Axeline tumbuh dengan perasaan yang tidak terelakkan pada kakak sepupunya sendiri, Keynan. Namun, kebersamaan mereka terputus saat Keynan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya.
Lima tahun berlalu, tapi tidak membuat perasaan Axeline berubah. Tapi, saat Keynan kembali, ia bukan lagi sosok yang sama. Sikapnya dingin, seolah memberi jarak di antara mereka.
Namun, semua berubah saat sebuah insiden membuat mereka terjebak dalam hubungan yang tidak seharusnya terjadi.
Sikap Keynan membuat Axeline memilih untuk menjauh, dan menjaga jarak dengan Keynan. Terlebih saat tahu, Keynan mempunyai kekasih. Dia ingin melupakan segalanya, tanpa mencari tahu kebenarannya, tanpa menyadari fakta yang sesungguhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutzaquarius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Setelah puas melampiaskan kemarahannya, Keynan tidak segera pergi. Ia tetap berada di atas yacht, membiarkan malam semakin larut sementara angin laut menerpa wajahnya.
Dalam diam, ia menenggak minuman beralkohol tanpa henti, seolah berharap setiap tegukan dapat menghapus rasa sakit yang menghimpit dadanya.
Botol minuman di tangan Keynan hampir kosong. Matanya merah, bukan hanya karena alkohol, tetapi juga karena rasa lelah dan emosi yang bergejolak. Tangannya mencengkeram botol dengan erat, seolah itu satu-satunya hal yang masih bisa ia genggam dalam hidupnya.
Andrian berdiri tidak jauh darinya, memperhatikan tuannya dengan tatapan iba. Ia tidak tahu pasti apa yang terjadi, tapi melihat Keynan seperti ini, ia tahu masalah yang pria itu hadapi pasti sangat berat.
"Tuan, bagaimana sekarang?" tanya salah satu bodyguard dengan hati-hati.
Andrian menghela napas panjang sebelum menjawab, "Kita menepi sekarang."
Bodyguard itu mengangguk dan segera bergerak ke ruang kemudi.
Sementara itu, Andrian tetap berdiri di tempatnya, mengamati Keynan yang masih menatap kosong ke arah laut. Ia menggeleng pelan, menyadari betapa hancurnya pria itu saat ini.
Keynan Dirgantara yang selalu terlihat kuat dan tidak tersentuh, kini tampak seperti pria yang kehilangan arah.
Dan Andrian tahu, ini semua bukan sekedar masalah biasa. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang menyakitinya lebih dari apa pun.
...****************...
Keynan mengerjapkan matanya perlahan, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya matahari yang menembus kabin yacht. Kepalanya terasa berat, merasa nyeri berdenyut di pelipisnya, sementara tubuhnya masih terombang-ambing oleh gelombang laut yang tidak henti-hentinya mengguncang kapal.
"Sudah pagi?" gumamnya, suara terdengar serak akibat alkohol yang menemaninya semalam. Ia menghela napas panjang, tapi justru rasa pusing semakin menyerangnya. Perutnya terasa seperti dipelintir, rasa mual yang menyiksa membuatnya buru-buru bangkit dengan langkah goyah menuju wastafel.
"Sial!" umpatnya di sela-sela napas yang tertahan.
Sesampainya di wastafel, ia menumpahkan seluruh isi perutnya, tubuhnya menegang di antara rasa sakit dan rasa lega yang bersamaan.
Setelahnya, ia berkumur dan membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap itu bisa sedikit mengusir rasa pusing yang mendera. Tapi yang tersisa hanyalah kenyataan pahit yang kembali menghantamnya.
Tatapannya bertemu dengan pantulan dirinya di cermin. Ia terlihat kusut, berantakan, dan jauh dari sosok Keynan Dirgantara yang selama ini dikenal orang.
"Kau terlihat sangat menyedihkan, Keynan," gumamnya lirih, suara yang nyaris terdengar seperti ejekan pada dirinya sendiri.
Keynan tertawa. Sebuah tawa yang awalnya terdengar pelan, lalu semakin lama, semakin keras, penuh sarkasme dan kepedihan. Ia terus tertawa sampai dadanya terasa sesak, sampai kedua matanya memerah karena menahan emosi yang bergejolak di dalam dirinya.
Namun, dalam sekejap, tawa itu lenyap. Wajahnya mengeras, dan tatapannya berubah tajam, penuh percikan api yang menyala di balik sorot matanya.
"Agnes!" gumamnya dengan suara yang rendah, nyaris seperti bisikan yang mengancam. "Kau yang menginginkan ini, bukan? Kalau begitu, aku akan membuatmu menyesal."
Dengan gerakan tegas, Keynan meraih pakaian bersih yang sudah disiapkan Andrian. Ia mengganti bajunya dengan cepat, membiarkan kesan rapi dan berwibawa kembali menyelimuti dirinya.
Setelahnya, ia keluar dari kabin yacht, membiarkan angin laut menyapu rambutnya yang sedikit berantakan. Cahaya matahari yang begitu cerah berbanding terbalik dengan suasana hatinya yang berkecamuk di dalam dirinya.
Andrian yang selalu siaga, tanpa banyak bicara, membukakan pintu mobil untuknya. Keynan masuk tanpa ragu, dan dalam sekejap, kendaraan melesat menuju perusahaan.
Dan tidak butuh waktu lama, mobil mewah itu berhenti mulus di depan gedung pencakar langit dengan logo NA Company yang berkilauan di bawah sinar matahari.
Pintu mobil terbuka, dan Keynan turun dengan langkah tegap. Setiap gerakannya memancarkan kewibawaan yang mendominasi. Suasana di lobby yang awalnya riuh dengan percakapan para karyawan mendadak sunyi. Semua orang menoleh saat mendengar langkah tegap pria itu dan buru-buru menundukan kepala mereka. Aura yang dipancarkan Keynan hari ini berbeda dari biasanya. Lebih dingin dan lebih mengintimidasi.
Saat melangkah menuju lift, mata Keynan sekilas melirik ke arah meja Axeline, . Kosong. Tidak ada sosok wanita itu di sana.
Rahangnya mengatup rapat. Jemarinya mengepal, tapi wajahnya tetap tanpa ekspresi. Seolah tidak terjadi apa-apa.
Begitu sampai di ruangannya, ia langsung disambut dengan tumpukan dokumen yang memenuhi mejanya. Ia duduk, melonggarkan dasinya sedikit, lalu membuka salah satu berkas. "Apa jadwalku hari ini?" tanyanya dengan suara yang terdengar datar.
Andrian yang berdiri di depannya segera menjawab, "Anda ada meeting dengan Tuan Hendry. Setelah itu, kita harus mengecek proyek pembangunan pusat perbelanjaan."
"Hanya itu?"
"Iya, Tuan."
Keynan mengangguk pelan. "Kau boleh pergi."
Andrian menunduk hormat, bersiap untuk keluar. Namun, langkahnya terhenti ketika suara Keynan kembali terdengar.
"Cari tahu kenapa Axeline tidak datang hari ini."
Andrian menatap Keynan sekilas, sebelum menganggukkan kepala. "Baik, Tuan." Tanpa banyak tanya, ia pun keluar dari ruangan tersebut.
Setelah pintu tertutup, Keynan menghela napas panjang, lalu mencoba fokus pada pekerjaannya. Namun, bayangan wajah Axeline tiba-tiba melintas di pikirannya. Senyumnya, suaranya dan tatapan matanya.
Hal itu berhasil membuat Keynan nyaris kehilangan kendali. Tangannya mengepal menahan perasaannya yang kacau.
"Sial!" umpatnya, membanting pena ke atas meja.
Dia tahu alasan Axeline tidak datang ke perusahaan. Kejadian kemarin, rencana pertunangan yang mendadak, pasti membuat hati Axeline hancur.
Dia ingin menjelaskannya pada Axeline. Tapi, dia seperti pengecut yang tidak bisa melakukan apapun karena ancaman yang bisa membuat Axeline terluka.