Sulit mencari pekerjaan, dengan terpaksa Dara bekerja kepada kenalan ibunya, seorang eksportir belut. Bosnya baik, bahkan ingin mengangkatnya sebagai anak.
Namun, istri muda bosnya tidak sepakat. Telah menatapnya dengan sinis sejak ia tiba. Para pekerja yang lain juga tidak menerimanya. Ada Siti yang terang-terangan memusuhinya karena merasa pekerjaannya direbut. Ada Pak WIra yang terus berusaha mengusirnya.
Apalagi, ternyata yang diekspor bukan hanya belut, melainkan juga ular.
Dara hampir pingsan ketika melihat ular-ular itu dibantai. Ia merasa ada di dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh permusuhan, lendir dan darah. Ia tidak betah, ia ingin pulang.
Lalu ia melihat lelaki itu, lelaki misterius yang membuatnya tergila-gila, dan ia tak lagi ingin pulang.
Suatu pagi, ia berakhir terbaring tanpa nyawa di bak penuh belut.
Siapa yang menghabisi nyawanya?
Dan siapa lelaki misterius yang dilihat Dara, dan membuatnya memutuskan untuk bertahan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Delapan Belas Tahun Yang Lalu
Wiratama mematut-matut dirinya di depan cermin. Hari ini ia berpakaian necis, kemeja biru muda yang telah disetrika hingga licin tanpa kusut, dan celana bahan berwarna abu-abu. Ia bahkan mengenakan sepatu pantofel pemberian boss pabrik tekstil tempatnya bekerja.
Itu sangat berbeda dari penampilannya sehari-hari, yang biasanya hanya mengenakan kaus berkerah dan celana jeans. Bossnya baik, sayang pabriknya harus gulung tikar, sehingga Wiratama harus mencari pekerjaan baru.
Untungnya, sepertinya ia tidak perlu menganggur lama. Kemarin, ia lewat di sebuah gedung yang di gerbangnya menempelkan pengumuman sedang mencari karyawan.
Itu benar-benar seolah petunjuk dari Tuhan, karena jalan itu tidak biasa dilalui umum. Karena Wira bisa tiba-tiba lewat ke sana dan melihat pengumuman itu, ia menganggapnya sebuah takdir. Bahwa ia memang berjodoh dengan perusahaan itu, meskipun ia belum tahu itu perusahaan apa.
Wiratama melangkah ke luar pintu. Rambutnya yang tebal disisir kelimis, diberi pomade sehingga licin mengilap. Wajahnya tampan, dengan kumis tipis dan mata tajam. Tubuhnya langsing, termasuk tinggi untuk ukuran orang Indonesia, seratus tujuh puluh lima.
Begitu kakinya menjejak aspal, ia melihat sosok seorang gadis yang mendekat. Wiratama menghela napas, gadis itu pasti akan membuntutinya. Sebenarnya ia agak jengkel, tapi gadis itu seperti lalat yang setiap digebah hanya pergi sebentar, lalu kembali tanpa malu.
Benar saja. Melihatnya keluar rumah dengan dandanan rapi, gadis itu segera mempercepat langkah, hampir berlari.
“Wira, lo mau ke mana, rapi amat?” Gadis itu bahkan telah berseru sebelum tiba di hadapannya. “Gua ikut dong.”
Gadis itu cantik, matanya bulat, rambutnya yang tebal terurai sepinggang. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, tetapi sintal. Dengan dada penuh yang sangat dia sadari sebagai sebuah kelebihan, sehingga dengan bangga dia sering menonjolkannya dengan mengenakan pakaian berleher rendah yang menampakkan belahan di tengahnya. Apalagi kulitnya putih mulus tak bernoda.
Setiap lelaki normal yang melihatnya, enggan berpaling ketika melihat gundukan kenyal yang mengintip itu, akan menatapnya tanpa berkedip sambil meneguk air liur.
Hanya Wiratama yang tidak berminat. Gadis itu bukan seleranya. Tetapi itu pula yang membuat gadis itu penasaran dan mengejar-ngejarnya tanpa lelah.
Usia mereka sama, dua puluh lima. Sama-sama masih lajang. Sebenarnya dari segi wajah, mereka bisa dikatakan pasangan ideal. Gadis itu cantik, Wiratama tampan, meskipun ukuran tampan desa.
“Mau ngelamar ke perusahaan baru. Lo ngapain ke sini pagi-pagi, Mir?” Wiratama menjawab.
Mata Miranti melebar. lalu menjajari langkahnya. “Gua ikut dong. Gua pengen nyoba kerja juga. Kalau kita kerja barengan kan bisa pergi pulang sama-sama tiap hari.”
“Terserah lo,” Wiratama menjawab sambil lalu, tidak menghentikan langkah. “Bawa aja surat lamarannya, lihat lo diterima atau enggak.”
“Gua ikut ke sono dulu aja buat lihat-lihat ada lowongan apa.” Miranti bersikukuh mengikutinya.
Mereka tiba di depan gerbang itu, dan mengetuknya.
Seorang lelaki segera membuka pintu. Sepertinya ia seorang sopir.
“Saya mau melamar kerja di sini. Ini perusahaan apa ya?” Wiratama berkata pada lelaki itu.
“Oh… ini perusahaan ekspor, belum beroperasi karena masih merekrut karyawan. Masuk aja, ketemu Tuan.” Sopir itu membuka pintu lebih lebar, memberi akses untuk Wiratama masuk, dan menunjuk ke arah dalam.
Wiratama masuk dan melihat beberapa kursi diletakkan berjajar, menduga itu untuk tempat duduk para pelamar. Karena itu, ia duduk di salah satu kursi, dan Miranti mengempaskan bokongnya yang montok di sebelahnya.
“Belum ada yang datang,” Miranti berbisik. “Kelihatannya gak ada peminat, berarti kesempatan kita untuk diterima, besar.”
Wiratama belum menjawab, ia telah melihat seseorang berjalan mendekat.
Orang itu lebih tinggi dari orang Indonesia yang tinggi seperti dirinya. Mungkin seratus delapan puluh. Wiratama langsung tahu bahwa orang itu bukan orang lokal.
Usianya mungkin sekitar lima puluh, tapi tubuhnya tegak, rambutnya yang lebat masih hitam tanpa hiasan uban, entah masih asli atau karena diwarnai. Alisnya tebal, dan ekspresinya seolah tersenyum. Secara keseluruhan, lelaki itu tampan.
“Mau lamar kerja ya?” Suara lelaki itu agak cadel. Jelas, Bahasa Indonesia bukan bahasa utamanya. “Saya Peng Hai, kalau susah panggil saja Bernard. Ini perusahaan eksportir belut. Tujuan ekspor adalah Taiwan dan Cina. Kamu tahu tentang belut?”
Benar dugaan Wiratama, sepertinya dia orang Cina. Pantas sopir tadi memanggilnya tuan, yang agak tidak biasa sebagai panggilan hormat di perusahaan yang biasanya menggunakan bapak dan ibu.
Wiratama menggeleng, “Tidak, tapi saya bisa belajar. Dan saya punya pengalaman bekerja di pabrik tekstil selama lima tahun. Saya berharap Tuan memberi saya kesempatan.”
“Hm…” Peng Hai atau Bernard mengulurkan tangan, tanda meminta surat lamaran kerjanya.
Wiratama menyerahkan ke tangannya, yang lalu dibaca Bernard sekilas.
“Bagus. Referensi kamu dari boss lama memuji kamu sebagai karyawan yang rajin dan berprestasi. Kapan kamu bisa mulai bekerja?”
Wiratama langsung bersemangat. “Hari ini juga bisa, Tuan.”
Bernard tertawa, “Kamu bantu saya rekrut pekerja lain. Saya butuh sekitar sepuluh orang untuk mengurus belut. Tapi mereka hanya perlu bekerja kalau ada kiriman. Kamu yang akan menjadi pemimpin, sanggup?”
Wiratama mengangguk tanpa berpikir, “Sanggup, Tuan.”
“Bagus, kalau begitu, datang lagi setelah mengumpulkan sepuluh orang.”
Tiba-tiba, Miranti yang sejak tadi membisu, mengangkat tangan dan bersuara.
“Tuan, apakah butuh karyawan wanita? Saya boleh melamar juga?”
Bernard menoleh padanya, memandangnya agak lama sebelum menoleh pada Wiratama. “Dia siapanya kamu?”
Sebelum Wiratama menjawab, Miranti telah buru-buru menyela. “Bukan siapa-siapa. Cuma tetangga, saya juga sedang butuh pekerjaan, karena itu ikut Wira ke sini.”
Bernard mengangguk. “Kamu lulusan sekolah apa? Bisa pembukuan?”
“Saya lulus SMA. Bisa, Tuan. Saya cepat menyerap ilmu, dan bisa belajar langsung dari Tuan.” Miranti menjawab tanpa ragu.
“Baiklah, kalau begitu kamu jadi staf pembukuan. Tiga bulan pertama, saya akan monitor pekerjaan kamu. Kalau sudah lancar, kamu harus lapor ke saya setiap minggu.”
“Baik, Tuan. Terima kasih.” Miranti mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Bernard.
Wiratama meliriknya.
Seluruh gerak-gerik Miranti menunjukkan, bahwa sekarang gadis itu memiliki incaran baru.
Tentu saja. Jika ada lelaki setengah tua berduit, untuk apa ngotot mengejar lelaki sederhana yang tidak memedulikannya meskipun dia setengah telanjang di hadapannya.
yang masih jadi pertanyaan di benakku adalah, asal usul Damar.
keren abis
penulisan biar alur maju mundur tapi runtut
semoga banyak yg baca dan suka Thor semangat
sehat selalu author