Dijual oleh ayah tirinya pada seorang muncikari, Lilyan Lutner dibeli oleh seorang taipan. Xander Sebastian, mencari perawan yang bisa dinikahinya dengan cepat. Bukan tanpa alasan, Xander meminta Lily untuk menjadi istrinya agar ia bisa lepas dari tuntutan sang kakek. Pernikahan yang dijalani Lily kian rumit karena perlakuan dingin Xander kepadanya. Apa pun yang Lily lakukan, menjadi serba salah di mata sang suami. Xander seakan memiliki obsesi dan dendam pribadi pada hidupnya. Bagaimanakah nasib Lily yang harus menjalani pernikahan dengan suami dinginnya? Haruskah ia bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lilyxy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Lily menghabiskan malam di tepian sungai Hudson. Menatap kosong sungai yang mengalir tenang dengan latar belakang gedung pencakar langit.
Pikiran Lily melayang entah ke mana. Raganya seolah tak bernyawa. Kalau boleh, dia ingin akhiri saja hidupnya yang pelik. Tidak sanggup lagi menatap hari esok.
Lily sudah kehabisan akal untuk bisa mendapatkan uang sebanyak delapan ratus dolar untuk biaya rumah sakit dan membayar uang kompensasi untuk pendonor sumsum tulang belakang ibunya.
Jumlah itu juga belum termasuk hutangnya pada suami kontrak yang juga menginginkan uangnya esok hari, walau dia tidak tahu pasti banyaknya uang yang sudah pria itu berikan pada ayah tiri.
Namun, tetap saja dia tahu kalau jumlahnya sangat besar. Bekerja seumur hidup pun belum tentu ia bisa menghasilkan uang sebanyak itu dan itu membuatnya putus asa.
Melihat sang ibu yang mempunyai keinginan besar untuk sembuh dari sakitnya membuat Lily enggan menyerah. Namun, apa langkah yang harus dia ambil kini?
Takdir begitu kejam padanya. Ibarat pil pahit yang harus dia telan hari demi hari.
Sang ayah yang bunuh diri karena bangkrut. Sang kakak yang meninggal tertembak saat melindungi ibunya dari tembakan sang ayah.
Kejadian buruk yang hanya menyebabkan luka dan menimbulkan trauma. Lily memang cukup apes karena harus menyaksikan kejadian mengerikan itu di depan matanya.
"Ayah! Kenapa Ayah menembak Lily? Ya, Tuhan. Ayah!" teriak Lucas saat itu ketika Bill meloloskan tembakannya ke perut Lily.
"Astaga, Bill! Apa yang telah kamu lakukan pada anak kita?!" teriak Rose yang juga syok melihat Lily sudah terkapar.
"Maafkan aku, Rose. Maafkan Ayah, Lucas. Ini adalah hal terbaik yang bisa aku lakukan untuk keluarga kita, agar hidup kalian tidak menderita nantinya. Aku benar-benar mencintai kalian. Aku tidak ingin berpisah dengan kalian. Kita akan hidup dan mati bersama-sama. Tenanglah, sakit karena tembakan ini tidak akan lama." Bill berusaha meyakinkan.
"Kalian akan hidup menderita kalau tetap ada di dunia ini. Aku sudah tidak punya apa-apa. Bajingan itu sudah menipuku habis-habisan sampai perusahaan kita bangkrut tanpa sisa. Kalian tidak akan sanggup melanjutkan hidup yang keras ini. Untuk itu, aku terpaksa melakukan ini. Tapi percayalah,aku melakukan semua ini karena benar-benar mencintai kalian." Bill menanamkan keyakinannya.
Lucas menggelengkan kepalanya kuat saat Bill mengarahkan pistol pada kepala Rose yang masih memangku Lily. Lily sendiri hanya bisa mengaduh sambil memegangi perut yang berdarah.
"Jangan, Ayah!" teriak Lucas merentangkan tangannya melindungi sang ibu.
"Jangan sakiti ibu, Ayah," rintih Lily yang terkapar.
"Hentikan semua ini. Jangan lakukan ini Ayah. Aku mencintai kalian semua. Jangan sakiti siapapun lagi, Ayah. Aku mohon. Aku mohon!" Lucas mencoba meyakinkan.
Bill yang kalut, ikut menangis pedih. Namun, langkahnya sudah terlalu jauh dan tidak ada jalan untuk kembali. Pria yang sedang tertekan itu, hanya ingin menyelesaikan semua dengan cepat.
Bill menembak Lucas tepat di dadanya. Membuat tubuh sang putra seketika roboh ke lantai. Tangisan permohonan Lily dan Rose malah dengan cepat menggema di udara.
"Lucaassss!!!!" teriak Rose saat melihat tubuh sang putra ambruk.
Lucas langsung kehilangan nyawanya tidak lama setelah tembakan itu tepat mengenai jantungnya.
"Ya, Tuhan, Bill! Kau gila! Kau gila, Bill! Lucas ku! Bangun, Sayang. Bangun...!"
Tidak lama setelahnya, Bill juga berniat membunuh sang istri dengan menembak tubuhnya. Dengan air mata berderai, tubuh Rose menyusul ambruk.
"Maafkan aku, Rose. Sungguh, aku benar-benar mencintaimu. Dan kesayangan Ayah, Lucas, juga peri cantik Ayah, Lily. Maafkan Ayah, Sayang. Aku juga benar-benar mencintai kalian. Kita akan terus bersama-sama setelah ini. Aku berjanji.”
Bill kemudian mendengar suara sirine mobil polisi dan ambulan yang mendekat, segera menembak kepalanya sendiri dan tewas di tempat saat itu juga.
Bill memang berniat menghabisi seluruh keluarganya agar mereka semua tidak hidup menderita setelah perusahaan mereka dinyatakan bangkrut.
Kondisi mental Bill memang tidak stabil akibat kehilangan perusahaan yang telah dirintis selama puluhan tahun. Hingga akhirnya dia merencanakan untuk bunuh diri setelah membunuh anggota keluarganya.
Beruntung, saat kekacauan itu terjadi, pembantu rumah tangga yang selama ini bekerja di rumah Lily, mendengar teriakan histeris dan segera menelpon 911.
Saat polisi datang, empat orang anggota keluarga Lily sudah terkapar bersimbah darah. Beruntung, Lily dan ibunya bisa selamat dari kejadian naas itu setelah mendapat perawatan intensif.
Kenangan buruk itu jelas masih terpatri. Terkadang terlintas dalam pikirannya tentang kebenaran ucapan mendiang ayahnya. Lebih baik mati daripada menghadapi kejamnya dunia.
Sekarang, Lily hanya bisa meratapi nasibnya yang malang. Bahkan dia bisa merasakan bagaimana sungai di depannya sudah melambai. Seolah meminta Lily untuk melompat ke dalamnya.
Entah mendapat bisikan setan dari mana, kaki jenjang Lily mulai melangkah menuju tepian pembatas sungai. Gadis itu, sempat menatap ke bawah, sebelum satu kakinya terangkat untuk melangkah.
Tapi, saat tubuhnya hendak masuk ke dalam sungai tersebut, ia merasakan tangannya ditarik kuat yang membuat tubuhnya terhentak menjauh dari pinggir sungai.
"Ahhh!" teriaknya reflek. Tubuh Lily terjerembab ke lantai semen yang kasar itu hingga menimbulkan luka baru di kaki dan telapak tangannya.
"Bayar hutangmu terlebih dahulu baru kau boleh bunuh diri, Nona!" geram suara yang sangat familiar di telinganya.
Lily mendongak untuk melihat si pemilik suara tersebut. Cepat ia berdiri sambil menyapu sekilas debu yang menempel di telapak tangan dan kakinya.
"A-apa maksudmu, Tuan? Bukankah ayahku sudah membayar semua hutang kami padamu?"
Lily dikejutkan oleh kedatangan salah satu rentenir yang selama ini sering menerornya. Anehnya, pria itu datang untuk mendesaknya untuk membayar hutang.
"Membayar apa maksudmu, Nona?! Anthony sama sekali belum membayar sepeser pun hutang kalian! Ingat, bunganya setiap hari akan bertambah kalau kamu tidak segera membayarnya!" rentenir itu mengingatkan.
Tubuh Lily langsung limbung mendengar perkataan pria berkepala plontos tersebut. Ujian apa lagi yang akan dia hadapi setelah ini.
"A-apa kah benar yang Anda katakan, Tuan?" tanya Lily terbata.
"Tentu saja aku benar! Kapan aku berbohong? Apa aku harus menelepon Anthony agar kamu mendengar sendiri ucapannya? Bahkan dia menambah hutang dengan jumlah yang lebih besar dengan menjaminkan dirimu, Nona!"
Tubuh Lily kembali lemas. Dia begitu marah pada sosok sang ayah tiri yang ternyata menipunya dan bahkan menjadikannya jaminan kepada para rentenir brengsek itu.
"Halo, Anthony! Aku sedang bersama putrimu sekarang! Aku akan membawanya sesuai perjanjian kita karena kau belum juga membayar hutang-hutangmu!" ancam sang rentenir.
"Jangan, Brandon! Kau akan rugi besar kalau menangkap putriku sekarang. Aku akan mendapatkan uang yang sangat besar dalam waktu dekat ini. Kamu hanya tinggal menunggunya sebentar lagi! Putriku telah menikah dengan pria yang sangat kaya raya! Jadi, jangan menyentuhnya kalau kau ingin uangmu kembali. Aku akan menambahkan bunganya ," ucap Anthony di seberang.
Mendengar pernyataan sang ayah tiri, membuat Lily menggeleng keras tidak percaya. Lalu kemana uang muka yang pria itu katakan sudah dibayarkan untuk melunasi hutang?
"Ahhh! Kau banyak bicara, Anthony! Aku sudah bosan mendengar janji-janji manismu. Aku akan segera membawa putrimu dan menjadikannya budakku!" Brandon mematikan teleponnya dan menyeret Lily agar ikut bersamanya.
"Lepaskan aku! Apa yang kau lakukan, Tuan?!" teriak Lily berusaha melepaskan cengkraman lintah darat itu.
"Kamu harus ikut denganku, Nona! Jual saja tubuhmu ini padaku agar semua hutangmu selesai. Aku akan menjadikanmu sebagai budakku!"
Bagai cerita lama terulang lagi, Lily menggeleng kuat sambil berusaha melepaskan cengkraman tangan pria menyeramkan itu.
"Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak mau menjadi budak pria mengerikan sepertimu. Tolong lepaskan aku, Tuan! Lepaskan aku!" teriak Lily kemudian menggigit tangan pria tersebut dengan kuat.
"Argh! Kurang ajar! Beraninya kau menggigitku!" teriak rentenir itu. Brandon sontak melepaskan tangannya dari Lily. Pria itu kemudian menampar keras wajah Lily hingga membuatnya tersungkur ke tanah. Kepala Lily sangat pusing dan bahkan dia bisa merasakan sudut bibirnya berdarah.
"Dasar gadis jalang! Lunasi semua hutang-hutangmu!" teriak rentenir tersebut marah.
Brandon rupanya tidak berhenti sampai di sana. Dia menjambak rambut Lily dengan kuat hingga kepalanya mendongak. Lily yang sudah tidak peduli lagi, tersenyum miring kemudian meludahi wajah rentenir tersebut.
"Fuck You!"
"Gadis sial!" geram laki-laki itu. Brandon sekali lagi menghempaskan tubuh Lily ke tanah. Lalu saat ia akan melayangkan pukulan selanjutnya ke wajah gadis itu, sebuah tendangan keras mendarat di punggungnya yang segera membuatnya tersungkur.
"Brengsek!" teriak rentenir tersebut marah. "Siapa yang berani melakukan ini padaku?!" "S-Sebastian?" gumam Lily.
Lily segera memalingkan wajahnya untuk merogoh masker yang tersimpan di saku jaket saat melihat sosok penolongnya. Dia masih mengingat permintaan Sebastian untuk menutupi wajahnya.
Di balik sikapnya yang sangat menyebalkan, Lily sendiri heran kenapa Sebastian selalu muncul di saat yang tepat bak seorang malaikat pelindung baginya.
Tanpa Lily ketahui, Xander bergegas ke tempat di mana Lily berada setelah urusannya dengan sang kakek usai. Pria itu diam-diam mengawasi istri kontraknya itu dari dalam mobil yang terparkir tidak jauh dari posisi gadis itu berada.
"Siapa Kau, hah?!" teriak lintah darat tersebut tidak terima.
Dia bahkan sama sekali tidak tahu kalau Xander-lah sebenarnya yang menyuruh pria itu untuk menakut-nakuti Lily dengan menagih seluruh hutangnya.
Namun, bukan seperti ini yang Xander inginkan. Ia hanya meminta Dario untuk memerintahkan rentenir itu untuk menakut-nakuti Lily dan bukannya menyakiti fisiknya.
Saat melihat Brandon menyakiti Lily, Xander dengan segera turun dari mobilnya untuk menghajar pria kurang ajar itu yang berani menyentuh gadis yang notabene adalah istrinya.
"Siapa aku, sama sekali tidak penting bagimu! Karena kau telah berani menyentuh istriku, maka terimalah akibatnya," desis Xander lalu melayangkan pukulan kerasnya ke arah wajah Brandon.
Dalam keadaan limbung, Brandon kembali menerima tendangan keras di bagian punggungnya hingga dia kembali tersungkur ke tanah tanpa sanggup berdiri lagi.
Xander kemudian membenahi pakaiannya dan menyapu jas menggunakan tangan. Tidak lama kemudian, tampak sosok yang dia kenal berlari kecil ke arahnya.
"Tuan," ucap Dario yang baru datang setelah membeli dua gelas kopi.
"Suruh anak buah membereskan dia, Dario," perintah Xander sambil melemparkan tatapan tajamnya ke arah Brandon yang sudah terkapar tidak sadarkan diri. "Setelah itu, susul aku ke mobil."
"Baik, Tuan," ucap Dario langsung menjalankan perintah.
Xander kemudian menatap Lily yang masih duduk di tempat yang sama. Penampilan gadis itu sungguh kacau dan memprihatinkan. Banyak luka dan lebam di tubuhnya, baik yang lama atau yang baru.
Sebagai manusia, Xander merasa iba melihat kondisi Lily yang seperti itu. Namun sebagai seorang pria, egonya jelas terlalu tinggi. Ia memilih untuk tetap bersikap dingin dan acuh.
Dia memilih untuk tidak mengatakan sepatah katapun pada Lily, tapi tindakan pria itu selanjutnya justru membuat Lily kaget bukan main.
"T-Tuan! Apa yang anda lakukan?!" pekik Lily saat merasakan tubuhnya tiba-tiba dibopong dan dibawa menuju mobilnya.
"Apa kamu tidak bisa melihat kalau aku sedang menggendong mu?" tanya Xander dingin.
"A-aku tahu, t-tapi, untuk apa Tuan menolongku? Tidakkah Tuan marah kepadaku karena aku telah menampar Tuan?" tanya Lily takut.
Mata tajam Xander langsung beralih menatap Lily. Jangan khawatir. Aku tidak akan melupakan hal itu. Dan aku juga tidak melupakan hutangmu yang harus kamu bayar besok. Soal aku menolong mu, ini hanya kebetulan!"
Hati Lily kembali tertusuk saat pria itu mengingatkannya perihal hutang. Walau jujur saja Lily lebih memikirkan kemunculan pria itu yang tiba-tiba.
Entah kenapa Lily yakin bukan kebetulan pria itu menemukan dan menyelamatkannya di sana. Untuk apa juga seorang Sebastian berada di tepian sungai yang sunyi seperti itu di malam hari begini.
"B-benarkah hanya kebetulan, Tuan? Bukan karena Tuan memang sengaja mengawasi ku?"
**