Setelah sembilan belas kehidupan yang penuh penderitaan, Reixa terbangun kembali di usianya yang kesembilan tahun. Kali ini dengan gilanya, Reixa mengangkat seorang pria sebagai ayahnya, meninggalkan keluarganya setelah berhasil membawa kabur banyak uang.
Namun, siapa sangka Reixa membangkitkan kemampuannya dan malah berurusan hal di luar nalar bersama ayah angkatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Yudha memandang Saverio dengan tatapan penuh arti. Wajah pria di hadapannya ini tampak tenang, tapi Yudha tahu bahwa di balik ketenangan itu tersembunyi banyak rahasia. Dulu, Saverio adalah sosok yang menjadi subjek penyelidikan intensif. Keluarga Mareha mencurigainya terlibat dalam insiden yang menyebabkan Reixa menghilang. Namun, Saverio seolah lenyap begitu saja di hari yang sama saat Reixa diculik—menghilang seperti ditelan bumi tanpa jejak.
Meski demikian, beberapa bulan setelah itu, sebuah petunjuk muncul. Rekaman CCTV dari rumah sakit menunjukkan keberadaan Saverio dan Reixa di sana. Tidak lama kemudian, kabar mengejutkan datang: kecelakaan tragis yang menewaskan mereka berdua. Namun, jasad mereka tak pernah ditemukan, meninggalkan misteri yang menggantung hingga kini.
Sejak itu, keluarga Mareha mulai runtuh perlahan-lahan. Perusahaan yang dulu berjaya mengalami kemunduran drastis. Pendapatan menyusut, dan mereka terpaksa meminjam uang untuk menutup kerugian yang terus menumpuk. Konflik internal semakin memperburuk keadaan. Dalam keputusasaan, keluarga Mareha menyalahkan Allarick atas semua kegagalan mereka, mendorong pria itu ke jurang tekanan mental hingga akhirnya kehilangan kewarasan.
"Kalian bisa menginap di sini untuk sementara waktu," suara Saverio memecah lamunan Yudha. Saverio berdiri dengan postur tegap namun santai, matanya menatap langsung ke arah Yudha. "Untuk menjaga Tuan Allarick dan mempercepat proses pemulihannya. Rumah ini cukup luas, dan kami masih memiliki dua kamar kosong yang sudah dibersihkan."
Yudha mengangguk pelan, membuang napas panjang seolah beban berat yang tak kasat mata menghimpit dadanya sedikit mereda. "Terima kasih," ucapnya, suaranya rendah namun tulus.
Saverio hanya mengangguk sebagai balasan, lalu berbalik untuk memeriksa Allarick yang sedang beristirahat di ruang belakang. Yudha memandang punggung pria itu, pikirannya kembali dipenuhi dengan pertanyaan yang tak terjawab. Apa sebenarnya yang terjadi pada Saverio dan Reixa? Dan mengapa Saverio terlihat begitu tenang, seolah tidak ada yang salah dengan semua tragedi yang telah terjadi?
Yudha mengepalkan tangannya, bertekad untuk mencari kebenaran. Jika Saverio tahu sesuatu, dia akan memastikan rahasia itu terbongkar—meskipun harus menggali ke dalam bayang-bayang masa lalu yang penuh luka dan pengkhianatan.
✨
Saverio berdiri di bawah langit malam yang dipenuhi bintang, menatap kosong ke arah cakrawala. Udara malam terasa dingin, namun pikirannya terasa lebih berat daripada angin yang bertiup pelan. Bayangan mimpi-mimpi yang terus menghantuinya selama beberapa malam terakhir melintas kembali di benaknya, membuat alisnya berkerut.
Mimpi itu selalu sama—seorang gadis berusia lima belas tahun dengan rambut ash green tergeletak tak berdaya di hadapannya. Wajahnya yang pucat, tubuhnya yang ringkih, dan tatapan matanya yang kosong membuat hati Saverio terasa berat. Dalam mimpi itu, dia merawat gadis tersebut, mencoba menyelamatkannya dari kegelapan yang membayangi hidupnya. Namun, tiga tahun kemudian, gadis itu ditemukan tewas mengenaskan di tangan seseorang yang seharusnya melindunginya.
Setiap detail mimpi itu terasa nyata—terlalu nyata untuk dianggap hanya sekadar bunga tidur. Gadis itu tampak begitu akrab, meski Saverio tidak bisa mengingat dari mana perasaan itu berasal. Dia menatap langit dengan raut wajah penuh kegelisahan, mencoba menyatukan kepingan-kepingan yang berserakan di pikirannya.
"Seorang gadis dengan rambut ash green…" gumam Saverio pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh desau angin malam. Pikirannya perlahan mengarah pada satu nama, satu sosok yang membuatnya tiba-tiba merasakan kepanikan yang aneh. "Reixa… hanya dia yang memiliki rambut seperti itu."
Saverio menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdebar kencang. “Apakah ini peringatan? Apakah aku sedang melihat masa depan Reixa?” Ia menggeleng pelan, menolak untuk percaya bahwa gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya akan mengalami nasib seburuk itu.
Wajahnya mengeras saat ia memutuskan satu hal. Jika mimpi itu memang adalah gambaran masa depan, maka dia tidak akan tinggal diam. Saverio akan melakukan apa pun untuk memastikan mimpi buruk itu tidak menjadi kenyataan. Dia tidak peduli harus melawan siapa atau apa—Reixa adalah keluarganya, dan dia tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya.
Dengan tekad yang membara, Saverio menatap kembali ke langit. Kilauan bintang-bintang seolah menyampaikan harapan samar. "Aku tidak akan membiarkan itu terjadi," katanya tegas, meskipun hanya malam yang menjadi saksinya. "Reixa adalah putriku, dan aku akan melindunginya. Apa pun yang terjadi."
Saverio menatap langit yang gelap, namun hatinya terasa penuh cahaya. Bintang-bintang yang berkedip memberi rasa harapan yang aneh, seolah-olah alam semesta tahu akan tekadnya. Hanya saja, ada sesuatu yang masih mengganjal di benaknya—sesuatu yang membuatnya tak bisa sepenuhnya tenang.
Setelah beberapa saat berdiri tanpa bergerak, Saverio memutuskan untuk kembali ke rumah. Langkah kakinya terasa berat, namun pikirannya lebih berat lagi. Reixa. Sejak gadis itu datang ke dalam hidupnya, setiap detik rasanya penuh dengan ketegangan yang tak bisa ia lepaskan. Setiap saat yang dilaluinya bersama Reixa membuatnya semakin sadar akan hubungan yang mereka miliki, meskipun itu tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Di dalam rumah, suara langkah kaki Reixa terdengar dari lorong. Dia baru saja pulang. Meskipun Reixa sudah beranjak menjadi seorang gadis muda yang mandiri, Saverio masih merasa perlu untuk melindunginya. Ada ikatan di antara mereka yang tak bisa diputuskan begitu saja—meski mereka tidak selalu sepakat dalam banyak hal, kedekatan yang mereka miliki lebih kuat daripada perbedaan mereka.
Saat Reixa memasuki ruang tamu, dia mendapati Saverio sedang duduk di kursi, tampak tenggelam dalam pikirannya. Senyum kecil tersungging di bibirnya ketika matanya bertemu dengan mata pria itu.
"Ayah, kelihatan lelah sekali," ujar Reixa dengan nada lembut, meskipun nada tersebut tidak bisa sepenuhnya menutupi rasa ingin tahunya yang tajam.
Saverio mengangguk pelan, namun tidak berkata apa-apa. Ia masih mencerna semua yang baru saja dia rasakan. Reixa berjalan mendekat, duduk di sofa di sebelahnya. Ada keheningan yang tak biasa antara mereka—sebuah keheningan yang penuh dengan banyak hal yang belum diungkapkan.
"Apakah kau sudah tidur?" tanya Saverio akhirnya, memecah keheningan dengan suara lembut, namun penuh makna.
Reixa menggeleng, matanya yang penuh keingintahuan menatapnya. "Tidak. Aku hanya berpikir," jawabnya singkat.
Saverio menatapnya lebih dalam, seakan mencoba membaca pikiran gadis itu, namun sepertinya Reixa memiliki cara sendiri untuk menyembunyikan apa yang ada di dalam hati dan pikirannya. Ada sesuatu yang berbeda dalam diri Reixa belakangan ini—sesuatu yang lebih tajam, lebih berbahaya, dan mungkin lebih tahu dari apa yang dia tunjukkan.
"Jaga dirimu, Reixa," ujar Saverio setelah beberapa lama, suaranya hampir berbisik.
Reixa tersenyum, seolah mengerti apa yang ingin disampaikan oleh pria itu. "Tenang saja, Ayah. Aku akan selalu berhati-hati." Meskipun kata-katanya terdengar meyakinkan, ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Saverio tidak bisa sepenuhnya merasa tenang.
Namun, pada akhirnya, yang bisa ia lakukan hanyalah terus mengawasi dan melindungi Reixa. Tak peduli apa yang akan datang, ia tak akan membiarkan apa pun merenggut gadis itu dari hidupnya. Sebuah janji yang terucap di dalam hatinya, suatu ikatan yang tidak akan pernah terputuskan—sebuah perlindungan yang tak akan pernah luntur, apapun yang terjadi.
Di luar rumah, langit malam kembali sunyi. Namun di dalam hati Saverio, ada kegelisahan yang tetap tinggal, menunggu untuk dihadapi.
🐾
Reixa menatap Saverio dengan tatapan menuntut saat dua pria yang sudah lama tidak dia lihat, Yudha dan Allarick, bergabung di meja makan. Wajahnya terlihat tidak sabar, bibirnya sedikit tersenyum nakal, tapi matanya berbicara sebaliknya.
"Ayah, kenapa ada paman Babi Hutan dan anjing setianya di sini?" bisiknya, cukup pelan agar hanya Saverio yang bisa mendengarnya.
Saverio menahan senyum dengan kesabaran yang tak kunjung hilang. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia menginjak kaki Reixa dengan ringan, memberi isyarat agar gadis itu diam.
Reixa meringis pelan, tapi tidak bisa menahan mata tajamnya yang mendelik ke arah ayahnya. Ia merasa sedikit kesal, namun tak bisa menahan diri untuk mengalihkan perhatian pada Yudha dan Allarick, yang sejak tadi terus mencuri-curi pandang ke arahnya.
Dengan nada yang penuh godaan, Reixa membuka suara, "Om berdua tertarik padaku? Maaf, Om, kata ayah, aku masih kecil dan belum pantas buat pacaran."
Tiga pria itu tersedak bersamaan. Suasana di meja makan berubah seketika, dan ada keheningan yang cukup panjang sebelum mereka bisa mengembuskan napas dengan lega. Allarick terlihat memerah, sementara Yudha menatap Reixa dengan canggung, mencoba menahan senyum yang hampir pecah.
Saverio menatap mereka dengan ekspresi datar, namun bisa merasakan perasaan canggung yang mulai meliputi ruangan itu. Reixa, yang tetap duduk dengan santainya, tampak puas dengan reaksi mereka.
"Ah, tidak. Kau terlihat mirip dengan seseorang yang sudah menghilang lima tahun lalu," ujar Yudha dengan nada yang agak berat, mencoba membuka percakapan.
Reixa merasakan tubuhnya menegang mendengar kata-kata itu. Wajahnya tetap tenang, meski di dalam hatinya ada riak gelisah yang mulai muncul. Ia menatap Yudha dengan penuh rasa ingin tahu, berusaha tidak menunjukkan ketegangan yang kini merayapi tubuhnya.
"Benarkah? Apa yang terjadi padanya?" tanya Reixa dengan nada seolah ingin tahu lebih banyak, namun di balik itu, ada kecurigaan yang mulai muncul.
Yudha dan Allarick bertukar pandang sejenak sebelum Yudha melanjutkan, "Dia... Menghilang." Suaranya lirih, penuh penyesalan, dan Reixa bisa melihat mata Allarick yang tampak buram, seolah membawa beban yang tak terucapkan.
Reixa menelan salivanya, pikirannya mulai melayang. "Ini tidak terjadi di semua kehidupanku sebelumnya. Sebaiknya aku harus berhati-hati," pikirnya dalam hati, mencoba menyusun kata-kata yang tepat agar tidak memberi reaksi yang terlalu mencolok.
Ia menatap Saverio, yang kini memandangnya dengan sorot mata yang dalam. Tak perlu kata-kata, karena Reixa tahu, ayahnya sudah mengetahui bahwa hal ini bukan kebetulan. Tapi apa yang ingin dikatakannya? Apakah mereka semua tahu lebih banyak daripada yang ia duga?
Ada keheningan sejenak, dan Reixa merasakan ketegangan di udara. Saat itu, ia menyadari bahwa jawabannya mungkin tidak akan mudah ditemukan, dan sekali lagi, dunia yang ia tinggali kini penuh dengan teka-teki yang harus ia selesaikan sendiri.