Hujan deras di tengah malam menyatukan langkah dua orang asing, Dasha dan Gavin di bawah payung yang sama. Keduanya terjebak di sebuah kafe kecil, berbagi cerita yang tak pernah mereka bayangkan akan mengubah hidup masing-masing.
Namun hubungan mereka diuji ketika masa lalu Gavin yang kelam kembali menghantui, dan rahasia besar yang disimpan Dasha mulai terkuak. Saat kepercayaan mulai retak, keduanya harus memilih menghadapi kenyataan bersama atau menyerah pada luka lama yang terus menghantui.
Mampukah Dasha dan Gavin melawan badai yang mengancam hubungan mereka? Ataukah hujan hanya akan menjadi saksi bisu sebuah perpisahan?
Sebuah kisah penuh emosi, pengorbanan, dan perjuangan cinta di tengah derasnya hujan. Jangan lewatkan perjalanan mereka yang menggetarkan hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20
Hari-hari di sekolah bagi Nathan mulai berjalan dengan lebih baik. Meskipun perasaan cemas dan ketakutan sempat menyelimuti dirinya, seiring berjalannya waktu, dia merasa sedikit demi sedikit mulai melupakan rasa takut yang pernah menguasainya. Dasha, yang sangat peduli dengan perkembangan emosional Nathan, mulai membawa anak itu ke seorang psikolog yang sudah lama dikenalnya. Psikolog itu bernama Dr. Maya, seorang ahli terapi anak yang terkenal sabar dan penuh pengertian. Dasha berharap terapi ini bisa membantu Nathan mengatasi trauma dari penculikan yang pernah dia alami.
Pada awalnya, Nathan merasa ragu dan cemas untuk pergi ke sesi terapi, merasa bahwa tidak ada yang bisa memahami perasaannya. Namun, Dr. Maya memiliki cara yang sangat lembut dan penuh perhatian. Setiap sesi dimulai dengan percakapan santai, di mana Dr. Maya lebih banyak mendengarkan daripada berbicara, memberikan ruang bagi Nathan untuk membuka diri tanpa merasa tertekan.
Setiap kali selesai sesi terapi, Nathan merasa sedikit lebih ringan. Ia mulai berbicara lebih banyak tentang sekolah, teman-temannya, dan kegiatan yang ia nikmati. Di kelas, ia mulai lebih percaya diri, walaupun sesekali bayangan tentang penculikan itu muncul dalam pikirannya. Namun, dengan bantuan Dr. Maya, dia belajar untuk mengenali perasaan takutnya dan cara-cara untuk menghadapinya. Dr. Maya mengajarinya teknik pernapasan dan meditasi yang membantunya merasa lebih tenang.
Hari-hari di sekolah pun semakin cerah. Nathan tidak lagi merasa terasingkan atau takut akan orang-orang di sekitarnya. Ia kembali bergaul dengan teman-temannya, bermain sepak bola di halaman sekolah, dan tertawa bersama. Meski kadang-kadang ia merasa sedikit teringat pada kejadian yang menakutkan itu, rasa takut itu tidak lagi menguasainya.
Di rumah, Dasha dan Gavin melihat perubahan positif pada Nathan. Setiap kali mereka menanyakan tentang hari-harinya di sekolah, Nathan akan menceritakan dengan senyum di wajahnya. “Hari ini aku bermain dengan teman-teman baru, Bunda,” katanya dengan ceria. "Mereka baik banget, Bunda. Aku senang."
Dasha merasa terharu melihat perubahan itu. “Aku senang kamu bisa merasa lebih baik, sayang,” jawabnya, memeluk Nathan dengan lembut.
Namun, meskipun Nathan sudah mulai merasa lebih baik, Dasha tetap memantau perkembangan emosionalnya dengan hati-hati. Ia tahu bahwa meskipun Nathan tampak lebih bahagia, kenangan buruk dari masa lalu bisa muncul kapan saja. Itu sebabnya, Dasha selalu mendampinginya, memastikan bahwa Nathan tidak merasa sendiri.
Pada satu sore, setelah sesi terapi yang keempat, Nathan pulang dengan wajah yang lebih cerah. Dr. Maya memberikan pujian atas kemajuan yang telah dicapai Nathan. “Kamu hebat, Nathan. Aku bisa melihat betapa kuatnya dirimu. Ingat, jika kamu merasa takut atau cemas, kamu bisa berbicara kepada kami kapan saja.”
Nathan tersenyum malu, sedikit ragu. "Makasih, Dr. Maya. Aku rasa... aku mulai merasa lebih baik."
Sesampainya di rumah, Gavin dan Dasha menyambut Nathan dengan senyum. “Bagaimana hari ini, sayang?” tanya Gavin, duduk di sebelah Nathan.
“Aku merasa lebih baik, Papa,” jawab Nathan, wajahnya berseri-seri. “Aku suka sesi terapi itu. Dr. Maya bilang aku sudah berkembang pesat!”
Gavin menepuk kepala Nathan dengan penuh kasih. “Kami bangga padamu, Nathan. Kamu sangat kuat.”
Hari-hari berlalu, dan meskipun trauma masa lalu masih terkadang menyelinap ke dalam pikiran Nathan, ia belajar untuk menghadapinya. Sesi terapi yang konsisten membantu dirinya untuk tidak terjebak dalam ketakutan itu lagi. Sebagai keluarga, mereka terus memberikan dukungan yang penuh kasih dan perhatian, memastikan bahwa Nathan merasa aman dan dicintai setiap saat.
Dengan waktu, ingatan tentang penculikan itu mulai pudar sedikit demi sedikit. Nathan mulai lebih fokus pada masa depannya, pada mimpi-mimpinya, dan pada hal-hal yang menyenangkannya. Seiring berjalannya waktu, ia kembali menjadi anak yang ceria, penuh harapan, dan penuh rasa ingin tahu terhadap dunia di sekitarnya.
Setiap pagi, saat berangkat ke sekolah, Nathan berjalan dengan langkah yang lebih ringan, menyadari bahwa dirinya tidak lagi dibayangi ketakutan yang dulu menghantuinya. Dia tahu bahwa meskipun dunia ini bisa penuh dengan ketidakpastian, dia punya keluarga yang selalu siap melindunginya, dan itu memberinya kekuatan untuk menghadapi apapun yang akan datang.
.
.
.
.
Dasha selalu merasa bahwa hidupnya telah diberkahi dengan banyak hal yang luar biasa. Salah satunya adalah memiliki suami yang sangat ia cintai, Gavin, serta seorang anak tiri yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya, Nathan. Meskipun pernikahan mereka baru berjalan beberapa tahun, Dasha merasa ikatan mereka sudah sangat kuat.
Setiap pagi, Dasha selalu memulai harinya dengan senyuman melihat Gavin yang sedang sibuk menyiapkan sarapan. Dasha tahu betul betapa kerasnya Gavin bekerja, baik di kantor maupun untuk keluarga mereka.
"Sayang, sarapan sudah siap. Aku buatkan roti panggang kesukaanmu," kata Dasha dengan lembut sambil menyajikan sarapan di meja makan.
Gavin menatap istrinya dengan penuh cinta. "Terima kasih, Dash. Kamu selalu tahu apa yang aku butuhkan," jawabnya dengan senyum hangat.
Nathan, yang baru saja bangun, datang ke meja makan dengan mata setengah terpejam. Dasha sudah terbiasa dengan kebiasaan Nathan yang selalu agak susah bangun pagi. Namun, dengan penuh kasih sayang, dia memanggil, "Nathan, ayo sayang, makan dulu supaya kamu bisa siap untuk sekolah."
Nathan tersenyum dan mendekat. "Terima kasih, Bunda," katanya pelan. Meskipun kadang-kadang Nathan masih merasa canggung karena masa lalunya yang penuh ketakutan, Dasha merasa sangat bahagia bisa menjadi sosok yang menenangkan bagi anak itu.
Dasha dan Nathan memiliki hubungan yang sangat istimewa. Sejak pertama kali Gavin memperkenalkan Dasha sebagai pasangan hidupnya, Nathan sempat merasa ragu akan perubahan dalam hidupnya. Namun, Dasha tidak menyerah. Ia selalu memperlakukan Nathan dengan penuh kasih sayang, memberikan perhatian, dan mendengarkan setiap ceritanya.
Salah satu momen yang selalu Dasha ingat adalah ketika Nathan merasa takut dan gelisah setelah peristiwa penculikan yang mengganggu emosinya. Dasha, dengan sabar, memeluk Nathan dan berkata, "Kamu tak perlu khawatir, aku akan selalu ada untukmu, seperti halnya aku ada untuk Papa Gavin."
Nathan yang masih kecil itu perlahan mulai merasa nyaman, merasa bahwa dia bukan lagi hanya anak tiri, tetapi benar-benar bagian dari keluarga ini. Setiap kali mereka menghabiskan waktu bersama, baik itu sekadar bermain, memasak, atau hanya bercakap-cakap, Dasha semakin yakin bahwa ia telah menjadi ibu bagi Nathan dalam segala hal.
Suatu akhir pekan, Dasha memutuskan untuk mengajak Gavin dan Nathan berlibur kecil ke sebuah taman dekat rumah mereka. Mereka berjalan-jalan santai, menikmati udara segar dan menikmati kebersamaan. Dasha merasa sangat bahagia bisa melihat suaminya dan anak tirinya tertawa bersama.
“Papa, ayo lari ke sana!” Nathan berteriak penuh semangat, menunjuk ke arah sebuah pohon besar. Gavin, dengan senyuman lebar, mengikuti ajakan Nathan. Mereka berlari bersama, dan Dasha hanya bisa tersenyum melihat keduanya.
Setelah berlari, mereka berhenti di sebuah bangku taman. Gavin duduk sambil menarik napas panjang. "Aku rasa, Dash, kita sudah punya semuanya, ya?"
Dasha tersenyum penuh cinta. "Iya, Sayang. Kita sudah lengkap. Aku merasa sangat bersyukur dengan kalian berdua."
Nathan yang mendengarnya mengangguk dan berkata dengan tulus, "Aku juga senang punya Bunda."
Dasha merasa hatinya meluap dengan kebahagiaan. Rasanya, tidak ada yang lebih indah daripada melihat anak tirinya yang dulu ragu, kini bisa merasakan kasih sayangnya. Dasha tahu, meskipun tidak dilahirkan oleh dirinya, Nathan adalah anak yang selalu ia cintai dan akan ia jaga dengan sepenuh hati.
Hubungan Dasha dengan Gavin dan Nathan bukan hanya tentang peran seorang istri dan ibu tiri, tetapi tentang cinta tanpa syarat. Dasha selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarga kecilnya, dan ia merasa bahwa kasih sayang yang ia berikan kepada Nathan, begitu juga kepada Gavin, akan selalu kembali dengan cara yang tak terduga dengan kebahagiaan, tawa, dan kenangan manis bersama.
Pada akhirnya, Dasha tahu bahwa meskipun jalan hidup mereka tidak selalu mudah, dengan cinta yang tulus, mereka bisa melewati segalanya bersama, seperti keluarga sejati.