Diselingkuhi sedih? Sudah tidak jaman! Angkat kepalamu, gadis, mari kita balas dendam.
Betari diselingkuhi oleh kekasih yang dia pacari selama tiga tahun. Alih-alih menangis, dia merencanakan balas dendam. Mantan pacarnya punya ayah duda yang usianya masih cukup muda. Tampan, mapan, dan kelihatannya lebih bertanggungjawab. Jadi, Betari pikir, kalau dia tidak dapat anaknya, dia akan coba merebut ayahnya.
Namun ditengah misi balas dendamnya, Betari justru dikejutkan oleh semesta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semakin Dekat
Melvis menghadiri sebuah seminar bertema Financial Planning untuk Gen Z: Haruskah Mulai Sekarang? sebagai salah satu pembicara utama. Acaranya diadakan di sebuah aula besar di universitas ternama, menarik perhatian banyak mahasiswa, profesional muda, dan orang-orang yang tertarik dengan pengelolaan keuangan sejak dini. Dengan karismanya yang khas, Melvis membawakan materi dengan percaya diri, menjelaskan konsep-konsep finansial yang sering kali dianggap rumit dengan cara yang lebih sederhana dan mudah dipahami.
Selama kurang lebih satu jam, ia berbicara tentang pentingnya perencanaan keuangan bagi generasi muda, bagaimana memulai investasi sejak dini, dan strategi mengatur keuangan agar tidak terjebak dalam gaya hidup yang konsumtif. Sesekali, ia menyisipkan humor ringan yang membuat suasana lebih cair. Beberapa peserta tampak sibuk mencatat, sementara yang lain menyimak dengan penuh antusias.
Di sesi tanya jawab, seorang peserta perempuan mengangkat tangan. Suaranya tegas namun tetap santai saat mengajukan pertanyaan, "Pak Melvis, menurut Anda, bagaimana kita bisa menyeimbangkan antara menikmati hidup dan menabung untuk masa depan tanpa merasa tertekan oleh tuntutan sosial yang sering kali membuat kita ingin terus menghabiskan uang?"
Melvis menoleh ke arah perempuan itu—dan seketika matanya sedikit membesar.
Ia sedikit tercengang, tetapi segera menyembunyikan keterkejutannya dengan sebuah senyuman kecil. Betari duduk di barisan tengah, tampak bersinar dan penuh percaya diri.
Melvis mengambil jeda sejenak sebelum menjawab, "Pertanyaan yang bagus. Kita hidup di era di mana media sosial sering kali memberi kesan bahwa semua orang menikmati hidup dengan cara yang luar biasa—liburan ke luar negeri, membeli barang-barang mahal, dan sebagainya. Tapi kenyataannya, banyak dari mereka yang sebenarnya berhutang atau mengorbankan stabilitas finansial demi membangun image di sosial media. Jadi, cara terbaik adalah mengenali prioritas kita sendiri. Kita bisa menikmati hidup dengan tetap bijak dalam mengatur keuangan. Misalnya, tentukan anggaran khusus untuk bersenang-senang, tapi tetap pastikan tabungan dan investasi kita berjalan sesuai rencana. Intinya, keseimbangan itu soal bagaimana kita menentukan batasan kita sendiri, bukan mengikuti standar orang lain."
Betari mengangguk, tampak puas dengan jawabannya. Melvis melihat sekilas ekspresinya dan semakin terkesima. Ia tahu Betari adalah orang yang kuat tetapi juga berhati lembut, tapi hari ini, ia melihat sisi lain dari diri gadis itu—Betari juga cerdas dan kritis.
Seminar berakhir dengan sukses. Beberapa peserta menghampiri Melvis untuk bertanya lebih lanjut, ada yang ingin berfoto bersama, dan ada juga yang sekadar mengucapkan terima kasih. Di tengah kesibukannya, ia melirik ke arah tempat duduk Betari tadi, tetapi gadis itu sudah tidak ada di sana.
Tanpa berpikir panjang, Melvis segera mengambil ponselnya dan mengirim pesan.
Mbak Betari, ada waktu luang?
Tak butuh waktu lama, Betari membalas.
Oh, saya free. Kenapa, Pak Melvis?
Melvis mengulum senyum sembari mengetikkan balasan.
Saya mau ajak makan siang, kalau Mbak Betari nggak keberatan.
Jeda yang tercipta sebelum balasan Betari tiba cukup lama, membuat Melvis merasa gugup yang entah apa sebab pastinya. Dia tidak pernah merasa se-nervous ini menghadapi seseorang, terlebih perempuan.
Boleh. Tapi saya yang pilih tempatnya, ya .
Melvis menghela napas lega, mengukir senyum tipis dan membalas.
Oke. Silakan Mbak Betari pilih tempatnya dan kasih tahu saya.
Betari membalas lagi yang membuat Melvis senyam-senyum sekaligus bertanya-tanya. Melvis penasaran, tempat apa yang sekiranya dipilih Betari hingga wanita itu bilang sebaiknya Melvis tak usah terlalu tampan untuk ke sana. Niat hati Betari hanya bercanda, tapi bagi Melvis cukup membuatnya terngiang-ngiang dengan kata tampan yang dilontarkan Betari.
Perkembangan hubungan antara Betari dan Melvis terbilang sudah cukup dekat beberapa hari belakangan. Mereka memang intens berkomunikasi, tetapi hanya sebatas hal-hal yang bersifat umum dan beralasan. Contohnya janjian temu karena ingin membahas pekerjaan, dan juga beberapa kali jalan bareng ke panti asuhan untuk keperluan sosial. Namun kali ini--sekaligus menjadi yang pertama kalinya--Melvis nge-chat Betari tidak tahu alasannya apa. Yang pasti, keinginan tersebut datang dari lubuk hatinya.
...*****...
Meski sudah tahu bahwa Betari agak lain, Melvis juga tidak bisa menduga kalau tempat yang Betari pilih adalah warteg dekat universitas alih-alih restoran mewah di sekitar sana. Padahal bisa saja gadis itu sengaja mengajaknya ke tempat mahal, toh dia akan dengan senang hati membayar. Melvis yakin Betari tahu kalau dia tidak akan pernah membiarkan perempuan membayar, seperti yang terakhir kali meskipun mereka harus rebutan dulu meminta bill.
Tapi, kalau Betari begitu, Melvis tentu tidak akan tertarik.
“Ngapain, Pak? Nggak mau duduk?”
Melvis tertarik dari lamunan. Sedikit kikuk dia menarik kursi panjang dan duduk. Di depannya, etalase kaca dipenuhi berbagai macam lauk-pauk yang masih penuh. Seorang ibu-ibu berkerudung bergo dengan daster batik lengan pendek berdiri di belakang etalase, tersenyum ramah sambil bertanya, “Mau makan pakai apa. Om?”
Melvis menggaruk daun telinganya pelan. Menu-menu di hadapannya agak kelihatan asing. Bukannya mau sombong, tapi karena selalu sibuk dengan pekerjaannya di kantor, Melvis cenderung menyerahkan urusan makan siang kepada sekretaris pribadinya. Sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk eksplor tempat-tempat makan di pinggir jalan seperti warteg yang mereka datangi kali ini.
“Mau saya bantu pilihkan menunya?” sela Betari.
Kepala Melvis menoleh refleks. Gerakan naik-turun kepalanya menyusul hanya sedetik kemudian. Di momen ini, Melvis bukan lagi seorang dewasa nyaris kepala lima yang bisa memutuskan segala sesuatu sesuai keinginannya. Di momen ini, Melvis tampak seperti balita yang akan menyerahkan menu makannya sepenuhnya kepada sang ibu.
“Oke.” Betari mengangguk. Tak perlu waktu lama bagi gadis itu untuk menggerakkan jarinya, menunjuk satu persatu lauk di etalase. Ibu penjual juga dengan cekatan menambahkan semua yang Betari tunjuk ke atas piring berisi nasi putih yang masih mengepulkan asap.
Begitu sat-set, sepiring nasi dengan orek tempe kering, cah sawi hijau, dua keping perkedel kentang dan sedikit sambal tersaji apik di hadapan Melvis. Ia terpaku sejenak memandangi isi piringnya. Asing, tapi Melvis rasa dia masih akan bisa memakannya.
“Cobain dulu,” ucap Betari.
Melvis mengangguk, mengambil sendoknya dan mulai membuat suapan. Seketika suapan pertama masuk mulut, mata Melvis sedikit membulat. Lidahnya cukup sensitif untuk mendeteksi masakan yang menggunakan MSG. Bukan tidak suka, dia hanya kurang bisa menoleransi rasa gurihnya yang berlebihan. Tetapi masakan yang mulai dia kunyah sekarang ini memiliki rasa gurih yang berbeda. Dia bisa yakin datangnya bukan dari MSG, melainkan bawang putih yang digunakan dengan tepat.
“Gimana, enak?” tanya Betari.
Masih sambil mengunyah, Melvis menganggukkan kepala. Bisa dia lihat senyum bangga merekah di wajah ayu Betari, membuat sosoknya yang sudah menarik tampak seribu kali lebih bersinar di mata Melvis.
“Ini satu-satunya warteg yang selalu saya datengin walaupun agak jauh. Selain bersih dan rapi, masakan ibunya juga numero uno!” Betari tampak begitu bangga pada pilihannya. Ibu warteg juga tampak tersipu malu masakannya dipuji dan dipromosikan oleh seorang langganannya.
Melvis masih tidak berkomentar. Dia hanya mengangguk kecil dengan mulut sibuk mengunyah. Lalu, sisa waktu yang ada dia habiskan dengan menyantap makan siang dengan hati gembira, sambil memandangi wajah cantik Betari. Hatinya terasa penuh hanya dengan melihat betapa Betari menyantap makanannya dengan penuh khidmat dan sesekali masih sempat memuji masakan si ibu warteg.
.
.
Bersambung.