NovelToon NovelToon
The Fatalist: Legenda Para Nuswantarian

The Fatalist: Legenda Para Nuswantarian

Status: tamat
Genre:Tamat / Mengubah sejarah
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Jack The Writer

NOVEL INI SUDAH TAMAT.. DENGAN KISAH EPIKNYA YANG MEMBAGONGKAN..

NANTIKAN NOVEL SAYA SELANJUTNYA..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jack The Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

ch 020_pernikahan

...___~V~___...

...PERNIKAHAN...

satu minggu kemudian setelah insiden..

Pernikahan Zares dan Kandita dilaksanakan di kuil desa yang kini hanya menyisakan reruntuhan. Di antara dinding-dinding yang rapuh, pernikahan mereka menjadi simbol harapan baru setelah kehancuran yang menyelimuti. Iring-iringan warga yang tersisa berjalan pelan, mengikuti langkah mereka yang penuh makna. Di tengah kerumunan, tampak ibu kandita dan adiknya serta kakaknya, yang baru saja kembali setelah mendengar kabar tersebut.

Wajah mereka yang penuh kecemasan kini berubah menjadi harapan, meski masih menyimpan luka yang mendalam.

Para Fatalis, yang datang, serta seorang pandita yang didatangkan dari kota Serabi, telah siap memimpin upacara.

Di tengah keheningan dan keindahan yang terpancar dari kuil yang hancur, pandita itu mulai membaca mantra-mantra sakral, mengiringi pernikahan yang begitu sederhana namun penuh makna. Zares dan Kandita saling berpandangan, di antara keramaian dan kesedihan yang tak terucapkan, mereka tahu bahwa ini adalah permulaan baru, meski dunia di sekitar mereka masih belum pulih.

"Hei apakah perlu menikah dengan upacara seperti ini?" Ucap druvh kepada ahtreya.

"Ya untuk orang pedesaan terpencil upacara seperti ini masih dipercaya" jawab ahtreya.

"Aku terkejut usia mereka masih 15 tahun". Ucap druvh

"apa! manusia sangat wajar jika menikah diusia belia seperti itu? Jangan samakan dengan ras lain"

5 hari setelah pernikahan..

"Hei, jika melihat bekas pertempuran di area ini, pasti pertarungan yang terjadi sangat hebat," ucap Druvh, sambil melangkah perlahan bersama Ahtreya, memeriksa setiap sudut yang masih meninggalkan jejak kekerasan.

"Ya... aku pun berpikir seperti itu," jawab Ahtreya, matanya menyusuri reruntuhan dan darah yang masih membekas.

"Namun, apakah benar jika murid Kapten bisa sekuat itu?"

"Mungkin saja," jawab Druvh, tetap tenang meski rasa heran masih tergambar di wajahnya.

"Kapten telah melatihnya hampir dua tahun lamanya. Itu bukan waktu yang singkat."

Ahtreya mengangguk, merenung sejenak. Semua yang mereka lihat menunjukkan betapa dahsyatnya pertempuran ini, dan murid Kapten, meskipun muda, tampaknya sudah cukup kuat untuk bertarung dengan raksha ancaman level tinggi.

Sementara itu, ibu, kakak, dan adik Kandita berpamitan untuk meninggalkan desa. Sang kakak, Jumanto, berniat membawa ibunya kembali ke Trowulan dan menetap di sana, jauh dari kehancuran yang kini menyelimuti desa yang pernah mereka huni.

"Adik, aku pergi dulu ya... Cepatlah menyusul kedatanganmu bersama suamimu. Kami akan menunggumu di Trowulan," ucap Jumanto dengan suara yang berat, namun penuh harapan.

"Iya, kakak. Aku juga ingin melihat keponakanku. Pasti dia sangat tampan, seperti ayahnya," jawab Kandita, tersenyum meskipun di matanya ada kesedihan yang tak terucapkan.

Dengan hati yang penuh perasaan, adik dan ibunya pun saling berpelukan, melepas kepergian mereka. Di pelukan itu, ada cinta, ada kerinduan, dan ada doa yang tulus untuk masa depan yang lebih baik. Meskipun mereka harus berpisah, mereka tahu bahwa ikatan keluarga takkan pernah bisa terpisahkan, meski dunia di luar sana telah berubah menjadi begitu rapuh.

disisi lain..

"Kau sudah yakin dengan pilihanmu, Zares?" tanya Guru Vitjendra dengan tatapan serius, memandang muridnya yang kini berdiri dengan tekad bulat di depannya.

"Iya, Guru. Aku akan menetap di sini selama satu tahun penuh sebelum memasuki akademi, untuk menimba ilmu di sana," jawab Zares dengan keyakinan yang tercermin dalam suaranya.

"Baiklah, aku akan menunggumu. Selama seminggu ini, kami sudah membantu memperbaiki rumahmu, meski masih jauh dari kata layak. Pangkalan militer pun telah dibersihkan oleh pihak kerajaan, meski hanya menyisakan puing-puingnya. Kini, kawasan ini mungkin akan dihapus dari peta Kerajaan Majapahit, mengingat sudah tidak ada lagi penghuninya," jawab Guru Vitjendra, suaranya penuh dengan keprihatinan.

Zares mengangguk pelan

"Baik, Guru. Apa yang bisa aku lakukan di sini adalah menanam pohon di seluruh area desa ini. Aku ingin desa ini dipenuhi pohon. Itulah yang bisa aku lakukan untuk menghormati orang-orang yang menjadi korban. Aku juga akan menanam pohon dengan abu mereka. Setidaknya, orang-orang baik yang mengorbankan nyawa mereka bisa tetap hidup didesa dalam sebuah pohon yang rimbun."

Guru Vitjendra tersenyum lembut mendengar jawaban muridnya.

"baiklah, keinginanmu sangat mulia. Namun, cepatlah, Zares. Teruslah menjadi kuat dan jadilah Fatalis kerajaan, agar kau bisa menemukan jati dirimu."

"Baik, Guru," jawab Zares, dengan suara yang penuh tekad, merasa semakin siap menghadapi tantangan yang akan datang.

Sore hari menjelang para Fatalis kerajaan akan kembali menuju kerajaan dan melaporkan semuanya ke raj hayam wuruk

"Hati hati guru, tunggu aku satu tahun lagi" ucap zares melihat Fatalis sudah menaiki hewan mistis mereka dan terbang pulang.

Beberapa hari kemudian..

Zaresh sedang memperbaiki rumahnya yang rusak paska kehancuran yang diakibatkan penyerangan raksha. dengan berbekal alat-alat yang diberikan oleh gurunya yang dibeli dari kota serabi, dia mulai memperbaiki rumahnya dan mengganti semua struktur kayu yang sudah tidak layak pakai.

Sementara itu, di area yang dulunya penuh dengan kehidupan, Kandita mulai menanam pohon-pohon baru. Dengan benih-benih yang dibelikan oleh Guru Vitjendra dari kota Serabi, ia menanam satu persatu dengan penuh hati-hati. Setiap lubang yang digali menjadi saksi akan keinginannya untuk menghormati mereka yang telah pergi.

Di setiap lubang tanah, Kandita dengan lembut menaburkan abu mendiang, campuran dari mereka yang gugur dalam kehancuran desa. Setiap butir abu yang jatuh di tanah menjadi doa, sebuah penghormatan yang mendalam kepada jiwa-jiwa yang telah mengorbankan hidup mereka. Pohon-pohon itu tidak hanya akan menjadi saksi bisu, tetapi juga tempat untuk mengenang mereka yang telah tiada, yang kini akan hidup kembali dalam bentuk kehidupan baru, tumbuh dengan kuat dan rimbun.

Kandita mengusap peluh dari dahinya, namun ia tidak berhenti. Setiap pohon yang ditanam adalah janji untuk menjaga kenangan mereka tetap hidup, meskipun dunia telah berubah dan desa yang dulu riuh kini hanya tinggal kenangan. Dalam kesendirian dan keheningan, pohon-pohon itu akan tumbuh, membawa kedamaian dan harapan baru bagi masa depan yang lebih baik.

Rumah Zares yang terletak di lereng bukit dekat air terjun mulai terancam oleh tanah yang terkikis. Dengan kekuatan fisiknya, Zares mulai mengumpulkan bebatuan besar dan menanamkannya di lereng untuk memperkokoh tanah di sekitar rumahnya. Setiap batu yang ia pasang berfungsi sebagai perisai, mencegah tanah terkikis lebih jauh dan melindungi rumahnya dari ancaman alam. Meski lelah, Zares terus bekerja dengan tekad, memastikan rumahnya tetap berdiri kokoh.

Satu bulan kemudian..

Satu bulan berlalu, dan rumah Zares kini telah selesai diperbaiki, layak untuk dihuni kembali. Kawasan desa yang dulunya hancur kini mulai dipenuhi pohon-pohon kecil yang tumbuh subur, memberikan harapan baru. Bahkan gerbang masuk desa, yang dulu menjadi penanda, kini sudah sepenuhnya dihancurkan oleh Zares. Sebagai gantinya, ia menanam rumput batu dan pohon-pohon, dengan tujuan agar jalan itu suatu saat nanti akan tersamarkan, menjadi bagian dari alam yang kembali hidup. Semua perubahan ini adalah upaya Zares untuk menyembuhkan luka desa dan menghormati mereka yang telah pergi.

"Sudah satu bulan, sayang. Kita disini. aku bahagia sekali bisa menghabiskan waktu bersamamu" Ucap kandita dengan penuh senyuman

"Emmmm.. ya kita sudah menjadi suami istri sekarang, kemanapun aku pergi aku ingin kau tetap disampingku" ucap zares ke kandita

Suatu ketika, Kandita sedang merawat pohon yang mulai layu, jauh dari rumah Zares. Saat ia tenggelam dalam pekerjaannya, suasana sekitar tiba-tiba menjadi hening. Angin berhenti berhembus, dan udara terasa lebih dingin. Tiba-tiba, kabut tebal muncul perlahan dari dalam hutan, menyelimuti tanah di sekitar kandita.

Dengan gerakan lembut, kabut itu menyibakkan dirinya, memperlihatkan sosok seorang perempuan cantik dengan rambut panjang yang terurai. Perempuan itu melangkah pelan mendekati Kandita, wajahnya tampak tenang dan penuh kedamaian. Kandita tertegun sejenak, merasakan aura yang sangat berbeda dari sosok itu.

Perempuan itu berhenti beberapa langkah di depannya, menatapnya dengan mata yang penuh kebijaksanaan.

"Aku adalah roh penjaga Hutan Timur Blora," ucapnya dengan suara yang lembut namun jelas, seolah-olah suara itu menyatu dengan angin di sekitar mereka.

"Aku datang untuk melihat siapa yang menanam pohon-pohon ini, yang akan menjadi penanda kehidupan di desa yang telah hancur."

Kandita menundukkan kepala, merasa terhormat dan sekaligus penuh rasa penasaran.

“Aku dan suamiku hanya ingin menghormati mereka yang telah pergi dan menjaga apa yang masih ada. Aku menanam pohon-pohon ini untuk mengenang mereka.”

Roh penjaga itu tersenyum, matanya menyiratkan kebanggaan.

"Kau memiliki hati yang baik. Pohon-pohon ini akan tumbuh kuat, dan dengan mereka, kenangan yang kau simpan akan abadi."

Bersambung...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!