Di Kota Sentral Raya, kejahatan bukan lagi bayangan yang bersembunyi—ia adalah penguasa. Polisi, aparat, hingga pemerintah berlutut pada satu orang: Wali Kota Sentral Raya, dalang di balik bisnis ilegal, korupsi, dan kekacauan yang membelenggu kota ini.
Namun, ada satu sosok yang tidak tunduk. Adharma—pria yang telah kehilangan segalanya. Orang tua, istri, dan anaknya dibantai tanpa belas kasihan oleh rezim korup demi mempertahankan kekuasaan. Dihantui rasa sakit dan dendam, ia kembali bukan sebagai korban, tetapi sebagai algojo.
Dengan dua cerulit berlumuran darah dan shotgun di punggungnya, Adharma tidak mengenal ampun. Setiap luka yang ia terima hanya membuatnya semakin kuat, mengubahnya menjadi monster yang bahkan kriminal pun takut sebut namanya.
Di balik topeng tengkorak yang menyembunyikan wajahnya, ia memiliki satu tujuan: Menumbangkan Damar Kusuma dan membakar sistem busuk yang telah merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Informasi
Darma berdiri di depan rumahnya, menatap langit malam Kota Sentral Raya yang dipenuhi cahaya lampu jalanan, namun terasa begitu kelam di matanya.
Kini, ia bukan lagi pria yang pulang dari kantor dengan wajah lelah.
Kini, ia adalah seseorang yang tidak memiliki apa pun selain amarah dan dendam.
Di punggungnya, dua cerulit tersilang, siap untuk menebas siapa pun yang menghalangi jalannya.
Di pahanya, dua shotgun terpasang kokoh, senjata yang ia siapkan untuk berjaga-jaga kini akan menjadi alat pembalasan.
Darma menarik napas dalam, merasakan bobot perlengkapan yang ia bawa.
Tidak ada rasa ragu. Tidak ada ketakutan.
Hanya ada satu tujuan.
Mencari tahu siapa tiga orang itu, dan di mana mereka sekarang.
Darma tahu bahwa mencari informasi di kota ini bukanlah hal sulit, asalkan tahu harus bertanya kepada siapa.
Ia berjalan perlahan di trotoar gelap, menuju salah satu daerah kumuh di pinggiran kota.
Di sini, preman, pengedar narkoba, dan kaki tangan para kriminal berkumpul di gang-gang sempit, mencari mangsa atau sekadar melarikan diri dari kejaran aparat—yang sebenarnya hanya sekadar formalitas.
Polisi korup di kota ini membiarkan mereka hidup dan beroperasi asalkan “setoran” tetap berjalan lancar.
Darma tahu itu.
Dan malam ini, ia tidak peduli dengan sistem busuk itu.
Yang ia cari adalah jawaban.
Dan jika harus menggunakan kekerasan, maka begitu lah adanya.
Darma akhirnya sampai di sebuah bar kecil di ujung gang sempit.
Di depannya, beberapa pria bertato sedang duduk sambil minum, tertawa kasar seakan dunia ini hanya milik mereka.
Darma mendekat, langkahnya mantap.
Saat salah satu dari mereka melirik ke arahnya, tawanya langsung terhenti.
Sosok Darma dengan mantel panjang, topeng tengkorak, serta senjata di tubuhnya membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.
"Siapa lo?" salah satu pria bangkit, tangannya masih memegang botol bir.
Darma tidak menjawab.
Sebaliknya, ia langsung mencabut salah satu cerulit dari punggungnya dan menempelkannya ke meja, menciptakan suara gesekan tajam yang membuat semua orang di sana diam.
"Ada tiga orang yang membunuh keluargaku," suara Darma terdengar dalam, berat, dan dingin. "Aku ingin tahu mereka siapa, dan di mana mereka sekarang."
Salah satu preman tertawa kecil, berusaha terlihat tenang. "Dengar, bung, kami nggak tahu siapa yang lo cari. Dan jujur aja, kita juga nggak peduli—"
BRUKK!
Sebelum pria itu bisa menyelesaikan kalimatnya, Darma mencengkeram kepalanya dan membantingnya ke meja.
Darah langsung mengucur dari hidung pria itu, sementara yang lain terkejut dan mulai bangkit dari tempat duduk mereka.
Darma tetap diam.
Tangan kirinya menarik shotgun dari pahanya, sementara tangan kanannya tetap menggenggam cerulit.
Suasana menjadi sangat tegang.
"Aku tanya sekali lagi," suara Darma kali ini lebih rendah, hampir seperti bisikan kematian. "Di mana mereka?"
Preman yang wajahnya sudah berlumuran darah itu terbatuk, lalu mengangkat tangan. "T-Tunggu… Aku nggak tahu pasti… tapi coba cari di Pelabuhan Timur. Kadang ada orang-orang bayaran yang bersembunyi di sana setelah melakukan pekerjaan kotor!"
Darma diam sejenak.
Lalu, ia menarik kembali cerulitnya dan melangkah mundur.
Tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia berbalik dan pergi.
Namun sebelum benar-benar keluar dari gang, ia berhenti sejenak dan berbicara tanpa menoleh.
"Jika kalian berbohong…" suaranya terdengar samar namun mengandung ancaman yang jelas, "Aku akan kembali."
Dan dalam sekejap, sosoknya menghilang ke dalam kegelapan.
Kini, ia memiliki tujuan selanjutnya: Pelabuhan Timur.
Dan di sanalah, pemburuannya akan benar-benar dimulai
Jalanan menuju Pelabuhan Timur terasa sunyi, hanya suara langkah kaki Darma yang menggema di trotoar.
Angin malam bertiup, membawa aroma asin laut yang bercampur dengan bau busuk kota ini—bau dosa yang sudah mendarah daging.
Darma berjalan dengan tenang, pikirannya hanya fokus pada satu hal: memburu para pembunuh keluarganya.
Namun, di tengah perjalanan, sebuah suara memecah keheningan.
"Tolong… Jangan! Aku mohon!"
Darma menoleh sedikit.
Di ujung gang sempit yang remang-remang, seorang wanita terpojok di tembok, tubuhnya gemetar, wajahnya ketakutan.
Di depannya, seorang pria bertubuh besar memegang pisau, menyeringai penuh nafsu.
"Diam! Kalau teriak lagi, gue habisin lo sekarang juga!" pria itu mendekat, mengangkat pisaunya.
Darma tetap berjalan.
Langkahnya tetap lurus.
Tangannya bergerak perlahan ke pahanya, melepas pengaman shotgun tanpa suara.
Saat ia melewati gang itu, tanpa menghentikan langkahnya, ia mengangkat shotgun dengan satu tangan.
DOOR!
Suara letusan senjata memecah keheningan.
Darah bercipratan ke dinding gang.
Pria yang tadi berusaha membunuh wanita itu terpental ke belakang, kepalanya berlubang, nyawanya melayang dalam sekejap.
Darma tetap diam.
Ia tidak menoleh.
Tidak memperlambat langkahnya.
Hanya melanjutkan jalannya seolah tidak terjadi apa-apa.
Wanita itu masih terduduk di tanah, tubuhnya gemetar, matanya melebar menatap sosok Darma yang semakin menjauh.
Ia ingin berterima kasih, ingin mengucapkan sesuatu… tapi suaranya seakan tercekat di tenggorokan.
Karena saat ia menatap punggung sosok bertopeng tengkorak itu, ia sadar satu hal.
Orang yang baru saja menyelamatkannya… bukan manusia biasa.
Ia adalah sesuatu yang lebih dari itu.
Ia adalah sosok kematian yang berjalan di antara mereka.
Darma melangkah pelan di bawah cahaya lampu jalan yang temaram.
Pelabuhan sudah dekat, tetapi tiba-tiba ponselnya bergetar di saku trench coat-nya.
Ia mengeluarkannya, menatap layar.
Pak Jaya.
Darma menyipitkan mata. Sejenak ia berpikir untuk mengabaikannya, tapi akhirnya ia menjawab.
"Halo, Darma! Besok masuk kerja, ya. Jangan buat masalah, apalagi setelah kemarin kau mendebatku soal laporan itu!"
Suara Pak Jaya terdengar di seberang, masih dengan nada arogan dan perintah seperti biasanya.
Darma hanya diam sejenak.
Lalu ia tertawa pelan. Dingin. Tanpa emosi.
"Aku resign."
Hening di seberang sana.
"Apa?"
"Aku. Resign."
"Kau sedang bercanda, Darma? Ini bukan waktunya untuk—"
"Aku tidak peduli lagi dengan pekerjaan itu, Pak."
Darma melanjutkan langkahnya, suara sepatunya bergema di trotoar yang sepi.
"Hei! Kau tidak bisa begitu saja keluar! Kau tahu terlalu banyak!" suara Pak Jaya berubah tegang.
Darma tersenyum sinis di balik topengnya.
"Ya… Aku tahu banyak sekali. Tentang manipulasi laporan, selisih barang, uang kotor yang mengalir ke kantormu."
Ia berhenti, menatap langit malam yang kelam.
"Dan aku juga tahu siapa saja yang harus mati di kota ini."
Hening lagi. Kali ini lebih lama.
"Apa maksudmu, Darma?" suara Pak Jaya terdengar lebih waspada.
Darma menghela napas pelan.
"Pak Jaya… Kau pikir aku tidak tahu? Kau bagian dari kebusukan kota ini. Kau pikir aku tidak sadar selama ini?"
Di seberang, Pak Jaya tidak langsung menjawab. Tapi Darma bisa mendengar napasnya yang berat.
Ketakutan.
"Darma… Kau harus berpikir jernih. Jangan bertindak bodoh."
Darma tertawa pelan lagi.
"Sudah terlambat."
Klik.
Ia menutup telepon.
Ia tahu betul, Pak Jaya adalah bagian dari korupsi yang mengalir di Kota Sentral Raya.
Dulu, mungkin ia masih ragu. Tapi sekarang?
Tidak ada ampun.
Ia menyimpan kembali ponselnya, lalu melanjutkan langkahnya.
Pelabuhan sudah menunggu.
Dan begitu pula darah pertama yang akan ia tumpahkan malam ini.