Denara baru saja menyelesaikan sebuah novel di sela-sela kesibukannya ketika tiba-tiba dia terikat pada sebuah sistem.
Apa? Menyelamatkan Protagonis?
Bagaimana dengan kisah tragis di awal tapi menjadi kuat di akhir?
Tidak! Aku tidak peduli dengan skrip ini!
Sebagai petugas museum, Denara tahu satu atau dua hal tentang sejarah asli di balik legenda-legenda Nusantara.
Tapi… lalu kenapa?
Dia hanya ingin bersenang-senang!
Tapi... ada apa dengan pria tampan yang sama disetiap legenda ini? Menjauhlah!!
———
Happy Reading ^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DancingCorn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah Ande-Ande Lumut (18)
Pemandangan desa menjadi sunyi. Matahari telah turun di balik bukit, meninggalkan semburat jingga di langit barat. Rumah-rumah mulai menyalakan lampu minyak, dan aroma masakan dari berbagai sudut desa terbang dibawa angin senja.
Sebagian besar penduduk telah kembali ke rumah masing-masing, bersiap untuk makan malam. Hanya beberapa orang terlihat berjalan di jalanan tanah, baru pulang dari sawah dengan tubuh berdebu dan kaki berlumpur. Mereka melangkah pelan, memikul hasil panen atau sekadar membawa cangkul di pundak.
Dari jendela dapur rumah Ibu Klenting, cahaya hangat menyala lembut. Suara kayu terbakar dan aroma ayam bakar bercampur kuah sup menyebar keluar, menggoda siapa pun yang lewat.
Ande duduk bersila di dekat meja makan, berusaha menahan sikapnya tetap santai. Namun dari gerak-geriknya, terlihat jelas bahwa dia terus menjaga postur. Kebiasaan sebagai bangsawan tak mudah hilang begitu saja, bahkan di rumah sederhana seperti ini.
Yuyu Kangkang duduk tak jauh darinya, masih mencuri pandang ke arah Ande seolah tak percaya. Sang pangeran benar-benar duduk di sini, di rumah keluarga Klenting, di hadapan hidangan rakyat jelata.
Namun ini juga ada dalam harapannya. Sebagai orang yang memerintahkan dia untuk mengikuti dan melindungi Klenting Kuning, dapat dilihat berapa besar kesukaan Pangerannya pada Klenting Kuning.
Sementara itu, Denara duduk di sisi berlawanan Ande, mengambil centong nasi dan menyendokkannya ke piring sang ibu terlebih dahulu, baru kemudian ke piringnya sendiri.
"Silakan makan. Kalau ada yang tidak sesuai selera, jangan dimakan. Aku bisa buat yang lain," ujarnya santai, tanpa pretensi, seperti biasa.
Ande memandangi meja dengan mata membesar. Ada ayam bakar pedas beraroma menggoda, sup ayam hangat, telur orak-arik keemasan, salad segar berwarna cerah, dan sepiring besar nasi pulen. Semua disusun rapi dan terlihat menggugah selera.
Ini... jauh melebihi ekspektasinya. Bahkan, ini bisa menyaingi hidangan di rumah-rumah bangsawan.
Yuyu Kangkang juga tampak kaget. Dia sempat membeku melihat meja yang penuh, namun itu tak menghentikannya untuk langsung mengambil tiga centong nasi dan menyusunnya di piringnya.
Ande, sedikit canggung, memberikan piring kosongnya ke arah Denara.
"Hm?" Denara menoleh dengan alis terangkat. "Ada apa?"
"Kamu tidak ingin mengambilkan untukku?" tanya Ande, suaranya tenang, namun ada nada harap samar di baliknya.
Denara terdiam sejenak, lalu tertawa kecil sambil menggeleng. "Aduh, jangan terlalu sopan. Ambil sendiri aja, nanti malah kelaparan."
Ande tersenyum tipis, lalu perlahan mengambil centong dan mulai menyendok nasi ke piringnya. Gerakannya tetap anggun, meski kini dibalut sedikit rasa canggung.
"Kalau begitu... izinkan aku melayani diriku sendiri," ujarnya sopan, diselingi tawa kecil.
Denara menggeleng pelan, matanya menyipit sedikit, penuh selidik. "Kamu sopan sekali. Seperti... bangsawan saja."
Tubuh Ande menegang sesaat. "Mana mungkin. Mungkin karena... pamanku dulu pernah jadi pelayan keluarga bangsawan. Jadi aku kebawa caranya tanpa sadar."
"Oh, begitu." Denara mengangguk paham. "Ngomong-ngomong, kamu tinggal sendirian di desa?"
Ande mengangguk. "Iya."
"Terus, kamu makan apa tiap hari?"
"Aku biasanya beli, atau minta orang lain memasak untukku."
Denara memutar matanya. "Oh... jadi kamu nggak bisa masak."
Ande hanya mengangguk kecil, sedikit malu.
"Kalau begitu, datang aja ke sini. Aku sama ibuku biasa gantian masak. Tapi jujur aja, masakan Ibu lebih enak," katanya sambil terkikik.
Ande terdiam. Telinganya perlahan memerah. "Aku rasa... itu tidak pantas."
Denara terdiam. Wajahnya yang tadi santai kini mulai bersemu merah. Dia menyadari, mereka hanyalah dua orang asing, pria dan wanita yang masih lajang. Mereka bahkan baru bertemu hari ini.
Keheningan sesaat terasa menggantung di udara.
Ande melirik ke arah Klenting Kuning, sedikit khawatir telah membuatnya tak nyaman. Namun saat melihat wajah Klenting Kuning yang memerah, entah mengapa jantungnya berdebar kencang. Dia langsung menunduk dan berpura-pura sibuk dengan makanannya.
Suasana makan malam menjadi sedikit canggung, namun hangat.
Sementara itu, Yuyu Kangkang dan Ibu Klenting memperhatikan dari seberang meja. Mereka saling melirik—tatapan penuh pemahaman, nyaris seperti berkata: "Ah, muda-mudi..."
Ibu Klenting tersenyum kecil, lalu mulai menyendok sayur ke mangkuknya seolah tak terjadi apa-apa. Yuyu Kangkang, di sisi lain, terlihat menahan tawa, tapi memilih bungkam demi menghormati pangerannya.