"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjaga di Puncak Dunia
Kelompok Rangga akhirnya mencapai puncak pegunungan bersalju, tempat penjaga terakhir tinggal. Namun, penjaga itu, Ki Pandu Wulung, menolak membantu mereka tanpa alasan yang jelas. Rangga harus menghadapi ujian terakhir untuk membuktikan dirinya layak menerima ilmu paling rahasia dari Tapak Angin Kendan. Di tengah ujian, bahaya besar muncul, memaksa mereka semua bekerja sama untuk bertahan hidup.
---
Angin berhembus dengan kekuatan yang hampir mengguncang tubuh Rangga dan kelompoknya. Mereka berdiri di depan sebuah gubuk kecil yang tampak seperti titik kecil di tengah dataran bersalju yang luas. Atap gubuk itu dipenuhi lapisan es, dan asap tipis keluar dari cerobongnya, tanda kehidupan di dalamnya.
“Ini tempatnya,” kata Ki Arya dengan suara berat. “Ki Pandu Wulung tinggal di sini. Tapi jangan berharap sambutan hangat.”
“Setelah semua ini?” Larasati bergumam sambil menggosok tangannya yang dingin. “Kalau dia tidak membantu kita, aku sendiri yang akan memaksanya.”
Ki Jayeng tersenyum kecil di tengah keseriusan suasana. “Tenang, Laras. Penjaga seperti Ki Pandu tidak mudah dibujuk, apalagi dipaksa.”
Rangga melangkah maju, mengetuk pintu kayu itu dengan hati-hati. Tidak ada jawaban. Ia mengetuk lagi, kali ini lebih keras.
“Masuk saja,” terdengar suara serak dari dalam, membuat mereka semua terkejut.
Rangga membuka pintu perlahan. Di dalam, mereka melihat seorang pria tua dengan tubuh kurus namun berotot, duduk di depan perapian kecil. Rambutnya panjang dan memutih, wajahnya penuh dengan kerutan, tetapi matanya tajam seperti elang.
“Jadi, kalian akhirnya datang,” kata Ki Pandu tanpa menoleh.
Ki Arya melangkah ke depan. “Pandu, ini penerus Tapak Angin Kendan. Dia membutuhkan bantuanmu untuk melanjutkan perjalanannya.”
Ki Pandu tertawa kecil, tetapi nadanya dingin. “Bantuan? Apa aku terlihat seperti seseorang yang peduli dengan perjalanan anak muda ini?”
Rangga mengepalkan tangannya. “Kalau kau tidak peduli, kenapa kau tinggal di tempat terpencil ini? Kenapa kau menjaga bagian dari ilmu ini?”
Ki Pandu menatapnya dengan pandangan tajam. “Kau berani sekali, anak muda. Tapi keberanian saja tidak cukup. Buktikan bahwa kau layak.”
---
Ki Pandu membawa mereka keluar ke dataran bersalju. Di tengah dataran itu, sebuah lingkaran batu berdiri tegak, dikelilingi oleh simbol-simbol kuno yang tampak akrab bagi Rangga.
“Lingkaran ini adalah tempat ujian,” kata Ki Pandu. “Jika kau ingin mendapatkan bagian terakhir dari Tapak Angin Kendan, kau harus melewati ujian ini. Tapi ingat, ujian ini bukan hanya soal kekuatan.”
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Rangga, berdiri di tengah lingkaran batu.
Ki Pandu mengetuk tanah dengan tongkatnya, dan seketika, angin kencang berputar di sekitar lingkaran itu. Dari dalam angin, muncul bayangan-bayangan gelap berbentuk manusia, dengan mata merah menyala.
“Lawan mereka,” kata Ki Pandu. “Dan tunjukkan bahwa kau memahami inti dari Tapak Angin Kendan.”
Rangga mengangkat tongkat kayunya, bersiap menghadapi serangan dari bayangan-bayangan itu. Namun, saat ia menyerang, tongkatnya hanya melewati tubuh bayangan itu tanpa melukai mereka.
“Apa ini?” tanya Rangga, kebingungan.
Ki Pandu menggeleng. “Kekuatan fisikmu tidak berguna di sini. Kau harus menggunakan apa yang telah kau pelajari.”
Rangga mencoba mengingat semua yang diajarkan oleh Ki Jayeng, Ki Rajendra, dan Ki Arya. Ia memejamkan mata, merasakan aliran angin di sekelilingnya. Perlahan, ia membiarkan tubuhnya bergerak mengikuti irama angin, menghindari serangan bayangan dengan gerakan yang halus dan efisien.
Namun, bayangan-bayangan itu terus menyerang, memaksanya untuk berpikir lebih cepat. Ia menyadari bahwa mereka bukan musuh yang bisa dihancurkan, tetapi sesuatu yang harus ia jinakkan.
Rangga menggerakkan tangannya, menciptakan pusaran angin kecil di sekelilingnya. Dengan fokus penuh, ia memperbesar pusaran itu hingga cukup kuat untuk menyerap bayangan-bayangan itu ke dalamnya.
Saat pusaran angin itu berhenti, lingkaran batu kembali sunyi. Bayangan-bayangan itu menghilang, dan angin di sekitar Rangga mereda.
“Bagus,” kata Ki Pandu dengan nada datar. “Tapi itu baru awal.”
---
Sebelum Ki Pandu bisa melanjutkan, suara gemuruh terdengar dari arah pegunungan. Dari kejauhan, salju mulai runtuh, dan angin yang lebih dingin membawa aroma bahaya.
“Mereka datang,” kata Ki Pandu, wajahnya berubah tegang.
“Siapa?” tanya Larasati dengan nada panik.
Ki Pandu menunjuk ke arah pegunungan, di mana sekelompok pria berpakaian hitam muncul, membawa senjata dan panji-panji aliran hitam.
“Musuhmu,” jawabnya. “Dan ujian terakhirmu.”
Rangga menatap kelompok itu dengan tekad. “Kalau begitu, aku akan melawan mereka. Bersama-sama.”
Ki Jayeng dan Ki Arya berdiri di sampingnya, siap untuk bertarung. Larasati, meskipun gugup, mengambil posisi di belakang dengan batu besar di tangannya.
“Ini bukan hanya tentang Tapak Angin Kendan,” kata Ki Pandu. “Ini tentang melindungi apa yang kau yakini.”
Rangga mengangguk, menggenggam tongkatnya lebih erat. “Kalau begitu, ayo kita hadapi mereka.”
---
Rangga berhasil melewati ujian awal dari Ki Pandu, tetapi musuh aliran hitam membawa ancaman baru yang memaksa mereka bertarung untuk bertahan hidup.
---
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya