Seorang gadis melihat sang kekasih bertukar peluh dengan sang sahabat. seketika membuat dia hancur. karena merasa di tusuk dari belakang oleh pengkhianatan sang kekasih dan sang sahabat.
maka misi balas dendam pun di mulai, sang gadis ingin mendekati ayah sang kekasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tulisan pena R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 29
"Tap- tapi, Om... Itu... Itu terlalu extreme." desis ku gugup. Pipi ku sudah terasa sangat panas. Aku tak tahu sudah semerah apa pipiku.
Astaga, ada apa dengan otakku?? Bagaimana aku malah membayangkan yang iya-iya sekarang?? Gila!!
"Keputusan tetap ada pada kamu, Aurel. Aku hanya memberikan saran. Ku pikir cara ekstrim itu yang paling cepat, paling ampuh, dan tingkat keberhasilannya paling tinggi. Arif tidak akan punya pilihan lain selain bersungguh-sungguh atas pernikahan kalian." tandas Om Jo. Om Jo lalu mengkode aku untuk turun dari mobilnya.
Eh, sudah sampai stasiun ternyata.
"Kamu tidak berpikir aku harus membukakan pintu mobil untuk kamu kan???" Dia mulai bersikap ketus lagi.
"Selama Arif belum mengkalibrasi kamu sebagai nyonyaku, Jangan harap kamu akan mendapat secuil pun rasa hormatku. Kamu ada dalam daftar teratas orang yang paling aku benci."
Aku mendengus. Astaga, tajam sekali lidahnya!!! Boleh ditampol nggak sih??
Dengan cepat kulepas sabuk pengamanku. Cih, dikira aku gila hormat apa ya?? segera kubuka pintu mobilnya. Tapi, jantungku mulai berdetak tak karuan ketika kakiku berhasil menginjak tanah. Segera ku putar tubuhku kembali menghadap ke arah Om Jo lagi.
"Om, temenin. Aku takut," rengek ku kemudian.
"Membiarkan Arif melihatku bersama kamu?? Aku belum mau mati.!!"
Dan Brakkk
Pintu mobil yang masih kupegang ditarik dan ditutup kuat oleh Om Jo. Setelah itu, Om Jo langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi meninggalkan aku sendirian di depan stasiun.
Asem memang!!!
Aku mendudukkan diriku di salah satu kursi ruang tunggu, menunggu kedatangan Om Arif.
Kasihan sebenarnya melihat Om Arif kelimpungan seperti itu. Mengetahui Aldo menyusul ku ke Bandung, tanpa pikir panjang, Om Arif langsung bergegas menuju ke Bandung. Mengabaikan pekerjaannya, termasuk meeting penting yang tadi di spil Om Jo.
Aku tidak tahu, ketakutan Apa yang sedang Om Arif rasakan sekarang?? Kemungkinan aku terluka atau kemungkinan Aldo yang terluka, entah, Om Arif lebih condong ke mana?? yang pasti, dia khawatir aku dan Aldo bertemu kan???
"Aurel!!!" Suara bariton yang menyebut namaku membuat aku terperangah.
Aku mendongak, menatap sosok yang kini ada di hadapanku. Kemeja putih yang terlihat basah.. dia mencemaskan aku kan?? Apa benar dia mencemaskan aku???
Hal yang tak kuduga Om Arif memelukku.
"Syukurlah kamu baik-baik saja." desis nya.
Aku mencengkram kuat lengannya. Hati aku menghangat merasakan kepeduliannya padaku.
"Terima kasih," ucap Om Arif menerima air mineral yang ku angsurkan.
Aku mengangguk, kembali mendudukkan diriku di kursi tunggu stasiun setelah membelikan Om Arif sebotol air mineral dingin.
"Bagaimana Om tahu Aldo mencariku ke Bandung?? Apakah Aldo menghubungi Om??" tanyaku penasaran.
Om Arif meneguk isi botol air mineral yang tadi ku angsurkan hingga berkurang lebih dari setengahnya kemudian menutup botol air itu lagi. Om Arif mengangguk.
"Iya, Aldo ngabari pas sudah masuk tol Malang. Dia putus asa, Aurel," desis Om Arif dengan nada suara rendah. Om Arif menatapku dalam.
"Maaf, Aurel. Aku tau, Aldo sudah sangat menyakiti kamu tapi..."
"Jangan lanjutkan, Om!!" Sergah ku cepat.
Om Arif tersentak. Aku segera memalingkan wajahku. Rasanya menyakitkan melihat manik legam itu menatapku seperti itu. Jelas aku tahu kalimat kelanjutan yang ingin Om Arif sampaikan.
"Maaf, Aurel, " desis Om Arif sembari memainkan botol air mineral di tangannya.
"Seandainya... seandainya hanya ada satu pilihan... Antara Aku dan Aldo...." Aku menggantungkan kalimatku, sedikit takut apa yang kuharapkan tidak akan pernah terjadi.
Om Arif terperangah, menatapku intens. Terlihat menunggu kalimat lanjutkan.
Aku menarik nafas panjang, lalu membalas tatapannya. "Seandainya hanya ada satu pilihan, Antara Aku dan Aldo untuk hidup Om. Apa aku bisa menjadi pilihan itu???" tanyaku.
"Apa Yang coba kamu katakan, Aurel?? Kamu dan Aldo sama-sama tanggung jawabku." ujar Om Arif.
Aku tersenyum miris. Seperti dugaan ku. Jawaban Arif tak sesuai harapanku.
Tangung jawab??? Lihat Om Jo, lihat lah, bagaimana mungkin kamu memberi saran seekstrem itu untuk orang yang tidak memiliki secuil rasa untukku?? Om Arif hanya menganggap ku bentuk tanggung jawabnya. Harus kah aku melemparkan diriku sedalam itu pada laki-laki yang tidak memiliki rasa sedikitpun untukku??
"Kisah ku sudah selesai dengan Aldo,Om, " tandas ku seraya kembali membuang pandanganku ke arah lain.
"Andai Aldo pun berpikiran seperti itu." desis Om Arif penuh harap.
Aku tak merespon kalimatnya.
Sepanjang perjalanan menuju ke rumah Papa, kami hanya saling diam. Kenyataan bahwa aku tidak bisa menjadi pilihan satu-satunya bagi Om Arif sungguh melukaiku. Aku sungguh berharap Om Arif bisa melihatku sekali saja dengan tatapan cinta bukan bentuk tanggung jawab. Tapi, memangnya apa yang bisa diharapkan dari seorang duda perjaka karatan ini?? Seakan dia tidak tahu bagaimana cara jatuh cinta.
'Jika benar kamu mencintainya, Kenapa tak menunjukkan cinta kamu dengan ugal-ugalan? ugal-ugalan?? '
Aku mengalihkan tatapanku dari jendela kaca di sampingku, menoleh ke arah Om Arif yang tengah sibuk menatap jalanan di depannya.
"Om pernah jatuh Cinta??" tanyaku.
Om Arif menoleh sejenak, lalu kembali fokus ke jalanan di depannya.
"Tentu saja, " Sahut nya
"Sama??" tanya ku lagi.
"Apa yang ingin kamu tahu, Aurel??" Om Arif balik bertanya.
"Mama Aldo.."
Om Arif terdiam. Dia terlihat enggan membahas itu. Aku tersenyum tipis, lalu kembali menatap pemandangan di sampingku.
"Itu hanya masa lalu," desis Om Arif.
"Baiklah," sahut ku.
Ku dengar helaan nafas panjangnya. "Dia seorang desainer yang cukup terkenal saat ini. Dulu saat kami menikah, dia masih berstatus sebagai mahasiswi semester akhir."
Hening, tak ada lagi suara.
"Maaf, Aurel." desis nya kemudian.
Aku mengangguk. Aku tahu, Om Arif tak ingin aku tahu lebih banyak dari itu.
Mobil yang dikendarai Om Arif berhenti tepat di halaman rumahku. Dari balik kaca mobil om Arif yang gelap, bisa kulihat Mama dan Papa yang semula duduk di kursi teras langsung berdiri menyongsong kami. Mereka seakan tahu aku akan datang.
"Alhamdulillah, akhirnya kalian sampai juga," seru Mama dengan matanya yang berbinar indah.
Aku melirik ke arah Om Arif. Aku yakin, Om Arif pasti sudah mengabari Mama perihal kedatanganku.
"Assalamualaikum, Ma," sapaku seraya mencium punggung tangan mama takzim.
"Wa'alaikumussalam," sahut mama dan papa, Mama pun memelukku. Papa mengulas senyumnya untukku. Ingin sekali aku menjerit saking bahagianya. Ini pertama kalinya kulihat Papa yang tersenyum menatapku Setelah malam yang menyakiti nya itu.
"Assalamualaikum, Pa, Ma," siapa Om Arif sembari mencium puncak tangan Papa dan Mama takzim.
"Wa'alaikumussalam, Rif," Papa sembari menepuk pundak Om Arif.
"Terima kasih sudah menjemput Aurel dan juga sudah mengabari kami."
Om Arif mengangguk.
ak nantika eps berikutnya
kasian om Arif 😔
Aurel Aurel kamu menyebalkan
Brravo Om Jo. semangat Aurel untuk mendapatkan hati Om Arif.