punya stok sebagus ini."
Suasana ruangan mendadak hening. Sepuluh pria berbadan besar dan selusin wanita muda yang sebelumnya asyik dengan urusan masing-masing kini menoleh, menatap pria berambut kuning itu dengan penuh minat.
Pelayan itu mengambil kesempatan untuk masuk lebih dalam, mendekati pria botak yang disebut Saudara Celos. Ia menundukkan kepala dengan penuh hormat, menyuguhkan botol-botol bir dengan tangan terulur.
"Saudara Celos, ini titipan dari bosku. Dia bilang ini hadiah khusus untuk Anda."
Pria botak itu tertawa keras, suaranya bergema di dalam ruangan.
"Haha! Penghormatan khusus untukku? Tidak buruk, tidak buruk!" katanya sambil menepuk pahanya. "Sepertinya tamparan yang kuberikan padanya tadi malam cukup mengajarinya pelajaran. Baiklah, aku akan terima. Kau, keluar dari sini!"
Pria-pria lain tertawa, beberapa di antaranya berseru dengan nada mengejek.
"Kenapa cuma lima botol? Pemilik kelab ini pelit sekali!"
Tanpa peringatan, pria berambut kuning itu melayangkan tendangan keras ke perut pelayan.
Suara hantaman… BUGH!
Pelayan itu mundur selangkah, menahan sakit.
"Pergi dari sini! Apa yang kau lihat-lihat?" bentak pria berambut kuning itu.
Pelayan itu tersenyum kecil, mengangguk.
"Ya, saya akan segera pergi."
Dengan langkah ringan, ia berjalan keluar. Namun, begitu pintu tertutup di belakangnya…
Suara pintu tertutup pelan… KLIK!
Ekspresinya berubah drastis. Senyum tipis di wajahnya lenyap, digantikan oleh tatapan dingin penuh kebencian. Aura membunuh menyelimuti tubuhnya, begitu pekat hingga udara di sekitarnya terasa lebih dingin.
Bersandar pada dinding, ia menatap jarum jam di pergelangan tangannya yang terus berputar.
Suara detak jam… TIK… TIK… TIK…
Lima menit berlalu.
Ia menarik napas dalam-dalam, merogoh sesuatu dari balik pakaiannya…
Suara logam ditarik keluar dari sarungnya… SREK!
Sebuah belati berkilat mencerminkan cahaya redup lorong. Dengan tatapan tak tergoyahkan, ia mendorong pintu…
Suara pintu didorong tiba-tiba… BRAK!
Di dalam, ruangan yang sebelumnya dipenuhi suara tawa kini sunyi. Tubuh-tubuh besar tergeletak tak berdaya di lantai dan sofa. Mata-mata mereka terbelalak, wajah-wajah mereka pucat seperti mayat. Tangan mereka masih memegang botol bir yang kini terguling dengan cairan berbuih yang merembes ke karpet.
Racun sudah bekerja dengan sempurna.
Pelayan itu melangkah ke arah pria botak yang masih bersandar di sofa. Tubuhnya tampak bergetar samar, namun bukan karena ketakutan—melainkan karena amarah yang mendidih.
Tatapannya semakin dingin, penuh dendam yang membara.
"Selena… aku akan membalaskan dendammu."
Suara hembusan napas panjang… HAAAH…
Dengan satu gerakan cepat, belati itu menusuk dada kiri pria botak yang tertidur lelap.
Suara belati menembus daging… CROTCH!
Mata pria itu terbuka seketika, mulutnya terbuka dalam keheningan. Napasnya tersengal-sengal, tetapi sebelum suara bisa keluar, bilah belati itu sudah ditarik ke bawah dengan kejam.
Suara daging robek… SRAAKK!
Darah muncrat ke segala arah, mengotori sofa, lantai, dan dinding ruangan.
Pria botak itu menggeliat beberapa kali sebelum tubuhnya akhirnya lunglai. Namun, si pelayan belum selesai.
Tangannya masuk ke dalam rongga dada yang terbuka, jari-jarinya mencengkeram organ hangat yang masih berdetak.
Suara cairan berdarah menetes ke lantai… TIK… TIK… TIK…
Dengan sorot mata yang dingin dan tanpa emosi, ia menarik keluar jantung pria itu.
Suara organ ditarik keluar… PLUK!
Jantung itu masih berdetak lemah di tangannya. Perlahan, ia berjalan menuju dinding ruangan yang bersih, lalu menekan organ berdarah itu ke dinding yang putih. Dengan gerakan tegas, ia menuliskan satu kata dengan darah segar yang menetes.
"KEBENCIAN"
Suara darah bercipratan… SRET! SRET! SRET!
Hawa mencekam menyelimuti ruangan. Suasana berubah seperti Neraka. Pelayan itu menatap dingin tulisan berdarah itu, sebelum tertawa pelan…
Suara tawa dingin… Hh… Hh… Hh…
Sebuah tawa yang mengerikan, seolah berasal dari dasar jurang kehancuran.
Tiba-tiba, ia berbalik. Tangannya meraih belati yang tergeletak di lantai.
Suara besi digenggam erat… GLEK!
Matanya berbinar dengan cahaya haus darah.
Suara gergaji bekerja… ZZZT… ZZZT… ZZZT…!
Darah segar mengalir, membentuk sungai pekat yang melumuri lantai ruangan pribadi itu. Di tengah genangan darah, pemuda itu terus bekerja tanpa ekspresi. Dengan tangan kokoh, ia menggergaji kepala demi kepala, hingga dua belas kepala terpisah sempurna dari tubuh pemiliknya.
Satu per satu, kepala itu ia susun dengan hati-hati. Mata yang kosong menatap tanpa nyawa, bibir yang ternganga seolah ingin berteriak, tapi sunyi. Kepala-kepala itu membentuk sebuah kata besar di lantai berlumuran darah…
"KEBENCIAN"
Suara darah menetes… TIK… TIK… TIK…
Aura kematian memenuhi ruangan. Ini bukan lagi sebuah ruangan pribadi di kelab malam. Ini adalah neraka Asura yang mengerikan.
Tanpa sedikit pun emosi, pemuda itu mengeluarkan kantong plastik dari saku dalamnya. Dengan gerakan cekatan, ia mengeluarkan belati tajam dan mulai memotong jari-jari dari tubuh yang sudah tak bernyawa.
Suara daging terkoyak… SREK! SREK! SREK!
Setelah semua jari terpotong, ia memasukkannya ke dalam kantong plastik dan mengikatnya rapat. Darah masih menetes dari belati di tangannya saat ia dengan santai mengganti pakaian.
Suara kain bergesekan… SRK SRK!
Lalu, tanpa meninggalkan jejak, ia melangkah keluar dari ruangan yang kini telah berubah menjadi lautan darah.
…
Pemukiman Dekat SMA No. 2
Malam telah larut, udara dingin menyelinap di antara bangunan-bangunan tua. Pemuda itu berdiri di depan sebuah pintu kayu, mengetuk pelan.
Suara ketukan… TOK… TOK… TOK…
Tak lama kemudian, pintu terbuka, memperlihatkan sosok seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah. Ia mengernyit heran melihat pemuda tampan yang berdiri di ambang pintu.
"Siapa yang kau cari?" tanyanya lembut.
Pemuda itu tersenyum sopan, mengeluarkan sebuah kartu pelajar dan menyerahkannya.
"Bibi, selamat malam. Saya ketua kelas Reno. Ini kartu pelajar saya. Guru meminta saya untuk memberikan pelajaran tambahan kepada Reno untuk menjelang ujian akhir."
Mata wanita itu berbinar terkejut, lalu ekspresinya berubah menjadi penuh kehangatan.
"Oh, begitu? Wah, terima kasih banyak. Reno memang bandel, selalu saja membuat masalah. Saya tidak menyangka kamu masih mau repot-repot mengajarinya. Silakan masuk, duduklah sebentar. Saya akan mengambilkanmu buah."
Saat wanita itu berbalik hendak pergi, pemuda itu menahan gerakannya dengan lembut.
"Bibi, tidak usah repot-repot. Saya hanya akan di sini selama satu jam. Tolong jangan ganggu."
Wanita itu mengangguk patuh.
Pemuda itu melangkah menuju kamar yang ditunjuk, membuka pintu, lalu tersenyum tipis sebelum menutup dan menguncinya dari dalam.
Suara pintu tertutup perlahan… KLIK!
Di dalam kamar, seorang remaja tinggi kurus tengah sibuk di depan komputer, asyik bermain game. Ia tidak menoleh saat menyadari kehadiran seseorang.
"Apa lagi? Aku akan belajar setelah game ini selesai! Kau menggangguku saja!" gerutunya kesal.
Pemuda itu mendekat, tatapannya dingin.
"Reno…"
Remaja itu mengerutkan kening, akhirnya menoleh. Saat ia melihat siapa yang berdiri di belakangnya, matanya membelalak.
"Kau? Sial, kenapa kau ada di sini?! Pergi! Jangan ganggu aku!"
Pemuda itu terkekeh pelan.
"Ayo pergi sekarang."
Dalam sekejap…
Suara belati melesat… SWOOSH!
Belati tajam menebas leher Reno dalam satu gerakan cepat.
Suara daging terpotong… SRAKK!
Darah menyembur deras dari leher yang terpenggal, mengotori layar komputer, meja, bahkan dinding kamar.
Suara darah memancar… SSSHHH!
Tubuh Reno tersentak sekali, lalu jatuh ke lantai dengan suara berdebum. Kepala yang terpenggal itu menggelinding pelan, meninggalkan jejak darah yang mengerikan.
Dengan tenang, pemuda itu mengeluarkan kantong plastik lain, memasukkan kepala dan jari-jari Reno ke dalamnya. Ia berjalan ke jendela kamar—lantai dua—lalu melompat keluar ke dalam kegelapan malam.
Suara langkah menghilang di kejauhan… TAP… TAP… TAP…
…
SMA No. 2 – Area Asrama
Suasana di dalam asrama begitu santai. Empat siswa sedang duduk melingkar, asyik bermain kartu sambil bercanda. Mereka bahkan tidak menyadari seseorang telah masuk dan mengunci pintu dari dalam.
Suara pintu terkunci… KLIK!
Pemuda itu berdiri di ambang pintu, perlahan mengeluarkan belati berlumuran darah dari tasnya.
Tatapan matanya dipenuhi keganasan yang dingin.
Suara besi beradu dengan kain… SRRRT!
Langkahnya perlahan, mendekati mereka yang masih tertawa tanpa menyadari kematian telah tiba.
Suara angin malam berdesir… WHOOOOSH… WHOOOOSH…!
Di dalam asrama yang remang-remang, empat siswa masih asyik bermain kartu. Tawa mereka menggema di ruangan sempit, tak menyadari bahaya yang telah berdiri tepat di belakang mereka.
Pemuda itu melangkah mendekat, belati berlumuran darah berkilat di tangannya.
Suara langkah mendekat… TAP… TAP… TAP…
Tiba-tiba, salah satu dari mereka menoleh.
"Siapa…?"
Suara belati melesat… SWOOSH!
Terlambat! belati itu telah menembus lehernya dalam satu gerakan cepat.
Suara daging terkoyak… SRAKK!
Darah menyembur deras ke dinding, ke meja, ke wajah teman-temannya yang masih terpana dalam horor.
Suara napas tercekat… HIK! HIK! HIK!
Sebelum mereka sempat berteriak, pemuda itu sudah bergerak. Belatinya menari di udara—cepat, brutal, tanpa ampun.
Suara belati membelah udara… SWISH! SWISH! SWISH!
Dalam hitungan detik, keempat siswa itu tumbang, tubuh mereka tergeletak di lantai dengan darah mengalir membentuk genangan.
Hening.
Suara tetesan darah… TIK… TIK… TIK…
Namun, keheningan itu tak bertahan lama.
Suara jeritan melengking… AAAAAAARRGH!!!
Teriakan nyaring mengguncang seluruh gedung asrama. Suara itu begitu memilukan, memecah keheningan malam, menggema hingga ke sudut-sudut bangunan.
Para siswa lain yang ada di ruangan sebelah hanya bisa mengumpat.
"Sialan! Berisik sekali! Mau mati, hah?!"
"Diamlah, besok ada ujian!"
Beberapa orang menggeliat di tempat tidur mereka, mendengus kesal, lalu kembali memejamkan mata.
Tidak ada yang menyadari… bahwa teriakan itu bukan sekadar lelucon tengah malam.
Tidak ada yang tahu… bahwa di dalam kamar itu, empat nyawa telah direnggut dengan kejam.
Tidak ada yang membayangkan… bahwa di sekolah tempat mereka menuntut ilmu ini, seorang pembunuh berdarah dingin telah menjadikannya sebagai panggung pembantaian.
Malam terus berlanjut.
Suara angin kembali berdesir… WHOOOOSH… WHOOOOSH…!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
AXYs
Ettdah baru baca dah berdarah sekale…. 😱😱
2025-04-21
2