NovelToon NovelToon
JATUH CINTA PADA PENCULIKKU

JATUH CINTA PADA PENCULIKKU

Status: sedang berlangsung
Genre:Gangster / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: julius caezar

Lahir dari pasangan milyuner Amerika-Perancis, Jeane Isabelle Richmond memiliki semua yang didambakan wanita di seluruh dunia. Dikaruniai wajah cantik, tubuh yang sempurna serta kekayaan orang tuanya membuat Jeane selalu memperoleh apa yang diinginkannya dalam hidup. Tapi dia justru mendambakan cinta seorang pria yang diluar jangkauannya. Dan diluar nalarnya.
Nun jauh di sana adalah Baltasar, seorang lelaki yang kenyang dengan pergulatan hidup, pelanggar hukum, pemimpin para gangster dan penuh kekerasan namun penuh karisma. Lelaki yang bagaikan seekor singa muda yang perkasa dan menguasai belantara, telah menyandera Jeane demi memperoleh uang tebusan. Lelaki yang mau menukarkan Jeane untuk memperoleh harta.

Catatan. Cerita ini berlatar belakang tahun 1900-an dan hanya fiktif belaka. Kesamaan nama dan tempat hanya merupakan sebuah kebetulan. Demikian juga mohon dimaklumi bila ada kesalahan atau ketidaksesuaian tempat dengan keadaan yang sebenarnya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julius caezar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

EPISODE 20

Kulit pelana yang kaku itu menyebabkan gesekan dan menimbulkan rasa nyeri pada paha bagian dalam Jeane. Ah betapa inginnya dia mengistirahatkan kepalanya dengan bersandar pada pungggung Antonio yang lebar itu. Sang pemimpin berjalan di samping mereka, tegak  di atas kudanya, tanpa memperlihatkan keletihan sedikitpun, padahal Jeane yang kali ini duduk di belakang Antonio, merasakan seakan akan tulang tulangnya sudah mau copot semua.

    Jalan menanjak tajam. Jeane harus memusatkan tenaganya agar tetap berada di atas kuda dan tidak meluncur ke belakang, jatuh dari punggung kuda itu. Ia telah dibangunkan menjelang fajar dan kini mereka telah berada di kaki pegunungan pada waktu terang tanah. Rombongan itu melalui jalan pegunungan yang menanjak terus, kemudian turun melalui lembah lembah dan pintas pegunungan, lalu menanjak lagi.

    Dalam perjalanan itu, gerombolan itu seolah dipandu oleh naluri pemimpin mereka, Dan Jeane, pada saat rasa benci dan kesal mencekamnya, ia berdoa agar mereka tersesat jalan.

    "Tolong!" tiba tiba Jeane berteriak, merasa tubuhnya bergeser ke belakang, ke arah pantat kuda yang ditungganginya bersama Antonio.

    Lengan Antonio terulur ke belakang untuk menarik Jeane kembali pada posisinya di atas punggung kuda itu. Lengan itu tetap melingkari pinggang Jeane ketika kuda itu berlari ke puncak tanjakan yang tajam itu. Jeane cuma bisa bersandar pada lengan Antonio yang menahan pinggangnya. Setibanya di puncak yang sempit itu, kuda itu kembali pada kecepatan biasa lagi.

    "Tidak dapatkah kita berhenti dan beristirahat?" Jeane mencoba untuk memprotes. "Atau setidak tidaknya mengurangi kecepatan?"

    "Bertahanlah. Sebentar lagi kita akan sampai," Antonio berjanji tanpa menunjukkan simpati sedikitpun, mungkin gara gara pemberontakan Jeane semalam.

    "Sampai di mana? Neraka?" sentak Jeane.

    Rasanya seperti seabad ketika mereka memasuki semacam koridor pengunungan. Semak semak berbentuk aneh seolah bergelayut pada dinding dinding tebing yang mengelilingi para penunggang kuda itu. Kuda yang ditungganginya bersama Antonio mempercepat langkahnya, seolah olah ingin segera sampai karena merasa kandang sudah tidak jauh lagi.

    Dengan melihat ke depan melalui bahu Antonio, Jeane mencoba menangkap tempat tujuan mereka. Koridor pegunungan itu berakhir dan keluar ke suatu ngarai sempit yang seolah olah dicungkil dari dalam perut pegunungan Pyrenees. Suatu jalanan kecil tampak jelas berliku liku menuju dasar ngarai, dan mulai kelihatan gubuk gubuk pada satu sisi ngarai itu.

    Di depan salah satu dari gubuk gubuk itu, Antonio menghentikan kudanya. Ia melompat turun dari kuda dan mengulurkan lengannya untuk mengangkat Jeane dari atas kuda itu. Seperti mimpi saja, Jeane melihat para penunggang kuda yang lain juga menuju gubuk gubuk yang lain, dan samar samar terdengarlah teriakan teriakan dan sambutan dari sosok sosok tubuh yang bergegas keluar dari gubuk gubuk itu untuk menyambut para pendatang.

    Antonio membimbing Jeane masuk ke dalam gubuk itu. Tanpa minat, Jeane melihat dan memeriksa bagian dalam gubuk itu.

    Separuh ruangan dalam gubuk itu merupakan sebuah dapur primitif dan ruang untuk makan, sementara beberapa perabot kasar di sebelah sini agaknya menandakan bagian itu sebagai ruang duduk. Sebuah lubang pada dinding yang satu menadakan kamar kamar lain di sebelah sana.

    Sebuah suara yang sudah dikenal oleh Jeane berbicara di belakangnya. Ia memutar tubuh dan matanya bertemu dangn mata pemimpin gerombolan itu. Sebilah metal dingin menyelip di antara pergelangan tangan Jeane dan Antonio memotong tali itu.

    Ucapan terima kasih sudah terbentuk di bibirnya ketika Jeane teringat kata kata Antonio. Antonio cuma menjalankan perintah. Maka digerak gerakkannya jari jari tangannya yang kaku, tetapi dia bungkam seribu bahasa. Sambil memasukkan kembali pisau belatinya ke dalam sarung, Antonio beranjak menuju pintu keluar gubuk itu.

    "Mau kemana kau?" tanya Jeane sambil melempar kepala ke belakang, berusaha tidak memperlihatkan kecemasan karena akan ditinggalkan berduaan dengan pemimpin gerombolan itu.

    Antonio berhenti, berpaling dari Jeane kepada boss nya lalu kembali pada Jeane. "Aku harus mengurus kuda kuda itu."

    Antonio berjalan keluar dan pandangan mata Jeane melepaskan diri dari sepasang mata hitam berkilat kilat itu. Jeane merasa pria itu seolah dapat membaca pikirannya, maka iapun menghindar. Tulang punggungnya menggerinyang ganjil. Ia tidak heran ketika didengarnya pria itu berbicara hanya satu meter di belakangnya.

    "Senora," suatu suara rendah tapi dengan nada memerintah disertai gerak tangan seolah mempersilakan Jeane berjalan ke suatu bagian lain dari ruangan itu.

    Ternyata ada dua kamar di situ. Pria itu memberikan isyarat kepada Jeane agar masuk ke dalam kamar yang paling ujung. Jeane menyadari bahwa kamar itulah yang akan menjadi kurungannya yang baru. Kamar itu mirip sebuah sel, cuma ada sebuah ranjang kasar, meja berlaci, sebuah ember dan guci air di atasnya serta sebuah kursi. Sebuah tirai kasar bewarna oranye menghiasi jendela satu satunya dalam kamar itu.

    Juga ada sebuah cermin oval tergantung di atas meja. Jeane melihat bayangannya sendiri dalam kaca cermin itu. Dan ia terkejut. Ia tampak seperti seorang gelandangan! Wajahnya penuh debu bercampur keringat. Rambutnya kusut dilapisi berlapis lapis debu. Serape penuh debu yang masih dikenakannya membuatnya berbentuk tidak karuan.

    Secara tidak sadar, Jeane menyentuh pipinya, seolah mau meyakinkan dirinya bahwa yang dilihatnya dalam cermin itu benar benar dirinya. Ia merasakan kulit wajahnya demikian kasar. Hal itu membangkitkan kesadarannya betapa kotor badannya serta bau keringat dan bau kuda yang menempel pada kulit dan pakaiannya. Ya penampilannya saat itu tidak seperti manusia. Dengan rasa jijik, Jeane berpaling dari cermin itu.

    "Dimanakah aku bisa membersihkan diri?" tanyanya.

    Tidak ada tanda tanda bahwa pria itu mengerti pertanyaan Jeane. Jeane menghela napas tidak sabaran, sambil bertanya dalam hati bagaimana caranya ia dapat membuat pria itu mengerti.

    "Aku mau mandi. Kau mengerti?" Jeane menggunakan ke dua tangannya untuk berbicara dengan bahasa isyarat. "Cuci, mandi."

    Pria itu cuma memperhatikan gerak tangan Jeane, kemudian berjalan ke arah meja dan menuangkan air dari guci ke dalam ember. Pria itu menunjuk kepada Jeane agar menggunakan air dalam ember itu.

    "Tidak.... bukan.... bukan," Jeane menggelengkan kepalanya. "Begini senor......... siapapun namamu," Jeane ragu sejenak sebelum melanjutkan dengan mengangkat bahu.

    "Baltasar," kata pria itu. Tidak ada emosi yang tampak pada wajah jantan yang kurus itu. Juga tidak tampak apapun dalam sepasang mata hitam kelam itu.

    Jeane menatap heran pada pria itu, tidak yakin bahwa pria itu telah menyebutkan namanya. Teringat saat  Antonio tidak mau menyebutkan nama boss nya, Jeane hampir yakin bahwa itu akan menjadi rahasia abadi bagi dirinya.

    "Senor Baltasar?" Jeane mengulangi untuk meyakinkan dirinya. Tampak suatu anggukan yang hampir tidak kentara menandakan bahwa dugaannya benar. "Senor Baltasar," Jeane memulai lagi berbahasa isyarat. "Aku bukan cuma mau mencuci tanganku saja," Jeane mengulang bahasa isyarat itu. "Aku mau mandi, mencuci rambutku, pakaianku. Mandi.... kau mengerti maksudku?"

    Wajah pria itu tetap tidak menampakkan apapun. Ah, mustahil dia tidak mengerti satupun maksudnya, pikir Jeane dengan jengkel. Ia mulai bertanya tanya dalam hati, apakah pria itu memang sengaja berpura pura tidak mengerti maksudnya?

    Kembali pria itu menunjuk dengan tangannya ke arah ember berisi air itu.

    "Itu terlalu kecil..... airnya terlalu sedikit," kata Jeane dengan ketus. Lalu ia duduk di atas lantai di tengah ruangan, memperagakan seperti seseorang yang sedang mengguyur diri dengan air dalam sebuah bak mandi besar. "Aku mau mandi..... memerlukan air yang banyak. Kau mengerti maksudku?"

    Tiba tiba terdengar tawa dari pintu gubuk itu. "Apa yang sedang kau lakukan?" Antonia muncul dan tertawa geli.

    Pipi Jeane menjadi merah karena rikuh. Dengan kaku ia bangkit berdiri.

    "Maukah kau menjelaskan kepada boss mu yang cuma mengerti bahasa Spanyol ini, bahwa aku perlu mandi?" jeane berkata dengan suara sedingin es di kutub kepada Antonio.

    "Oh, kalau itu, kamar mandi cuma ada di luar rumah, di bawah langit terbuka," Jawab Antonio. Mulutnya bergerak gerak karena menahan tawa.

    "Tidak mungkin di sini tidak ada yang lebih besar dari ember sialan itu. Kau sendiri mandi di mana?" tantang Jeane. Dan ia menambahkan dengan kata kata mencemooh. "Atau, barangkali kau tidak pernah mandi?"

    Interupsi dalam bahasa Spanyol membuat Antonio tidak menjawab pertanyaan Jeane. Ke dua pria itu berbicara satu sama lain. Dengan bahasa Spanyol tentunya.

    "Di mana aku dapat mandi?" tanya Jeane mengingatkan Antonio, ketika melihat bahwa percakapan mereka telah berakhir.

    "Bano," terdengar suara rendah itu berkata.

    "Itu artinya 'mandi'," Antoio menerjemahkan.

    "Ah, akhirnya dia mengerti juga permintaanku," Jeane berkata dengan tidak sabar.

    "Tadi aku sudah bilang bahwa semua fasilitas di sini itu primitif sekali," Antonio melanjutkan. "Tapi memang ada satu sumber air yang biasa kamu gunakan untuk mandi."

    "Apakah aku juga boleh menggunakannya?" tanya Jeane dengan kaku.

    Jawaban pertanyaan Jeane itu datang dari pria bermata kelam itu. Pria itu menarik laci meja dan mengeluarkan sehelai kain kasar yang masih terlipat. Ia memberikannya kepada Jeane disertai sepotong sabun di atas kain kasar yang dimaksudkan sebagai handuk itu.

    Dengan perasaan masih kesal, Jeane menerima barang barang itu, merasa dirinya menegang ketika melihat pria itu memandang dirinya seolah olah menilai. Baltasar mempersilakan Jeane kembali ke ruangan utama, sementara ia dan Antonio menyusul dari belakang.

    Di luar, di depan gubuk, seorang pria bersandar pada sebuah tiang rumah, dengan sepucuk senapan di tangannya, dan laras menghadap ke tanah. Ketika Jeane muncul di ambang pintu, pria itu berdiri tegak, laras senapannya mengarah kepada Jeane. Ia maju selangkah menghalangi Jeane meninggalkan gubuk itu.

1
Atikah'na Anggit
kok keane...
julius: Barusan sudah diperbaiki kak. thx
julius: waduh... salah ketik. Mohon maaf ya kak? Terima kasih koreksinya, nanti segera diperbaiki 👌
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!