Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.
Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.
Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.
Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Getaran Terror Di Kota Sentral Raya
Darma duduk di kursi kayu di kamar belakang rumah Doni. Rokok di tangannya sudah hampir habis, asapnya melayang di udara yang pengap. Matanya terpaku pada layar televisi kecil yang bersuara lirih di sudut ruangan.
"Baru saja dikonfirmasi, Pak Jaya, mantan supervisor di perusahaan logistik Sentral Cargo, ditemukan tewas setelah melompat dari lantai empat rumah sakit. Pak Jaya sebelumnya menjadi korban penyiksaan brutal yang menyebabkan wajahnya hancur. Polisi masih menyelidiki motif di balik tindakan bunuh diri ini…"
Darma tidak bereaksi langsung. Ia hanya menatap layar dengan mata kosong, membiarkan suara berita itu menggema dalam pikirannya.
Pak Jaya akhirnya menyerah.
Satu per satu mereka akan jatuh.
Darma menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Dia tidak merasa puas. Tidak ada rasa bahagia. Tidak ada kegembiraan. Ini bukan balas dendam biasa. Ini adalah perang. Dan ini baru langkah awal.
Di dalam hatinya yang sudah mati rasa, hanya ada satu hal yang tersisa: keadilan versi Adharma.
Dia mematikan rokoknya di asbak penuh abu, lalu berdiri dan keluar dari kamar.
Doni sedang duduk di ruang tamu, menatap berita yang sama dengan ekspresi sulit ditebak. Saat melihat Darma, ia menggeleng pelan.
"Kau puas sekarang?" tanyanya datar.
Darma tidak langsung menjawab. Ia hanya mengambil jaketnya, mengenakan topeng hitamnya, lalu berjalan keluar tanpa menoleh.
Doni menghela napas panjang. "Darma…"
Tapi Darma sudah pergi.
Di ruang istirahat kantor Sentral Cargo, suasana tegang. Para karyawan berkumpul di depan televisi yang menayangkan berita kematian Pak Jaya.
"Aku masih nggak percaya… Pak Jaya bunuh diri?" bisik seorang karyawan.
"Setelah disiksa sampai wajahnya hancur, terus diceraikan istri dan ditinggalkan anaknya? Ya Tuhan…"
"Aku dengar, sebelum dia diculik, ada yang melihatnya di klub malam. Mungkin dia terlibat sesuatu yang berbahaya."
"Tapi ini jelas kerjaannya Adharma," ucap seorang pria berbadan besar.
Semua mata langsung tertuju padanya.
"Kau pikir begitu?"
"Kalian nggak lihat? Semuanya mulai sejak mayat-mayat di pelabuhan itu. Dan sekarang Pak Jaya? Ini bukan kebetulan. Ini ulah seseorang yang tahu betul siapa saja yang korup di kota ini."
Suasana semakin mencekam. Para karyawan mulai bertanya-tanya—apakah mereka juga dalam bahaya?
Di sebuah ruangan gelap, suara televisi yang melaporkan berita kematian Pak Jaya bergema.
Raden Wijaya menonton dengan ekspresi dingin. Tangannya menggenggam gelas anggur, tapi ia tidak menyesapnya. Ia hanya duduk di kursinya dengan tatapan tajam, menganalisis situasi.
"Adharma…" gumamnya pelan.
Seseorang mengetuk pintu, lalu masuk. Seorang pria berpakaian jas hitam membungkuk hormat. "Tuan Raden, situasi semakin tidak terkendali."
Raden Wijaya memutar gelas anggurnya perlahan. "Aku tahu."
"Lalu apa yang harus kita lakukan?"
Raden menatap anak buahnya dengan mata penuh ancaman. "Cari dia. Habisi dia. Tapi lakukan dengan cara yang tidak meninggalkan jejak. Aku tidak mau polisi mencium keterlibatan kita."
Pria itu mengangguk. "Kami akan segera bertindak."
Saat anak buahnya keluar, Raden menoleh lagi ke layar televisi.
Senyuman tipis terbentuk di wajahnya. "Kau mau perang, Adharma? Baik… Kita lihat siapa yang akan bertahan lebih lama."
Di sebuah kantor mewah dengan
pemandangan seluruh Kota Sentral Raya dari balik jendela kaca besar, Wali Kota Sentral Raya, Damar Kusuma, duduk di kursinya.
Di depannya, beberapa pejabat tinggi dan petinggi kepolisian duduk dengan wajah tegang.
"Pak Jaya bunuh diri setelah disiksa habis-habisan," kata seorang pejabat dengan suara gemetar. "Dan kita semua tahu siapa yang melakukannya."
"Adharma," ucap Kapolres singkat.
Wali Kota Damar Kusuma mengangkat gelas kopinya dengan tenang, menyeruput sedikit, lalu meletakkannya kembali di atas meja. "Seorang vigilante," katanya pelan. "Seorang pria yang merasa berhak menjadi hakim, juri, dan algojo di kota ini."
"Pak, ini tidak bisa dibiarkan," ujar seorang pengusaha yang ikut dalam rapat. "Dia akan terus memburu orang-orang yang terlibat dalam sistem kita!"
Damar Kusuma tersenyum kecil. "Bukankah itu menarik?"
Mereka semua menatapnya, bingung.
"Kalian panik terlalu cepat." Ia bersandar di kursinya. "Justru ini kesempatan. Jika kita bisa menangkapnya atau membunuhnya, kita bisa menjadikannya kambing hitam atas semua kekacauan yang terjadi di kota ini."
"Bagaimana maksud Bapak?" tanya Kapolres.
Damar Kusuma menatap mereka satu per satu. "Sederhana. Mulai sekarang, semua tindakan kriminal besar yang kita lakukan, kita lemparkan kesalahannya pada Adharma. Biarkan polisi memburunya, biarkan masyarakat membencinya. Saat dia semakin terkenal, semakin banyak pihak yang ingin memburunya. Pada akhirnya, dia akan jatuh… dan kita tetap tak tersentuh."
Kapolres mengangguk paham. "Saya mengerti. Saya akan segera menyebarkan informasi bahwa Adharma adalah teroris yang harus ditangkap."
Wali Kota tersenyum puas. "Bagus. Sekarang, mari kita lihat… sampai sejauh mana dia bisa bertahan."
Di luar jendela, Kota Sentral Raya tetap hidup seperti biasa. Namun di balik semua kemegahan itu, perang baru saja dimulai.