Kalila Maizah, seorang gadis yang bercita-cita ingin menikah dengan seorang bule. Saat bermain Instagram, diberanda nya lewat unggahan seorang pengusaha bersama rekannya. Maizah yang pada dasarnya pecinta cowok ganteng langsung gercep mencari Instagram si bule ganteng yang ada di dalam unggahan itu.
Maizah tidak nyangka bahwa dia diikuti balik oleh bule itu! Bahkan dia minta untuk ditampar oleh temannya saking tidak percayanya.
Bagaimanakah kisah Maizah selanjutnya? Bagaimana dia bisa mendapatkan cita bule itu? Mampukah dia mewujudkan impian untuk menikah dengan bule?
Saksikan kisah nya dengan membaca cerita ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mawar Jk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 23
Pagi itu juga pukul sembilan lewat Maizah dan Arvid berpamitan pulang setelah acara rujak jambu air. Arvid tidak menyukainya, bule itu hanya memakan jambu tanpa bumbu rujak.
"Nanti ke sini lagi ya," pesan Melati hangat, dibalas anggukan penuh semangat dari Maizah dan Arvid.
"Iya, Ma," jawab Maizah seraya mencium tangan Melati. Secara bergantian pasangan suami istri itu menyalimi keluarga Maizah.
Suasana rumah masih ramai dengan obrolan antar anggota keluarga. Arvid, dengan sigap, menyambar kesempatan saat Lily dan Lisa sibuk memperhatikan percakapan orang dewasa. Ia memanggil mereka berdua mendekat.
"Kenapa, Kak?" tanya Lily penasaran.
"Ini ada uang jajan untuk kalian," ucap Arvid sambil mengeluarkan lima lembar uang seratus ribu rupiah untuk tiap-tiap gadis kecil itu.
Mata Lily dan Lisa melebar tak percaya. Uang merah itu tampak begitu menawan di tangan mereka.
"Wahhh... makasih ya, Kak!" seru mereka berdua kompak, wajah mereka merekah dalam senyum bahagia. Sebagai ungkapan terima kasih, mereka berdua mencium tangan Arvid dengan penuh hormat.
"Sama-sama," jawab Arvid tersenyum.
"Ayo, by, kita pulang."
Arvid dan Maizah masuk ke dalam mobil. Sebelum mobil melaju, Maizah menurunkan kaca mobil dan melambaikan tangan kepada Lily, Lisa, Melati, Akhdan, Faridah, Dahlia dan Daia yang masih berdiri di halaman rumah.
"Dadah...." teriak Lily dan Lisa bersamaan, tangan mereka melambai-lambaikan hingga mobil Arvid dan Maizah menghilang di balik tikungan jalan.
Begitu mobil itu lenyap dari pandangan, Lily dan Lisa berlari ke dalam rumah mengikuti para orang tua, semangat mereka meluap-luap. Lily dan Lisa memberitahukan soal uang itu pada kedua orang tuanya.
"Ma, kita dikasih ini sama Kak Arvid!" seru mereka berdua, menunjukkan uang yang masih tergenggam erat di tangan mereka.
"Kapan? Kok kita nggak lihat?" tanya Dahlia heran, sementara Melati juga tampak terkejut.
"Tadi pas kalian lagi ngobrol-ngobrol," jawab Lisa, diangguki Lily.
Melati dan Dahlia saling berpandangan. Mereka baru menyadari bahwa mereka begitu asyik mengobrol hingga tidak menyadari aksi diam-diam Arvid.
"Banyak banget, berapa itu?" tanya Melati, matanya tertuju pada tumpukan uang merah di tangan Lily dan Lisa.
Lily dan Lisa mulai menghitung uang itu dengan penuh kegembiraan. "Satu... dua... tiga... empat... lima... Lima ratus ribu, Ma!" seru Lily, suaranya penuh takjub.
"Mau Mama yang simpan uangnya?" tanya Melati lembut.
"Iya, tapi mau ambil seratus ribu untuk ke Indomart," jawab Lily, matanya berbinar-binar membayangkan berbagai macam permen dan jajanan yang akan dibelinya.
"Yaudah," jawab Melati, tersenyum melihat betapa bahagianya kedua gadis itu.
"Yeyyy...." sorak Lily dan Lisa bersamaan, melompat-lompat kegirangan.
"Sebenarnya Ibu juga dikasih uang sama Arvid tadi," ujar Faridah lirih, suaranya hampir tak terdengar di tengah langkah kaki mereka yang memasuki rumah, lalu mereka duduk di ruang keluarga
Kalimat itu langsung menggantung di udara, membuat semua orang terdiam. Pandangan mereka tertuju pada wanita tua itu, penuh tanda tanya.
"Tadi juga, bu?" Tanya Dahlia. Wanita tua itu mengangguk sebagia jawaban.
"Berapa bu?" Tanya Dahlia lagi.
Faridah mengambil amplop putih yang masih di pegangnya, mengeluarkan lembaran-lembaran uang merah itu. Satu per satu, ia menghitungnya dengan teliti.
"Dua juta," jawabnya akhirnya, suaranya masih bergetar. Angka itu menggantung di udara, terasa begitu besar, begitu tak terduga.
Mata Dahlia, Melati, dan Akhdan melebar tak percaya. Dua juta rupiah! Jumlah yang sangat fantastis bagi mereka yang hidup di desa kecil itu.
"Banyak banget," gumam Melati, suaranya terkesima. Uang sebanyak itu, diberikan begitu saja, tanpa pamrih. Di desa mereka, jumlah sebesar itu sudah sangat luar biasa.
"Memang sultan bule itu," kata Dahlia, masih tak percaya. "Beruntung sekali Maizah mendapatkannya."
Tiba-tiba, ponsel Melati berdering, notifikasi pesan masuk. Ia meraih ponselnya, matanya kembali melebar, kali ini karena terkejut. Wajahnya pucat, bibirnya sedikit gemetar.
"Ada apa, Ma?" tanya Akhdan, khawatir melihat perubahan ekspresi istrinya. Melati hanya menunjuk layar ponselnya tanpa berkata-kata.
Akhdan mengambil ponsel itu dari tangan Melati, lalu membaca pesan tersebut. Matanya terpaku pada angka yang tertera di layar, Ia menghela napas panjang, wajahnya tampak serius.
"Ada apa, Kak?" tanya Dahlia, penasaran.
"Ada notifikasi dari bank," kata Akhdan, suaranya terdengar berat. "Ada uang sebesar sepuluh juta rupiah masuk ke rekening kita."
"Wahhh... gila!" seru Dahlia, tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. Sepuluh juta rupiah! Jumlah yang bahkan tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Keheningan kembali menyelimuti ruangan. Kegembiraan bercampur dengan kekhawatiran. Akhdan memecah keheningan itu.
"Aku jadi khawatir sama Maizah," katanya pelan, suaranya terdengar penuh keraguan.
"Apakah dia diperlakukan baik oleh mereka? Bukannya aku mau menuduh, tapi orang kaya biasanya banyak yang bersikap sewenang-wenang." Sebagai seorang ayah, rasa khawatirnya terhadap putri tercintanya begitu besar.
Dahlia menaruh tangannya di pundak Akhdan, memberikan dukungan. "Tapi Arvid anaknya baik kok, Kak," katanya lembut. "Kita doakan saja semoga dia tidak berubah, dan bisa menyayangi dan melindungi Maizah kita."
Akhdan mengangguk pelan. Ia tahu Dahlia benar. Arvid memang tampak baik hati, namun kekhawatirannya sebagai seorang ayah tetap tak bisa dihindarkan.
Mereka hanya bisa berdoa, berharap yang terbaik untuk Maizah, putri mereka yang menjadi tanggung jawab Arvid, sebagai suaminya.
.
.
"By," panggil Maizah lembut pada Arvid yang duduk di sampingnya, tangannya masih tergenggam erat.
Arvid menoleh, senyumnya merekah. "Kenapa honey? Hm?" tanyanya, suaranya penuh kelembutan.
"Kita beliin Citra dan Putri roti ya," pinta Maizah.
"Iya, di depan nanti kita singgah." Kata Arvid seraya mengecup tangan Maizah yang ada di genggamnya.
"Pak, nanti singgah kalau ada toko roti ya," Maizah berpesan pada supir mereka yang duduk di depan.
"Baik, dek."
Mobil itu berhenti saat lampu merah. Mobil mereka di ketuk oleh seorang anak perempuan kecil yang membawa tissu dan kerupuk.
"Tissunya kak, kerupuk nya kak," ucap gadis kecil itu.
Maizah segera mengambil uang dari tas selempang nya lalu membuka kaca mobil. "Berapa itu dek?" Tanya Maizah.
"Lima ribu kak satu kak, kerupuknya sepuluh ribu," jawab anak kecil itu.
"Yaudah kak beli tissu satu ya,"
Dengan semangat anak kecil itu mengambil satu tissu lalu memberikannya pada Maizah. "Ini kak,"
"Loh kok uangnya banyak sekali kak," kata anak itu lagi saat Maizah memberikannya uang merah tiga lembar.
"Enggak papa bonus untuk anak yang hebat kamu kamu, semangat ya dek." Ucap Maizah seraya tersenyum, matanya berkaca-kaca.
"Makasih banyak kak,"
Lampu lalu lintas sudah berwarna hijau hingga Maizah menyuruh anak itu ke pergi. Maizah mengusap jejak air matanya.
"Aku sedih, anak sekecil itu sudah harus bekerja, bukannya sekolah." Ucap Maizah mengadu pada Arvid.
Arvid tidak menjawab, dia hanya memeluk dan mengusap punggung istrinya dengan lembut. Ia mengerti perasaan Maizah. Bukan hanya sekadar belas kasihan, melainkan rasa iba yang mendalam melihat realita kehidupan yang keras.
Tbc.
...Jangan lupa like dan komen ya gess...
^^^Mawar Jk^^^