Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27.
Erna menatap remaja didepannya. Beberapa orang memang sempat melirik dan menoleh ke arahnya karena penasaran tapi tak ada yang mau ambil tahu tentang masalahnya.
"Hanya sedikit sakit, sebentar lagi juga sembuh." Erna mecoba tersenyum. Tapi karena senyumnya bercampur menahan sakit jadi wajahnya terlihat lucu.
Lagi pula Erna tak terbiasa dengan keramahan orang yang tidak dikenalnya.
"Ooo," Sahut pemuda itu. "Perlu bantuan?"
"Apa?" Erna tak faham maksudnya. Pemuda itu hanya menunjuk ke arah kaki Erna dengan isyarat mulutnya.
"Oh...ah...tak perlu. Cuma sakit sedikit." Erna menolaknya.
"Tak perlu khawatir. Saya tidak memungut bayaran kok." Pemuda itu jongkok di depan Erna.
Erna sontak mundur. Akibat gerakan tiba-tiba tersebut wajahnya kembali meringis. Sakit.
"Bagaimana rasanya, sakit kan?" Pemuda itu tersenyum. "Jika dibiarkan terlalu lama urat kaki kamu akan mengeras. Jika kamu pergi ke tukang urut pun akan dua kali lebih sakit saat diurut." Erna jadi ragu. Dia memang tak tahan sakit. Jika benar dua kali lebih sakit dari sekarang apa dia tidak pingsan nanti?
Erna tenggelam dalam pemikirannya ketika tangan pemuda itu meraih kakinya. Sontak wajah Erna berubah merah karena jengah.
Belum sempat dia menegur atas ketidaksopanannya, pemuda itu sudah meluruskan kakinya yang terkilir. Pencet sana pencet sini dalam hitungan detik pemuda itu melepaskan pegangannya.
Sambil berdiri pemuda itu berkata, "Sekarang kamu sudah bisa menggerakkan kakinya tanpa rasa sakit. Maaf karena telah bertindak tanpa izin." Pemuda itu langsung berlalu memasuki Minimarket meninggalkan Erna tak percaya. Mana ada menyembuhkan terkilir secepat itu. Itu pasti akal-akalan pemuda kurang kerjaan itu.
Erna memberengut. Tapi dia tak marah. Mau marah kepada siapa? Pemuda jail itu sudah tak ada lagi di hadapannya.
Dengan iseng Erna mencoba menggerakkan kakinya, ternyata tidak terasa sakit. Jantungnya berdebar. Apakah ini cuma perasaannya saja? Dia berdiri dan mencoba melangkah, tidak terasa sakit sama sekali. Dia seakan tak percaya. Apakah ini dia sedang berhalusinasi? Jika ini adalah kenyataan, bagaimana bisa kakinya sembuh secepat itu?
Erna mengangkat dan menghentakkan kakinya dengan pelan. Dia tak peduli dengan pandangan aneh dari orang-orang yang datang berbelanja di Minimarket ini. Dia sedang fokus pada kondisi kakinya yang sembuh dengan sangat cepat.
Erna tiba-tiba tersentak. Jika pemuda jail tadi bisa menyembuhkan kakinya akibat terkilir, apakah dia mampu juga menyembuhkan sakit ayahnya?
Tapi tidak mungkin. Dia bukan tabib misterius itu yang bisa mengobati penyakit yang tak bisa disembuhkan, Erna menolak pemikirannya yang nyeleneh itu.
Dalam pada itu Mumu baru saja selesai belanja. Setelah membayar di kasir Mumu langsung menuju motornya.
Melalui sudut matanya Mumu melihat gadis yang ditolong tadi masih berdiri di sana. Tapi Mumu tidak berusaha untuk menyapanya. Nanti apa pula tanggapan gadis itu terhadapnya.
Setelah memasukkan belanjaannya di jok motor, Mumu langsung pulang ke kediaman barunya.
Seandainya Mumu menoleh ke belakang atau melihat lewat kaca spion akan tampaklah gadis yang ditolong tadi ternyata membututinya bak intel.
...****************...
Iwan, pria berusia tiga puluh tujuh tahun sedang termenung di depan rumah peninggalan orang tuanya dalam keadaan galau. Saat ini dia tinggal sendirian. Istrinya sedang mengambil upah nyuci dan nyetrika pakaian di rumah tetangga. Karena sekolah masih libur, anak gadisnya ikut ibunya bantu-bantu nyuci dan nyetrika.
Dulu, saat Iwan masih sehat, istri dan anaknya tak perlu bertungkus lumus mencari uang. Dengan penghasilannya sebagai tukang jahit pakaian cukuplah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah Fatma anak gadisnya.
Tapi semenjak kecelakaan yang mengakibatkan kaki kirinya patah, kehidupan mereka mulai berubah. Iwan walaupun masih tetap bisa bekerja menjahit tapi hasilnya lima kali lebih lambat ketika dia masih sehat dulu, akibatnya banyak pelanggan yang pergi beralih ke penjahit yang lain.
Penghasilannya turun drastis, gaji istrinya sebagai guru TK yang tidak seberapa ditambah lagi dengan biaya sekolah anaknya belum lagi harga kebutuhan pokok yang melonjak naik membuat kehidupan keluarga kecilnya menderita.
Itu lah sebabnya Rodiah, istrinya yang baik hati itu berusaha mencari penghasilan tambahan dengan mengambil upah mencuci dan menyetrika pakaian para tetangganya demi mengurangi beban hidup mereka.
Walaupun tulang kaki Iwan yang patah sudah tersambung dan sembuh berkat pengobatan dokter di RSUD, tapi entah kenapa kakinya kini menjadi kurang bertenaga. Jika digerakkan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
Mau periksa ke dokter tapi mereka tak punya uang lagi.
Sedangkan untuk operasi tulang kakinya duku, istrinya Rodiah terpaksa menjual satu-satunya emas yang menjadi mahar perkawinan mereka.
Iwan masih ingat raut kesedihan di wajah istrinya kala itu tapi demi kesembuhan dirinya, tanpa banyak bicara, tiada keluh kesah Rodiah pun menjual emas tersebut.
Sebenarnya biaya pengobatan akibat kecelakaan bisa ditanggung oleh BPJS. Tapi menurut pihak RSUD kecelakaan yang dialami Iwan ini merupakan empat jenis kecelakaan yang tidak termasuk ke dalam tanggungan BPJS.
Iwan hanyalah masyarakat kecil. Dia tak paham urusan dan peraturan seperti itu. Yang dia tahu adalah bagaimana dia bisa sembuh dan kembali bekerja.
Iwan sudah bertekad dalam hati bahwa dia pasti akan mengganti emas milik istri tercintanya itu.
Tapi mungkin Tuhan sedang menguji kesabaran keluarga kecil mereka.
Walaupun sudah dilakukan operasi dan tulang kakinya sudah dinyatakan sembuh, Iwan belum mampu bekerja seperti mana biasanya. Ternyata timbul masalah lain dikakinya.
Menurut tetangganya, Iwan harus berobat ke dokter spesialis saraf jika ingin sembuh total karena sakitnya ini berkenaan dengan urat saraf.
Di masa serba sulit ini jangankan ke dokter spesialis, untuk membeli beras bagi keluarga kecil mereka saja susah minta ampun.
Istrinya yang pendiam itu telah beberapa kali menebalkan muka dan telinga dengan berhutang beras di kedai sebelah.
Sesekali timbul gejolak di hati untuk mengakhiri masalah ini dengan cara yang dimurkai Tuhan, tapi setiap kali mengingat wajah istri dan anaknya yang akan ditinggalkannya, Iwan kembali tersadar bahwa tindakan yang terniat di hatinya itu adalah sebuah kesalahan yang fatal.
Masalah itu bukanlah harus dihindari dengan cara yang salah tapi harus dihadapi dengan cara yang benar.
Iwan terbangun dari lamunannya yang panjang saat melihat istri dan anaknya sudah pulang dengan menenteng sesuatu. Apakah istrinya sudah mendapatkan upah mencuci baju?
Tapi ini bukan saatnya untuk bertanya karena ada dua orang anak muda yang berjalan bersama istri dan anaknya.
Iwan melihat wajah mereka tapi dia yakin bahwa dia belum pernah mengenalnya. Yang satu bertubuh gendut yang satunya lagi berperawakan biasa-biasa saja. Tidak kurus dan juga tidak gemuk.
Istrinya menunjuk ke arah anak muda yang gemuk itu dan berkata, "Ini Risnaldi, Yah, cucunya Wan Jumita." Iwan kenal sosok Wan Jumita yang juga termasuk tetangga mereka walaupun rumahnya agak jauh dari rumah mereka.
"Dan yang ini," Istrinya menunjuk ke arah anak muda yang satunya lagi, "Mumu, temannya Risnaldi. Dia seorang tabib, mungkin dia bisa mengobati kaki Ayah nanti."
Iwan pun bersalaman dengan kedua anak muda tersebut dan mempersilahkan mereka masuk ke dalam rumah.
Tatapannya mengunci sosok anak muda yang bernama Mumu, "Apakah benar kamu seorang tabib, Dik? Bisakah kamu menyembuhkan kaki saya?" Tanya Iwan dengan penuh harap.