Tujuannya untuk membalas dendam sakit hati 7 tahun lalu justru membuat seorang Faza Nawasena terjebak dalam pusara perasaannya sendiri. Belum lagi, perasaan benci yang dibawa Ashana Lazuardi membuat segalanya jadi semakin rumit.
Kesalahpahaman yang belum terpecahkan, membuat hasrat balas dendam Faza semakin menyala. Ashana dan perusahaan ayahnya yang hampir bangkrut, tak memiliki pilihan selain berkata 'ya' pada kesepakatan pernikahan yang menyesakkan itu.
Keduanya seolah berada di dalam lingkaran api, tak peduli ke arah mana mereka berjalan, keduanya akan tetap terbakar.
Antara benci yang mengakar dan cinta yang belum mekar, manakah yang akan menang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hernn Khrnsa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LYTTE 20 — An Accident
“Tinggalkan pria miskin itu, Ashana. Kau tidak akan memiliki masa depan jika terus bersama dengannya. Lupakanlah pria itu dan fokus pada pendidikanmu,” nasehat Danendra..
Ia menentang dengan keras hubungan Ashana dengan Faza. Menurutnya, Faza tak cukup baik dan pantas untuk bisa bersanding dengan putrinya.
Meski sudah diperingatkan berulang kali, tapi Ashana tetap saja menemui pria itu secara diam-diam hingga mengundang amarah sang ayah.
Ashana terisak pelan. “Tapi, aku mencintainya, Yah,” katanya sambil memohon pengertian sang ayah.
Namun, Danendra menggeleng kuat. “Kau ini terlalu dibutakan oleh cinta, Ashana. Ingat, dia hanyalah karyawan biasa di perusahaan kita!” tegasnya setengah berteriak.
Ashana mematung di tempat, mendengar teriakan dan penolakan ayahnya terhadap hubungan percintaannya membuat Ashana tak berdaya atas nama cinta.
“Statusnya dan status kita sangat berbeda, Ashana. Kau masih muda dan tak akan mengerti tentang hal ini,” kata Danendra lagi.
Ia menghampiri sang putri dan meraih kedua bahunya. “Sudahlah, hapus air matamu dan jangan bahas tentang pria itu lagi.”
Ashana mengangguk pasrah. Keputusan sang ayah adalah sesuatu yang mustahil untuk ia tentang. Tapi, bagaimana dengan Faza? Ia sungguh tak bisa berpisah dari pria itu.
Hatinya terluka, tapi ia bisa apa? Antara bakti dan cinta, mana di antara keduanya yang harus ia pilih?
Sementara itu, di luar ruangan, Faza mendengar semua percakapan itu tanpa sengaja. Hatinya terasa diremas seketika dan harga dirinya terluka. Tangannya terkepal kuat, mulai dari hari ini, ia bertekad untuk merubah statusnya.
***
“Sekarang aku bukan pria miskin lagi,” racaunya setengah sadar. Tak terasa air matanya menetes tanpa permisi.
Ia baru terbangun saat mendengar suara Ashana membuka pintu. Matanya mengerjap beberapa saat sebelum akhirnya terbuka sempurna.
“Maaf, apakah aku membangunkanmu?” tanya Ashana saat pria itu terbangun dari tempat tidur dengan wajah yang sedikit sembab habis menangis.
Ashana penasaran kenapa mata pria itu tampak sembab tapi ia urungkan. Bertanya hanya akan membuatnya berpikir bahwa aku mulai peduli. Tidak, tidak, jangan buat dia berpikir bahwa hanya dengan makanan maka aku akan terkesima. Tidak! Pikir, Ashana pendek.
“Kau baru pulang?” tanya Faza seraya menyandarkan tubuhnya pada sandaran dipan. Kepalanya masih terasa berdenyut walau tak separah saat siang tadi.
Ashana memerhatikan gerakan pria itu selama beberapa detik lalu mengangguk pelan. “Ya, aku baru pulang. Tadi ada pasien kecelakaan, karena belum ada dokter jaga yang datang, akhirnya aku membantu ….” Ashana tak melanjutkan ucapannya.
Ia justru berbalik dengan salah tingkah menghadap meja riasnya. Dari cermin di meja riasnya, ia dapat melihat pantulan pria itu. Faza terlihat sedang memijat pelipisnya.
“Apa kau sakit kepala?” tanyanya sedikit khawatir.
Faza mengangguk singkat, “Sejak tadi siang, tapi aku sudah minum obat,” katanya menjelaskan.
“Mau kuperiksa?”
“Itu penawaran khusus atau aku harus menerima tagihan pengobatanku nanti?” ejeknya mencandai Ashana.
Perempuan itu mendelik, “Kau bisa membayar jika kau mau," sahut Ashana ketus.
“Akan kupikirkan nanti,” katanya singkat.
Ashana tak lagi menggubrisnya, “Di bagian mana yang terasa sakit?” tanya Ashana seraya memeriksa Faza.
Pria itu menunjuk bagian kepalanya yang terasa sakit, “Di sebelah sini, terasa berdenyut dan nyeri. Rasa sakitnya kadang membuatku sampai sedikit mau muntah.”
Ashana mengangguk mengerti. “Obat apa yang kau minum?” tanyanya lagi selayaknya seorang dokter.
Faza ragu, jika ia mengatakannya, Ashana pasti tahu seperti apa kondisi dirinya. “Hanya parasetamol,” jawabnya berbohong.
Ashana mengernyit, “Kau hanya mengalami migrain, kau pasti kurang tidur atau sedang merasa stress?”
“Sepertinya itu memang benar,” sahutnya membenarkan diagnosa Ashana.
“Tunggu di sini, aku akan ambilkan kompres dingin, setidaknya itu akan sedikit mengurangi rasa sakit kepalamu,” katanya langsung beranjak ke dapur di lantai bawah untuk mengambil sebaskom air dingin.
Faza kembali menyandarkan kepalanya. “Apa yang akan dirasakannya jika aku mengatakan bahwa dia-lah penyebab semua rasa sakitku?” gumamnya sambil menyentuh kepalanya yang kembali terasa berdenyut.
Faza tersenyum samar ketika membayangkan Ashana akan menangis setelah tahu apa yang dilakukan Danendra padanya. “Aku jadi ingin melihat tangisan penyesalanmu, Ashana.”
***
Tangan kiri Vanya terangkat mengusap air matanya yang luruh ke pipi sedangkan tangan yang lain bergerak mengetuk pintu apartemen. Butuh keberanian yang besar untuk datang ke sini di tengah kesedihan yang dirasakannya.
Melirik arloji di pergelangan tangan kirinya, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Vanya mulai ragu pintu di hadapannya akan terbuka dan seseorang yang paling ingin ia temui muncul.
Tetapi, sesaat sebelum Vanya berbalik pergi, pria itu muncul di ambang pintu dengan wajah terkejutnya. Tak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk langsung memeluk pria miliknya.
Albert tersentak ke belakang, meski agak bingung dengan kehadiran Vanya di depan apartemennya, tapi ia tetap membalas pelukan yang terasa mengekang itu.
Dapat ia rasakan baju tidurnya basah oleh air mata, selama beberapa detik, Albert mengusap punggung Vanya dengan lembut.
Dia pasti sangat sedih, pikirnya. Setelah merasa tangisan Vanya sedikit mereda, pria itu menatap Vanya dan mengusap bekas air mata di pipinya.
“Aku takut,” kata Vanya dengan tangan gemetaran mencengkram lengan Albert tanpa sadar.
“Aku tahu. Tapi, Van, kau tak seharusnya berada di sini,” ucap Albert cemas.
Vanya terbelalak, “Apa? Jadi kau tidak suka aku datang kepadamu?” tanyanya tak percaya.
“Tidak! Bukan begitu, Sayang. Maksudku, ini sudah larut malam dan kau tak seharusnya datang ke mari selarut ini,” jelasnya mencoba membuat Vanya mengerti bahwa dirinya tengah mencemaskan keadaan gadis itu.
Albert menangkup wajah Vanya dengan kedua tangannya namun langsung ditepis kasar oleh Vanya. Ia mundur beberapa langkah dan menatap Albert dengan sorot mata terluka.
“Aku datang karena aku takut dan merindukanmu, tapi … tapi kau sepertinya tidak senang jika aku datang,” kata Vanya, kedua matanya mulai berkaca-kaca.
Albert menggeleng cepat, “Tidak, kau salah paham, Sayang. Aku hanya mencemaskanmu.”
“Bohong!” seru Vanya. “Kau tidak pernah mengerti perasaanku!” teriaknya lalu berbalik pergi dan berlari menjauh.
“Tidak! Vanya! … tunggu!”
Teriakan demi teriakan Albert seolah tak didengarnya. Vanya sudah terlanjur kecewa, yang ia tahu hanyalah terus berlari menjauhi pria itu.
Ia keluar dari lobi apartemen, berbelok ke kanan untuk menyeberang jalan, Vanya tak memerhatikan jalanan di sekitarnya. Ia tak sadar bahwa dari arah yang berlawanan, sebuah mobil melaju dengan kencang ke arahnya.
“Vanya! Awas!” teriak Albert memecah kesunyian malam itu.
***
Cut adegan sampai sini ah biar pada penasaran. Emangnya enak digantung kayak jemuran. 😜
Tunggu update bab berikutnya, ya! 🤣