Widuri memilih kabur dari rumah, pergi jauh dari keluarga kakeknya yang tiba tiba menjodohkannya dengan sesosok pria yang bahkan tidak dia kenal.
Akibat perbuatannya itu sang kakek murka, tidak hanya menarik uang sakunya yang fantastis, sang kakek juga memblokir kartu kredit, mobil bahkan kartu kartu sakti penunjang hidup dan modal foya foya yang selama ini Widuri nikmati.
Akankah Widuri menyerah ataukah bersikeras pada pendiriannya yang justru membuatnya semakin terjerumus masalah??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kaa_Zee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.20
"Ok deal!" ucap Widuri tanpa berfikir dua kali. Ya kali perempuan secantik dirinya tidak bisa menemukan pria seperti yang dia mau.
Reno mengulas senyuman, lalu mengedipkan satu matanya pada Daniel yang terlihat sedih. Bukan apa, Daniel merasa kecewa padanya, semua yang dikatakan Reno tidak sesuai dengan apa yang sudah disepakati bersama sebelumnya. Dengan susah payah ia membujuk Widuri demi kebaikannya juga keamanan bersama.
"Kau tenang saja, sepupumu itu sedang dalam kondisi kalut. Kau fikir mudah mencari pria seperti Romeo di zaman sekarang? Apalagi dalam waktu dekat, dia tidak akan terkutik. Aku bahkan berani jaminkan sahamku itu." cicit Reno saat Widuri berlalu pergi.
Daniel tidak bisa berkata kata, ditatapnya pria didepan dengan seksama. "Jadi Widuri tidak punya pilihan selain menikah denganmu kan?"
Reno mengangguk dengan tangan terulur ke arah meja guna menggenggam tangan Daniel. "Dan hubungan kita akan baik-baik saja,"
Daniel menarik tangannya dan menyembunyikannya dibawah meja, dia tidak ingin semua orang di dalam cafe sadar dan mengetahui perbedaan mereka, "Bagaimana kalau dia bisa menemukannya dalam waktu yang dekat. Bukankah itu berbahaya mengingat sahammu akan hilang?"
Reno tertawa, "Tentu saja. Aku sudah memikirkan hal itu, kau fikir kakekmu yang hampir mati itu akan setuju dengan mudah. Bukankah tujuan menikahkan cucunya dengan ku itu demi kelangsungan perusahaannya. Bukan begitu?"
Daniel kembali diam, benar apa yang dikatakan kekasihnya itu. Widuri tidak mungkin bisa berkutik karena sikapnya yang keras kepala itu.
"Sudahlah, tidak usah kau fikirkan lagi. Gadis itu hanya mempersulit dirinya sendiri. Mungkin saat ini dia akan kesulitan mencari pria yang bisa dijadikan kambing hitam. Dia juga tidak punya waktu banyak, dan ujung-ujungnya mencari pria miskin yang mau melakukan apapun demi uang. Aku yakin itu!" tukas Reno kembali dengan melipat tangan. "Lagi pula, ayahku sudah tidak mau memperbaiki ini semua! Kita lihat apa yang bisa kakek dan sepupumu perbuat."
Benar saja dugaan Reno, saat ini Widuri tengah duduk disebuah kursi di taman yang ada di Rumah sakit dengan seribu macam fikiran yang berkeliaran dalam kepalanya. Taman itu cukup luas dengan berbagai macam pohon yang tumbuh subur dan juga terawat baik, membuat udara begitu segar. Tak heran hingga banyak pasien Rumah sakit yang tengah berjalan-jalan atau sekedar duduk-duduk ditemani keluarga. Namun rasanya udara disekitar Widuri terasa sempit, rongga dadanya sakit dengan nafas menyesakan.
"Sialan! Dimana aku bisa menemukan pria dengan cepat sesuai ucapanku sekaligus sesuai dengan ekspetasi kakek, membuat kakek setuju saja akan sangat sulit. Astaga... Widi, kau bodoh atau apa!?" cicitnya seraya merutuki diri.
Sementara itu, Marcel mengusap wajahnya dengan kasar saat mendengar info dari Ferdy terkait siapa yang berada di Rumah sakit, Widuri dan tentu saja pria yang dia pukul beberapa jam yang lalu. Daniel.
"Kau yakin itu Fer?"
Ferdy mengangguk, dia mendapatkan info akurat terkait hal itu. Bahkan susah payah ia membawa pria dihadapan kini untuk keluar sebelum sesuatu yang buruk terjadi.
"Itu sebabnya aku menarik Anda keluar tadi. Maaf karena aku lancang tapi aku tidak punya banyak waktu setelah tahu asal usul Widuri dan keluarga Handoko Bramajaya."
Marcel mengingat kejadian tadi, bagaimana Ferdy menariknya bak seekor kerbau yang tengah membajak di sawah, bahkan pria itu hanya meringis tanpa perlawanan saat dirinya memukuli tanpa belas kasih.
Nyatanya Widuri tidak berbohong, ia berasal dari keluarga terpandang dan juga kaya raya, bahkan keluarga Bramajaya sangat terkenal di kota ini.
Tapi bukankah penampilan Widuri sendiri yang membuat Marcel meragukan ucapannya bahkan tidak percaya sama sekali.
"Sudahlah, lebih baik kita lupakan dia!" ucap Marcel sedikit kecewa, entah apa yang Membuatnya merasakan hal itu.
Apa karena status keluarga yang setara atau mungkin kecewa karena nyatanya Widuri bukanlah sosok yang ia inginkan sebenarnya mengingat ia tahu bagaimana hidup wanita-wanita dari keluarga kaya. Mereka glamor, suka pesta dan sudah pasti hidup dengan seenak jidat karena uang dan kekuasaan.
Marcel pun menatap Ferdy iba, dia sedikit menyesal karena melampiaskan emosi pada asisten pribadinya itu.
Ferdy mengusap dahinya yang terluka, pipinya yang bengkak, bibirnya yang sobek juga tubuhnya yang sakit dibeberapa bagian.
"Apa itu sakit?"
Jelas sakit, tapi Ferdy tidak mungkin mengeluh bak seorang wanita yang lemah. Pekerjaan ini mewajibkannya untuk kuat terlebih memiliki atasan yang aneh dan tidak bisa ditebak macam Marcel.
"Pergilah ke Rumah sakit dan segera obati lukamu, kita kembali ke kota A setelah itu." kata Marcel dengan wajah kembali datar.
Pria itu membenahi kaca matanya yang retak dengan bingkai yang sudah patah sebelah. Diam-diam berbangga diri walau tetap dengan kepala tertunduk, sakit disekujur tubuh sebanding dengan usahanya yang membuahkan hasil dan merasa kalau Marcel semakin menaruh kepercayaan yang besar termasuk peduli pada dirinya saat ini.
Alih-alih pergi ke Rumah sakit dan mengambil resiko kembali bertemu Widuri maupun Daniel lagi Ferdy memilih membeli obat-obatan di apotek terdekat guna mengobati luka di wajahnya agar bisa kembali ke kota A dengan cepat.
Sementara Marcel menunggu didalam mobil, situasi ini menjadi rumit mengingat ia menyusul Widuri karena rasa penasarannya yang tinggi, juga sedikit khawatir pada gadis yang bahkan tidak memiliki uang sepeserpun itu.
Nyatanya, semua kekhawatirannya sia-sia. Marcel merasa dirinya seperti orang bodoh saat tahu apa yang sebenarnya.
"Sial...!" gumamnya menyalahkan diri sendiri.
Tak lama kemudian Ferdy memasuki mobil dengan kantong kecil ditangannya, ia menoleh pada Marcel yang tengah menyandarkan kepala disandaran jok dengan mata terpejam.
"Apa sebaiknya kita pergi ke hotel saja agar Anda bisa beristirahat?"
"Tidak perlu, obati lukamu lalu kita pergi!" jawab Marcel tanpa membuka kedua mata.
Ferdy mengangguk kecil walau atasannya sudah pasti tidak melihatnya, dengan susah payah ia segera mengolesi luka dengan obat oles anti septik dan menutupnya menggunakan plester steril.
"Sepertinya aku harus membuka pakaianku karena ada luka memar disini," lanjut Ferdy dengan kembali menoleh ke arah belakang dimana Marcel duduk seraya menunjuk bagian dadanya.
"Terserah kau saja!" jawab Marcel di posisi yang tidak berubah sedikitpun.
Jangan harap Marcel keluar dari mobil pada saat matahari terik berada di atas kepala hanya untuk menunggu Ferdy. Itu tidak akan pernah ia lakukan sekalipun Ferdy harus telanjang didepannya.
Ferdy membuka jas dan juga kemejanya malu-malu karena tidak terbiasa dan terkesan tidak sopan, tapi sesuai yang dikatakan Marcel dan juga ia tidak mungkin ke tempat lain.
"Arggghhh!" cicitnya saat mengobati bagian tubuhnya yang memar.
Marcel berdecak, mengingat Ferdy belum juga selesai. Ia membuka matanya dengan lebar.
"Kau pindah ke belakang, biar aku yang menyetir!" ucapnya dengan bangkit dan bergerak pindah ke arah depan tanpa ingin keluar dari mobil terlebih dahulu.
Sementara Ferdy kesulitan bergerak karena tubuh Marcel tinggi dan tegap. Tubuhnya sedikit terhimpit, menciut dengan kedua tangan melipat dada. Bertepatan dengan itu pintu mobil bagian kemudi terbuka lebar.
"Astaga, apa yang kalian lakukan?"
Keduanya menoleh ke arah suara, kemudian terbeliak dalam waktu bersamaan saat mengetahui siapa yang berani membuka pintu mobil sembarangan tanpa ijin seperti itu.
"Benar-benar gila, ku fikir hanya mereka yang tidak normal. Ternyata kalian juga?!"
cus lah update k. yg banyak