Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.
Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.
Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10: KESEPAKATAN "TEMAN LEVEL"
Pagi itu, langit Samarinda seolah sedang ikut berkabung. Mendung menggantung rendah, abu-abu dan berat, menutupi sinar matahari yang biasanya garang membakar aspal. Di dalam ruang rapat redaksi yang berdinding kaca, suasana jauh lebih dingin daripada AC yang disetel ke suhu terendah.
Firman duduk tegak di kursi kayu, kedua tangannya bertaut di atas meja. Di depannya, tiga orang dewan redaksi senior menatapnya dengan tatapan yang sulit dibaca antara kecewa, marah, dan kagum yang dipaksakan. Di tengah meja, sebuah tablet menampilkan cuplikan siaran langsung Firman semalam yang sudah ditonton lebih dari seratus ribu kali.
"Kamu tahu apa yang kamu lakukan, Firman?" suara Pak Hardi, pemimpin redaksi, memecah keheningan. "Kamu melompati jalur birokrasi perusahaan. Kamu melakukan investigasi mandiri dan menyebarkannya di akun pribadi. Secara kode etik internal, ini pelanggaran berat."
Firman menarik napas panjang. "Saya tahu, Pak. Tapi saya juga tahu kalau saya lewat jalur kantor, berita ini tidak akan pernah naik karena ada intervensi dari pihak luar termasuk Sarah dan orang dalam di sini."
Bagas, yang duduk di pojok ruangan, mendengus sinis. "Pembelaan yang bagus untuk seorang pria yang sedang dimabuk cinta."
Firman melirik Bagas dengan tatapan tajam. "Ini bukan soal cinta, Bagas. Ini soal fakta. Dan fakta yang saya sampaikan semalam telah menyelamatkan reputasi seseorang yang hampir dihancurkan secara sistematis."
"Tapi harga yang harus dibayar adalah posisi kamu," sela Pak Hardi. "Dewan memutuskan untuk menskors kamu selama satu bulan tanpa gaji. Dan jika ada tuntutan hukum dari pihak rumah sakit lama di Surabaya terkait pernyataan Dokter Yasmin semalam, perusahaan tidak akan bertanggung jawab. Kamu mengerti?"
"Sangat mengerti," jawab Firman tegas. Ia berdiri, merapikan kemejanya, lalu keluar dari ruangan itu tanpa menoleh lagi.
Di luar ruangan, hatinya terasa kosong. Skors satu bulan berarti ia kehilangan pendapatan utamanya. Tapi anehnya, ia tidak merasa menyesal. Ada rasa lega yang asing menyelinap di dadanya. Untuk pertama kalinya, ia menggunakan suaranya untuk membela sesuatu yang benar, bukan sekadar mengejar deadline.
Namun, langkah kakinya terhenti saat melihat notifikasi di ponselnya. Bukan dari kantor, tapi dari Yasmin.
Yasmin: Mas, bisa ketemu di halte depan RSUD? Sekarang. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan.
Hujan mulai turun perlahan saat Firman sampai di halte. Suara rintik air yang menghantam atap seng halte menciptakan irama yang monoton dan menyedihkan. Yasmin sudah ada di sana, duduk di bangku panjang dengan tas ransel kecil di sampingnya. Dia masih mengenakan kemeja yang sama dengan semalam, wajahnya tampak lebih tenang, tapi matanya menunjukkan jejak tangis yang panjang.
"Gimana di kantor?" tanya Yasmin saat Firman duduk di sampingnya, menjaga jarak sekitar tiga puluh sentimeter seperti biasanya.
"Skors satu bulan. Tapi nggak masalah, saya masih bisa fokus jadi konsultan buku sementara ini," jawab Firman, berusaha terdengar santai.
Yasmin menunduk, memainkan ujung kemejanya. "Maafkan saya, Mas. Gara-gara saya, karirmu jadi taruhannya."
"Jangan minta maaf. Saya yang memilih untuk melakukan itu," Firman menatap ke depan, ke arah jalanan yang mulai basah. "Lalu, gimana dengan kamu? Direktur sudah bicara?"
Yasmin mengangguk pelan. "Status penonaktifan saya dicabut. Video semalam membuat manajemen rumah sakit di Surabaya panik. Mereka baru saja menelepon Direktur RSUD sini. Mereka meminta maaf secara resmi dan... mereka menawarkan saya untuk kembali."
Firman merasakan jantungnya seolah berhenti berdetak sesaat. "Kembali? Ke Surabaya?"
"Iya. Mereka menawarkan posisi Kepala Unit IGD dan pembersihan nama baik secara penuh di seluruh jaringan rumah sakit mereka. Sebuah kompensasi untuk menutupi kesalahan manajemen mereka dulu," suara Yasmin terdengar datar, tanpa nada kegembiraan.
Firman mengepalkan tangannya di dalam saku jaket. Ini adalah apa yang Yasmin butuhkan. Keinginannya untuk sembuh, karirnya yang kembali cemerlang, dan pembersihan nama baik. Tapi kenapa rasanya seperti ada lubang besar yang mendadak terbuka di bawah kaki Firman?
"Kapan kamu berangkat?" tanya Firman, berusaha menjaga suaranya agar tetap stabil dan "rasional".
Yasmin menoleh, menatap Firman dengan mata yang berkaca-kaca. "Mas Firman ingin saya pergi?"
Pertanyaan itu menjebak Firman. Ingin? Tentu saja tidak. Ia ingin Yasmin tetap di sini, di Samarinda, di dekatnya. Ia ingin setiap sore bisa melihat senyum perempuan itu. Tapi ego dan traumanya berteriak lebih keras.
Jangan berharap, Firman. Kalau kamu menahannya, kamu akan bertanggung jawab atas hidupnya. Kalau kamu mencintainya, kamu akan terluka lagi.
"Ini kesempatan bagus buat karirmu, Yas. Di Surabaya, fasilitasmu lebih lengkap, masa depanmu lebih terjamin. Kamu nggak perlu lagi bersembunyi di sini," jawab Firman, suaranya terdengar dingin dan sangat logis. Seperti jurnalis yang sedang membacakan berita kematian.
Yasmin tertawa getir, air mata yang ia tahan sejak tadi akhirnya jatuh juga. "Logis sekali. Sangat khas Firmansah."
Ia menghapus air matanya dengan kasar. "Mas tahu nggak? Semalam, saat kamu memeluk saya di pinggir jalan... saya sempat berpikir kalau mungkin, hanya mungkin, saya punya alasan untuk tetap tinggal di kota yang berdebu ini. Saya pikir, saya menemukan seseorang yang bisa mengerti luka saya tanpa perlu saya jelaskan panjang lebar."
Firman terdiam. Ia merasa seperti pecundang paling besar di dunia.
"Tapi ternyata bagi Mas, saya tetaplah variabel yang harus dihitung secara rasional," lanjut Yasmin. "Mas takut, kan? Mas takut kalau saya tinggal, level hubungan kita akan naik. Mas takut kalau kita bukan lagi sekadar 'teman'."
"Yas, cinta itu nggak rasional..."
"Saya nggak minta cinta, Firman!" potong Yasmin dengan suara meninggi. "Saya cuma minta kejujuran! Kenapa sulit sekali bagi kamu untuk bilang 'Jangan pergi'?"
Firman berdiri dari bangku halte. Ia berjalan ke pinggir, membiarkan ujung sepatunya terkena tempias hujan. "Karena saya nggak bisa menjanjikan apa-apa, Yas. Saya ini orang yang sudah rusak. Saya nggak punya 'selamanya' untuk diberikan ke siapa pun. Sarah membawa semua itu pergi setahun lalu."
Yasmin ikut berdiri, ia melangkah mendekati Firman, berdiri tepat di belakang punggung pria itu. "Lalu apa arti semua yang kamu lakukan semalam? Kenapa kamu mempertaruhkan karirmu buat saya?"
Firman menoleh sedikit, menatap Yasmin dari balik bahunya. "Karena kita adalah teman. Teman yang ada di level yang sama. Sama-sama terluka, sama-sama sedang mencoba bertahan hidup. Dan bagi saya... Teman Level adalah pokoknya. Lebih dari itu, saya nggak sanggup."
Kalimat itu menggantung di udara, dingin dan tajam seperti pisau bedah. Yasmin menatap Firman lama, mencari setitik keraguan di mata pria itu, namun Firman menutupnya dengan sangat rapi di balik wajah datarnya.
"Oke," bisik Yasmin. "Teman level. Saya mengerti."
"Kalau kita melampaui level ini, Yas... kita akan mulai menuntut satu sama lain. Kita akan mulai cemburu, mulai berharap, dan akhirnya mulai menyakiti. Saya nggak mau menyakitimu. Dan saya lebih nggak mau disakiti lagi oleh siapa pun," Firman menjelaskan dengan nada yang lebih melunak, namun tetap tegas.
Yasmin menarik napas panjang, mencoba menstabilkan emosinya. "Jadi, kalau saya pergi ke Surabaya, kita tetap Teman Level?"
"Ya. Level jarak jauh. Kita tetap bisa diskusi tentang buku, tentang medis, tentang apa pun... tanpa harus ada beban perasaan," jawab Firman.
"Dan kalau saya memilih tinggal di Samarinda?" tanya Yasmin lagi, sebuah pertanyaan yang berisi harapan terakhir.
Firman terdiam cukup lama. Ia melihat bus kota mulai mendekat ke arah halte. "Kalau kamu tinggal, aturannya tetap sama. Teman Level. Jangan berharap saya akan menjemputmu tiap hari, jangan berharap saya akan membawakanmu bunga, dan jangan pernah berharap saya akan bilang 'I love you'."
Yasmin tersenyum pahit. "Aturan yang sangat kejam untuk seseorang yang baru saja menyelamatkan hidup orang lain."
Bus kota berhenti di depan mereka. Pintunya terbuka dengan suara mendesis. Yasmin mengambil tas ranselnya. Ia berdiri di anak tangga bus, menatap Firman untuk terakhir kalinya hari itu.
"Saya akan pikirkan tawaran Surabaya itu, Mas. Tapi terima kasih sudah mempertegas level kita. Sekarang saya tahu di mana saya harus berdiri," ucap Yasmin.
"Yasmin," panggil Firman sebelum pintu bus tertutup.
"Ya?"
"Hati-hati di jalan. Dan... minum air putih yang banyak. Kamu terlihat sangat pucat."
Yasmin hanya mengangguk kecil, lalu masuk ke dalam bus. Pintu tertutup, dan kendaraan besar itu melaju membelah hujan, meninggalkan Firman sendirian di halte yang sunyi.
Firman kembali duduk di bangku panjang. Ia menatap telapak tangannya. Masih ada sisa kehangatan dari tangan Yasmin semalam. Ia merasa sangat hampa. Ia memenangkan perang melawan Sarah, ia menyelamatkan Yasmin, tapi ia merasa baru saja kehilangan separuh dari nyawanya sendiri.
“Teman Level adalah pokoknya,” bisiknya pada diri sendiri, seolah-olah sedang merapalkan mantra untuk meyakinkan hatinya yang sedang menjerit kesakitan.
Ia mengambil ponselnya, menghapus draf pesan yang sempat ia tulis untuk Yasmin: “Tolong jangan pergi, saya butuh kamu.”
Ia menggantinya dengan catatan pendek di aplikasi notes-nya:
Level 1: Orang Asing.
Level 2: Teman Diskusi.
Level 3: Teman Level (Zona Aman).
Level 4: Cinta (Zona Bahaya).
Tetaplah di Level 3, Firman. Itu satu-satunya cara agar kamu tidak hancur lagi.
Namun, tanpa Firman ketahui, di dalam bus yang sedang melaju, Yasmin sedang menggenggam sebuah surat kecil yang jatuh dari saku jaket Firman saat mereka bersentuhan tadi. Sebuah catatan kecil yang Firman tulis saat ia sedang mabuk kopi di kantor semalam.
Di sana tertulis satu kalimat pendek yang tidak pernah Firman ucapkan:
"Yasmin adalah satu-satunya alasan aku masih ingin melihat matahari besok pagi."
Yasmin meremas kertas itu di dadanya. Air matanya kembali mengalir. "Kamu bohong, Firman. Kamu nggak sedingin yang kamu bilang."
Malam itu, Samarinda tetap hujan. Dan di dua sudut kota yang berbeda, dua orang yang saling membutuhkan sedang berjuang melawan ego mereka sendiri. Fase perkenalan telah usai. Level telah ditetapkan. Namun, di dunia yang penuh dengan kejutan ini, apakah level itu akan cukup kuat untuk menahan badai yang lebih besar di masa depan?
Satu minggu kemudian, Firman datang ke stasiun kereta/bandara untuk memastikan apakah Yasmin benar-benar pergi. Namun, saat ia sampai di sana, ia justru bertemu dengan Rendy yang membawa berita buruk. Rendy bilang Sarah mengalami kecelakaan hebat setelah bertengkar dengan Andre, dan di saat yang sama, Yasmin menghilang tanpa kabar bukan ke Surabaya, tapi ke suatu tempat yang tidak diketahui siapa pun. Ke manakah Yasmin pergi? Dan benarkah Sarah mengalami kecelakaan, atau itu hanya taktik terakhir untuk menarik Firman kembali?